Mikul Dhuwur Jasa Teddy Rusdy dan Hikmat Menjaga NKRI dengan Pesantren

Mikul Dhuwur Jasa Teddy Rusdy dan Hikmat Menjaga NKRI dengan Pesantren

Mungkin tidak banyak orang mengenal sosok Teddy Rusdy dan kisahnya. Muhaji Fikriono mengulik jejaknya dan sebuah pesatren yang ia bangun

Mikul Dhuwur Jasa Teddy Rusdy dan Hikmat Menjaga NKRI dengan Pesantren
Teddy Rusdy adalah sosok dalam sejarah dan mungkin tidak banyak yang tahu.

Ini kisah tentang sosok Teddy Rusdy. Tak lama berselang setelah Soeharto, Presiden RI ke-2 ibadah umroh tahun 1978, 20 November 1979, sekitar 50 ribu umat Islam dari berbagai penjuru dunia tengah melaksanakan salat Subuh di Masjidil Haram, Mekah. Di antara mereka, menyusup 200-an pria dari kelompok ultrakonservatif muslim Sunni Al-Jamaas Salafiyah al-Muhtasiba (JSM)  yang dipimpin oleh Juhayman al-Utaybi (1936-1980). Juhayman 43 tahun kala itu dan ia merupakan bekas tentara Saudi yang tidak puas terhadap sistem monarki di negerinya.

Pemerintah Arab Saudi kewalahan menghadapi pemberontakan Juhayman dan meminta bantuan Presiden Prancis, Valery Giscard  d’Estaing. Masjidil Haram pun bersimbah darah karena banyak jatuh korban akibat berondongan senapan dan letupan pistol yang diselundupkan ke dalam masjid menggunakan peti mati. Meskipun JSM akhirnya menyerah, namun sejarah Arab Saudi berubah setelah aksinya menguasai Masjidil Haram di tahun 1979 itu. Beberapa permintaan Juhayman sebelum dieksekusi mati; seperti tak diperbolehkannya presenter  perempuan di TV, perempuan dilarang mengemudikan kendaraan, juga ditutupnya gedung-gedung bioskop, dipenuhi pemerintah.

Sementara itu di Iran pada tahun yang sama sebelum “Kudeta Mekah” pecah, tepatnya  11 Februari 1979, Revolusi Islam yang dipimpin Ayatullah Agung Rohullah Khomeini berhasil menumbangkan Monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlevi dan menggantikannya dengan pemerintahan Republik Islam Iran. Jika di masa Shah Iran, tahun 1930-an, melarang pemakaian jilbab dengan memerintahkan polisi untuk melepasnya jika ada yang melanggar, maka pada awal 1980, otoritas Islam yang baru di Iran memerintahkan semua perempuan di negeri itu untuk mengenakan jilbab. Bangku-bangku di perguruan tinggi pun sempat dibatasi peruntukannya hanya untuk kaum pria.

Tentu saja hal itu memicu protes keras dari kalangan perempuan terdidik. Sebagian dari mereka yang melakukan protes memilih meninggalkan Iran, agar tetap bisa belajar ataupun mengajar di luar negeri, sebelum akhirnya pihak yang berwenang mengubah kebijakannya. Mereka sadar bahwa selain pria terpelajar, untuk membangun negara peran para wanita terdidik juga sangat dibutuhkan.

Berdasarkan data, terdorong euforia keberhasilan Pasukan Pengawal Revolusi Islam Iran (PPRII) menjatuhkan pemerintahan Shah Iran dan mendirikan Negara Islam, PPRII berusaha menularkan kobaran semangat revolusi Islam ke negara-negara  berpenduduk mayoritas muslim. Indonesia termasuk salah satu target utama selain Arab Saudi. Menyikapi keadaan tersebut, Jenderal L.B. Moerdani (Pak Beny), Menteri Pertahanan dan Keamanan RI 21 Maret 1988 – 17 Maret 1993, dalam mengantisipasi pengamanan Presiden Soeharto beserta Ibu Negara yang hendak menunaikan ibadah haji tahun 1991, menugaskan Teddy Rusdy untuk menempatkan seorang Perwira Menengah dari direktoratnya di Kedutaan Besar RI Teheran, Iran. Tugas utamanya memantau keluar masuknya mahasiswa Indonesia ke negara tersebut dengan mencatat nama dan data intelijen lainnya. Oleh Pak Beny, mereka dinilai berpotensi sebagai ancaman bagi keselamatan Presiden Soeharto.

Pada situasi yang cukup rumit itu, hubungan antara keluarga Presiden Soeharto dengan Pak Teddy sudah menjadi kaku. Terjadi kesalingcurigaan karena beberapa niat baik Pak Teddy untuk menjaga putra-putri Presiden Soeharto atas instruksi Pak Beny telah disalahpahami. Untungnya, saat itu Kepala Direktorat Pengamanan di BAIS dijabat oleh Brigjen A.M. Hendropriyono. Sejak berpangkat kapten di RPKAD, hubungan antara A.M. Hendropriyono dengan Kolonel Teddy Rusdy di SINTEL HANKAM/KOPKAMTIB sangat akrab. Sama-sama Betawi, dibesarkan dan sering main bersama di Tanah Abang, Kebon Kacang, Jakarta Pusat.

Panglima ABRI, Jenderal Tri Sutrisno (Pak Tri) kala itu, merasa perlu untuk memperkuat Tim BAIS ABRI pimpinan Mayjen Arie Sadewo dan Brigjen A.M. Hendropriyono, mengingat keadaan keamanan di Arab Saudi, khususnya Mekah dan Madinah, pasca penyerbuan JSM, kelompok muslim Wahabi radikal yang dimanfaatkan oleh PPRII untuk menduduki Mekah. Ini dilakukan agar dapat memberikan pengamanan khusus pada kunjungan Presiden dan keluarga.

Saat itulah Pak Teddy diperintahkan untuk mempersiapkan dan membawa Tim Khusus pelapis, membantu pengamanan Presiden Soeharto dan keluarganya selama menunaikan ibadah haji. Bersamaan itu, dibahas pula pengakuan Pak Teddy  kepada Pak Tri, terkait kekakuan hubungan Pak Teddy dengan keluarga Presiden yang bisa berakibat kontra produktif jika tidak diantisipasi.

Pak Tri memahami hal tersebut. Namun karena pelapis pengamanan presiden  adalah sebuah keharusan demi menjaga keselamatan presiden dan Ibu Negara secara optimal,  akhirnya diputuskan Pak Teddy bersama pasukan khususnya tidak terdaftar dalam rombongan resmi. Dan selama menjadi pelapis pengamanan diharuskan menyamar. “Jadi kami menyamar dari musuh dan menyamar dari objek yang diamankan ya,” kata Pak Teddy Rusdy.

Dengan 11 orang anggota pasukan yang terpilih dari anggota Pasukan Anti Teror yang dibentuk pada 1981 atau sering disebut Detasemen 81, Pak Teddy menjadi pelapis pengawal dan pengaman Presiden Soeharto dan keluarganya. Karena sasaran pokoknya adalah ancaman dari PPRII, maka Perwira Menengah yang telah ditugaskan di KBRI Teheran diperintahkan untuk bergabung dalam pasukan Pak Teddy.

Tanpa diakui sebagai anggota pasukan resmi Presiden Soeharto dan keluarga, Pak Teddy beserta pasukannya tidak memiliki akses apa pun untuk masuk ke tempat-tempat penting (VVIP). Memasuki Arab Saudi dengan bersenjata tanpa ijin dan tanpa pas masuk/keluar instalasi VVIP, membuat  Pak Teddy dan pasukannya bergerak nyaris sama dengan gerakan teroris. Sebab itu, penampilan Pak Teddy bersama pasukannya pun dibuat berbeda. Caranya dengan sengaja memelihara rambut, kumis, dan jambang yang panjang sebagai upaya penyamaran dari observasi Presiden Soeharto dan keluarganya.

Pada saat terakhir menaiki pesawat Garuda untuk pulang ke tanah air, Pak Teddy dan pasukannya tertinggal dari rombongan inti. Beruntung Pak Teddy bertemu Pak  Suparno (Pak Parno), Direktur Utama Garuda Indonesia kala itu. Pak Parno di kokpit pesawat melihat Pak Teddy dan pasukannya dari kejauhan sedang berupaya untuk “menyusup” ke dalam pesawat. Pak Parno pun mengulur waktu berangkat hingga Pak Teddy dan pasukannya berada di dalam pesawat. Tugas pelapis pengamanan dapat diselesaikan dengan baik. Pak Teddy tersenyum sendiri ketika teringat tingkah para Bintara dan Perwira PASPAMPRES yang mengusirnya.

Berlatarbelakang itulah, ketika Presiden Soeharto meminta Pak Tri untuk mengganti Pak Teddy, ada perasaan bangga pada keluarga Pak Teddy bahwa permintaan Bapak Presiden ditolak oleh Panglima ABRI. Padahal, Pak Teddy sudah pasrah “dibuang” setelah Pak Beny digeser dari Pangab (1988) dan ada pembersihan besar-besaran “orang-orang Benny”. Pak Tri membangkang dan tetap mempertahankan Pak Teddy hingga pada tanggal 17 Februari 1992 Pak Teddy sendiri yang mengajukan pansiun dini, melepaskan Jabatan Organik/Fungsional Hankam/ABRI/Golongan Karya ABRI. Hubungan baik keluarga Pak Teddy dengan keluarga Pak Tri tetap terjaga sampai hari ini.

Sepenggal kisah Pak Teddy dalam mengamankan Presiden di Mekah tahun 1991 dan analisa intelijennya tentang agenda terselubung PPRII, saya kutip dari buku Bintang Sakti Maha Wira buat Mas Teddy terbitan Yayasan Kertagama 2015 (hal. 191-194) yang ditulis oleh Ibu Sri Teddy Rusdy, istri dan ibunda dari dua orang putra Pak Teddy; Mas Andrew Baskoro dan Mas Brandon Cahyadhuha, yang diberi sambutan pengantar oleh Pak Tri.

Hubungan pribadi dengan keluarga Pak Teddy Rusdy termasuk anugerah yang min haytsu laa yahtasib (tak pernah terbayangkan sebelumnya) dalam hidup saya. Bermula dari pertemuan pertama dengan Ibu Sri pada tahun 2011 yang menanyakan apa kesibukan saya sehari-hari dan saya jawab, “Serabutan, Ibu.”

“Serabutan itu maksudnya bagaimana?”

“Saya bersedia mengerjakan apa saja yang bisa saya kerjakan, Ibu.”

Sejak saat itu Ibu Sri memberi saya pekerjaan rupa-rupa, dari mulai jadi mandor tukang bangunan, mencarikan tukang bikin lemari, dan lain sebagainya.

Tidak hanya peduli terhadap mata pencaharian saya, Ibu Sri juga memperhatikan keadaan rumahtangga yang saya jalani. Pernikahan saya 17 September 2016, antara lain adalah karena supportnya yang begitu besar. Bahkan Pak Teddy memberikan salah satu koleksi jasnya Marks & Spencer buatan Inggris untuk saya pakai dalam akad nikah setelah saya pakai ternyata pas di hadapan beliau. Selain melepaskan tiga buah gelang emas yang dikenakannya untuk saya tambahkan sebagai mahar, dan lain-lain, Ibu Sri jugalah yang menyerahkan saya kepada keluarga mertua di Malang sebelum akad nikah berlangsung.

Pesantren untuk NKRI

Karena itu ketika dalam ulang tahun yang ke-75, Pak Teddy mengikrarkan niat mewakafkan sebidang tanah yang luasnya sekitar 3 hektar di Cijeruk, Bogor, Jawa Barat, untuk pesantren, saya pun berketetapan hati untuk bisa tabarrukan (mencari berkah) dengan membantu mengerjakan apa saja yang bisa saya kerjakan. Mendukung Ibu Sri yang berniat mendirikan pesantren dengan basic tetap menjaga sekaligus memelihara kearifan lokal adalah bagian dari ikhtiar Pak Teddy untuk turut serta membentengi generasi muda muslim Indonesia dari propaganda ala JSM yang rawan diperalat oleh kelompok semacam PPRII.

Sayang, sampai dengan beliau berpulang ke rahmatullah hari kamis malam jumat, 31 Mei 2018 yang bertepatan dengan malam ke-17 Ramadhan,  pesantren belum terwujud. Berpulangnya Pak Teddy yang sedemikian mendadak, tidak hanya menjadikan batin Ibu Sri sumendhal (terkejut sekaligus merasa kehilangan), namun di sisi lain justru melipatgandakan energinya untuk sesegera mungkin “membayar hutang” mewujudkan pesantren.

Kondur-nya (berpulangnya) Bapak yang begitu tiba-tiba, bisa terjadi pada siapa saja, tak terkecuali Ibu. Karena itu Ibu tidak mau lagi membuang-buang waktu, Ji.” Demikian ngendikan Ibu Sri pada saya suatu ketika seusai mengirimkan doa dan tahlil bersama untuk Bapak.

Tanggal 25 April 2019 prasasti Padepokan Santri Selogiri “SITI DHUMILLAH” yang dipahat di atas batu berukuran tinggi 170 cm, lebar 140 cm, tebal 90 cm, yang merupakan guguran letusan Gunung Merapi dan ditandatangani oleh Ibu Sri Teddy Rusdi sudah diletakkan di depan Pendapa Pesantren. Namun tidak mudah untuk mencari calon pengasuh pondok yang mampu mengimplementasikan visi Ibu Sri dan Pak Teddy. Hingga dua tahun setelah berpulangnya Bapak, Ibu Sri masih merasa terbebani olehnya.

Alhamdulillah,  sepulang perjalanannya ziarah dari Konya, Ibu Sri berkesempatan “menumpahkan” seluruh beban batinnya kepada Habib Luthfi Bin Yahya di Pekalongan. Titik terang pun didapatkan. Abah, begitu Ibu Sri memanggil Habib Luthfi, tidak hanya mendorong segera dilaksanakannya aktivitas di pesantren, tetapi beliau bahkan berkenan menjadi Pembimbing Pesantren Siti Dhumillah.

Mulai tanggal 29 Oktober 2020 kemarin, penyelenggaraan kegiatan ajar mengajar di pesantren sudah dimulai dengan mengasuh 50 orang santri putra-putri yang terdiri dari anak-anak yatim dan dhuafa secara gratis. Semoga terwujudnya niat mulia ini bisa menjadi salah satu amal jariyah Pak Teddy yang pada akhir Februari ini akan diperingati bersama 1000 hari wafatnya. Amin…