Bagaimana dua institusi ini bisa dan kerap menjadi adu domba beberapa pihak? Sebelum ke sana, marilah kita bicara tentang isu musiman bernama komuniasme. Komunisme selalu menjadi perbincangan menarik di setiap jaman. Saat ini, ketika pergerakan komunisme sudah dibubarkan sejak lama, komunisme masih menjadi komoditas politik yang diminati. Ada kelompok yang mencoba membangkitkan ketakutan irasional terhadap komunisme yang kemudian dikaitkan dengan kondisi politik di Indonesia. Komunisme memang paham yang dianggap kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Akan tetapi, ketika komunisme sebagai pergerakan sudah dapat dibasmi kemudian komunisme tersebut digunakan menjadi politik adu domba, hal ini yang patut untuk diwaspadai.
Komunisme seringkali dituduhkan kepada beberapa tokoh di Indonesia, tak terkecuali Presiden Indonesia Joko Widodo. Sebelum Pilpres tahun 2014, isu bahwa Joko Widodo sebagai keturunan komunis menyeruak. Bahkan, ketika Joko Widodo memerintah dan beberapa kali mengadakan hubungan kerja sama dengan Tiongkok, label komunis semakin disematkan kepada Joko Widodo. Sebaliknya, kompetitor Joko Widodo di Pilpres 2014 dan 2019 nanti, Prabowo Subianto, dicitrakan sebagai orang yang religius (bahkan di salah satu media massa Prabowo Subianto disamakan dengan Umar ibn Khatthab) dan didukung oleh kelompok agamis. Pada titik ini terlihat jelas, bahwa komunisme rentan menjadi alat politik untuk menjatuhkan seorang figur. Terlebih lagi, isu komunisme ini nyaris tidak terlalu kencang ketika Indonesia diperintah oleh presiden-presiden sebelum Joko Widodo, khususnya pasca reformasi.
Hal menarik lainnya adalah adanya kemungkinan adu domba terselubung bukan hanya pada kedua tokoh tersebut, tetapi juga pada dua institusi penting negara, yaitu Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sampai saat ini, Polri sangat terlibat dalam pemberantasan radikalisme atas nama agama dan terorisme, khususnya melalui Detasemen Khusus (Densus) 88. Beberapa penangkapan dan pemberantasan terorisme tersebut dianggap terdapat beberapa kejanggalan. Kejanggalan ini kemudian digunakan oleh kelompok Islam ekstrem untuk menyalahkan Polri dan Densus 88. Selain itu, muncul upaya penggiringan opini, bahwa Polri telah melawan terorisme yang dikonstruksikan sebagai pejuang Islam. Ditambah lagi, beberapa praktik yang indisipliner dan tidak profesional dari oknum Polri di tingkat daerah, menjadi bahan yang digunakan oleh kelompok ekstrem guna mendiskreditkan Polri. Akhirnya, tercipta citra dan persepsi bahwa Polri melawan kalangan agamis.
Di sisi lain, kelompok Islam ekstrem gemar melontarkan isu komunisme dengan kemungkinan menggunakannya sebagai alat untuk mendekati institusi negara selain Polri, yaitu TNI. Dalam sejarah, TNI menjadi pihak yang mengalami benturan dengan PKI yang merepresentasikan komunis. Sampai saat ini pun, memori dan sensasi sejarah tersebut tidak hilang. Selain itu, upaya mengkonstruksi TNI sebagai institusi negara yang lebih baik dari Polri diperlihatkan, misalkan dengan mengunggulkan Gatot Nurmantyo (panglima TNI 2015-2017). Bahkan, Gatot pun beberapa kali melakukan manuver dengan mengeluarkan pernyataan yang dinilai bertentangan dengan pernyataan Polri. Gatot juga menunjukkan sikapnya yang cenderung dekat dengan kelompok Islam ekstrem. Pada titik ini, mereka telah berhasil mendekati TNI dengan menciptakan dan membangkitkan kembali isu komunis dan mengkonstruknya sebagai musuh bersama, meskipun gerakannya sudah lama ditumpas.
Di lain pihak, upaya mengkomparasikan antara Polri dengan TNI juga dilakukan di lain fenomena. Misalkan, demonstrasi mahasiswa Medan yang berujung ricuh dengan pihak Polri. Ketika pendemo melarikan diri, mereka dilokalisir oleh TNI. Muncul video viral dengan tajuk bahwa TNI melindungi mahasiswa dari Polri.
Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dibaca bahwa sejatinya kelompok Islam ekstrem yang sedang ingin mendapatkan panggung perpolitikan di Indonesia masih lemah. Untuk mendapatkan kekuatan dan dapat dilihat oleh masyarakat, maka mereka mencoba membangkitkan kembali musuh bersama yang telah lama hilang, yaitu komunisme. Sikap ini menjadi upaya untuk mendekati TNI, salah satu institusi penting negara. Ketika kelompok ini mampu mengasosiasikan atau mengkaitkan diri mereka dengan TNI, maka secara otomatis mereka mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia.
Kedua institusi tersebut (TNI dan Polri) kerap menunjukkan keharmonisannya, namun itu tak cukup sebagai perspektif lain dari konstruksi yang telah diciptakan oleh kelompok Islam ekstrem yang sedang ingin menguasai Indonesia. Keduanya hendaknya semakin mawas diri untuk memperbaiki kualitas masing-masing. Institusi Polri dapat mengadakan perbaikan di segala lini untuk lebih mencitrakan diri sebagai institusi yang dekat dengan masyarakat serta memiliki prestasi. Di sisi lain, TNI juga hendaknya memiliki pertahanan diri yang kuat sehingga tidak terpengaruh dengan konstruksi baik yang diciptakan oleh kelompok Islam ekstrem yang sebenarnya berpotensi menjadi alat adu domba. Selain itu, keduanya juga hendaknya jangan sampai menjadi alat politik siapapun.
Masyarakat pun juga memiliki peran untuk bersikap seimbang dalam kondisi tersebut, sehingga memunculkan sikap yang adil. Ormas-ormas Islam yang merepresentasikan Islam moderat (misalkan, NU dan Muhammadiyah) juga dapat mengambil peran untuk mendekati kedua institusi tersebut agar memiliki TNI dan Polri memiliki pendirian yang tidak tercipta dari satu sisi. Terakhir, Polri – TNI – masyarakat memiliki peran yang sama, yaitu mempertahankan kedaulatan NKRI dari pihak-pihak yang ingin menguasainya dengan segala cara untuk disalahgunakan.