Mewaspadai Narasi Ekstrimis di Media Digital

Mewaspadai Narasi Ekstrimis di Media Digital

Propaganda dan narasi ekstremis disebarluaskan melalui media sosial, website, dan aplikasi pesan instan. Mereka yang tertarik dengan materi propaganda ekstremisme akan diarahkan untuk mengikuti kajian tertutup secara online.

Mewaspadai Narasi Ekstrimis di Media Digital
Hasil pencarian kata kunci Jihad di google menunjukkan fakta menarik, ajaran islam yang berisi konten positif kalah jauh dengan konten negatif yang berisi hoaks dan ajakan jihad sebagai perang. Pict by Islami.co

Ada dua cara perekrutan anggota teroris di Indonesia menurut BNPT (Badan Nasional Penganggulangan Terorisme) : cara lama dan cara baru. Cara lama biasanya melalui pengajian umum yang mengampanyekan kebencian terhadap kelompok tertentu yang dianggap sebagai musuh Islam. Setelah dari pengajian umum, jemaah yang tertarik mendalami ideologi ekstremis diajak untuk mengikuti pengajian tertutup dan terbatas. Dalam pengajian itu, mereka diindoktrinasi, diajarkan, dan diarahkan untuk melakukan aksi kekerasan dan penyerangan terhadap pihak yang sudah ditarget pimpinan mereka.

Sementara cara baru adalah dengan menggunakan internet. Propaganda ekstremisme disebarluaskan melalui media sosial, website, dan aplikasi pesan instan. Mereka yang tertarik dengan materi propaganda ekstremisme akan diarahkan untuk mengikuti kajian tertutup secara online. Sebelum masuk ke dalam group tertutup dan terbatas, calon anggota diwawancara dan diseleksi terlebih dahulu untuk memastikan yang bersangkutan bukan penyusup ataupun mata-mata. Dalam group kajian online itu disediakan seluruh materi yang berkaitan dengan aksi kekerasan, mulai dari landasan ideologi sampai cara praktis membuat bom.

Nathaniel L. Moir mengatakan, model perekrutan anggota ekstremis melalui internet pada umumnya diawali dengan penyebaran pesan di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Orang yang menyukai konten itu akan diarahkan pada channel atau group rahasia yang tidak bisa diakses semua orang. Setiap yang masuk akan disaring dan diseleksi terlebih dahulu. Aplikasi yang biasa digunakan untuk kajian tertutup adalah Whatsapp dan Telegram. Tapi karena belakangan Whatsapp mudah diretas pihak luar, mereka pada akhirnya lebih banyak menggunakan Telegram yang dianggap lebih aman.

Aksi teroris di Jakarta tahun 2016 misalnya, mereka menggunakan Telegram sebagai media komunikasi ketika merancang rencana aksi penyerangan. Sebelum Abu Muhammad al-Adnani dibunuh tahun 2016, pimpinan senior ISIS itu paling aktif memberi pelatihan melalui aplikasi pesan instan tentang cara melakukan aksi kekerasan. Adanya training online ini membuat sebaran dan jangkauan materi propaganda kelompok teroris internasional semakin meluas dan membuka potensi rekrutmen anggota baru dari wilayah lain.

Apalagi materi-materi itu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Katibah Nusantara, pendukung ISIS yang berasal dari Malaysia, Indonesia, dan sebagian kecil dari Singapura dan Filipina, berperan besar dalam membantu penetrasi ISIS di Asia Tenggara. Katibah Nusantara banyak menerjemahkan propaganda ISIS dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Mereka juga bekerja sama dengan pusat media ISIS, al-Hayat, untuk membuat subtitle video propaganda kekerasan.

Di antara publikasi ISIS yang paling populer adalah majalah Dabiq. Sebelum Kementerian Komunikasi dan Informasi, memblokir situs-situs pro kekerasan atas rekomendasi BNPT, majalah Dabiq sangat mudah ditemukan dan didowload di media online. Majalah Dabiq sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Isinya, ada penjelasan tentang ideologi, dalil-dalil agama yang mendukung kekerasan, dan pemberitaan tentang keberhasilan yang sudah dicapai ISIS.

Majalah ini didesain dengan sangat bagus, terlihat yang mengerjakannya sangat professional, dan bahasanya mudah dipahami. Supaya lebih relevan dengan generasi millennial, majalah ini dihiasi dengan gambar dan poto. Menurut kesaksian Michel Weiss, media propaganda ISIS dikelola oleh tenaga professional dan digarap sangat serius, sehingga tidak mengherankan bila hasilnya sangat bagus.

Kendati ada upaya dari pemerintah untuk memblokir website ekstremis atau pro-kekerasan, pemblokiran itu tidak mematahkan semangat pendukung paham ekstremis untuk terus berjuang membuat media baru, karena mereka sangat menyadari pentingnya media online dalam proliferasi dan deseminasi narasi propaganda. Apalagi aktivitas semacam itu juga dianggap sebagai bagian dari jihad. Gery R. Bunt mengistilahkannya dengan E-Jihad, atau jihad online yang perannya tidak kalah penting dari pertempuran fisik.

Kehadiran media online mempermudah kelompok ekstremisme untuk merekrut anggota baru dan mengumpulkan pendanaaan. Media online juga berperan penting dalam memperkuat basis dukungan terhadap gerakan terorisme di Asia Tenggera. Penelitian yang dilakukan Moir menunjukkan bahwa dukungan terhadap ISIL (Islamic State in Iraq and the levant) semakin menguat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, setelah mereka melakukan operasi di media sosial.

Penggunaan media sosial oleh kelompok ektstremis di Indonesia, menurut catatan Lafevre, juga mengalami kemajuan dan peningkatan. Mereka menggunakan media sosial, seperti Facebook dan Twitter, untuk berkomunikasi dengan generasi muda, menggalang dana, dan ajakan membeli senjata. Bahkan, mereka juga menggunakan game online dan video You Tube untuk merekrut anggota baru.

Akan tetapi, merujuk pada data yang dikeluarkan IPAC, rekrutmen online di Indonesia sangat jarang terjadi. Ini berbeda dengan Malaysia dan negara lain yang memiliki aturan ketat, media sosial menjadi solusi satu-satunya yang dianggap lebih aman untuk melakukan rekrutmen dan komunikasi dengan para anggota.

Sementara di Indonesia, kelompok ekstremis masih mudah untuk mengadakan pertemuan tatap muka. Mereka masih leluasa mengadakan pengajian langsung, sehingga interaksi langsung masih menjadi faktor dominan dalam proses radikalisasi. Media sosial tetap penting, tetapi posisinya hanya sebatas untuk memperkuat jalinan komunikasi dan mengaktivasi anggota yang pasif menjadi lebih aktif.

Komunikasi langsung atau tatap muka di kalangan kelompok ekstremis masih sangat penting, dan sampai saat ini tidak bisa tergantikan, meskipun ada media sosial. Penelitian yang dilakukan RAND Corporation menunjukkan, internet tidak dapat menggantikan pertemuan tatap muka, tetapi hanya memperkuat dan melengkapi pertemuan tatap muka di kalangan kelompok ekstremis.

Meskipun demikian, internet berperan besar dalam membentuk echo-chamber, di mana algoritma media sosial akan mengarahkan dan mempertemukan orang yang memiliki pikiran, gagasan, dan pandangan sama menjadi satu. Pendukung ideologi ekstremisme akan semakin kuat karena mereka dipertemukan dengan pendukung gerakan radikal yang lain, dan informasi yang berkaitan dengan esktremisme akan disuguhkan kepada mereka secara otomatis.

Echo-chamber ekstrimisme ini harus dihancurkan dengan cara menyebarluaskan narasi alternatif dan perbandingan, supaya orang yang termakan propaganda ekstremisme dapat menerima informasi yang berbeda dari kelompok lain. Kelompok Islam moderat diharapkan dapat menjadi aktor kunci dalam melumpuhkan echo-chamber atau ekosistem online ekstremisme ini. Paul Marshall mengatakan, muslim moderat berperan penting dalam memerangi radikalisme. Tapi sayangnya, kata Ahmad Syafi’i Maarif, mayoritas kelompok moderat lebih memilih untuk diam daripada melawan radikalisme.

*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT