Metode Penukilan Hadis dalam Kitab Ihya Ulumiddin

Metode Penukilan Hadis dalam Kitab Ihya Ulumiddin

Bagaimana cara atau metode Imam al-Ghazali mengutip hadis dalam kitab Ihya Ulumiddin?

Metode Penukilan Hadis dalam Kitab Ihya Ulumiddin

Sebelum kita mengetahui metode al-Ghazali menukil Hadis dalam kitab Ihya-nya tersebut, maka perlu diingatkan bahwa kitab Ihya bukanlah kitab Hadis primer. Namun, Iḥyā tergolong kitab kajian akhlak dan tasawuf. Oleh karena itu, wajar jika al-Ghazali tidak menyebutkan sanad atau sekedar takhrij umum pada Hadis-hadis yang ia nukilkan.
Bahkan, seandainya al-Ghazali menukilkan Hadis beserta sanadnya maka akan lahir pelbagai kritikan lain setelahnya.

Ini sebagaimana terjadi pada Abu Nuaim al-Isbahani. Ketika ia menukilkan Hadis-hadis dan hikayat lengkap dengan sanadnya di dalam kitab Hilyat al-Awlyia, maka muncul setelahnya kritikan dari al-Hafizh Ibn al-Jauzi. Ibn al-Jauzi mengatakan, “Dan telah maklum bahwa kitabnya (Abu Naim) bertujuan untuk mengobati jiwa. Maka idealnya, kitab seperti ini hanya ditulis dengan tujuan menjelaskan perilaku orang-orang saleh, bukan untuk menukilkan Hadis-hadis (secara lengkap dengan sanadnya-pen).”

Terlepas dari itu, metode al-Ghazali dalam menukil Hadis-hadis dalam Ihya terdapat beberapa macam.

Pertama, penukilan matan secara langsung setelah menyebutkan قال رسول الله atau nama sahabat, atau dengan isyarat في خبر آخر, atau في الحديث, dan lainnya. Sebagai contoh ia mengemukakan suatu ungkapan berikut ini.

“وقد صح قول رسول الله صلى الله عليه وسلم: بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء…”

Sungguh benar sabda Nabi Saw: “Islam bermula dengan keadaan yang aneh, dan akan kembali lagi menjadi aneh”.

وعن البراء بن عازب رضي الله عنه قال كثرت المسائل يوما على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا أيها الناس…”

Dari al-Barra’ bin Azib r. a., ia berkata: Suatu hari pada zaman Nabi Saw banyak terdapat permasalahan. Maka Nabi bersabda: Wahai manusia…

وفي خبر غريب أنه صلى الله عليه وسلم كان يسرح لحيته في اليوم مرتين.

“Di dalam sebuah Hadis gharib disebutkan bahwa Nabi Saw menyisir jenggotnya dua kali sehari.”

Ungkapan “Hadis gharib” pada kalimat di atas menunjukkan bahwa al-Ghazali menyadari bahwa periwayatan Hadis tersebut hanya ditransmisi melalui jalur satu orang. Gharib pada ungkapan tersebut bukan berarti hadis yang ganjil.

Metode kedua, al-Ghazali terkadang langsung menisbahkan Hadis yang ia nukil kepada al-Bukhari dan Muslim, atau salah satu dari keduanya, atau cukup dengan menyebutkan في الصحيح عن. Namun ini tidaklah banyak, seperti berikut ini.

وأجمع دعاء مأثور ما روي في الصحيح عن عوف بن مالك…

“Saya mengumpulkan doa yang matsur seperti yang diriwayatkan dalam kitab al-Shahih (al-Jami al-Shahih Bukhari atau Muslim-pen.) dari Awf bin Malik.”

Ini mengindikasikan bahwa al-Ghazali memang mempelajari kitab Hadis paling valid tersebut.

Metode ketiga, riwayat bi al-lafzh (sesuai dengan lafaz asli) dan bi al-mana (lafaz berbeda dengan substansi sama). Terkadang al-Ghazali menukil Hadis yang terdapat dalam Ihya dengan lafaz asli yang terdapat pada kitab primer, dan terkadang ia menukilkan dengan lafaz yang berbeda namun substansinya tetap sama.

Periwayatan dalam kategori kedua (bi al-ma’na) diperbolehkan oleh mayoritas ulama salaf dan khalaf, namun dengan syarat mesti meyakini kesamaan maknanya secara pasti.

Dalam hal ini Imam al-Suyuthi juga menguatkan bahwa para sahabat dan salaf secara umum juga melakukan riwayat bi al-ma’na, sebagaimana diriwayatkan Ibn Mandah dan al-Thabrani bahwa Abdullah bin Sulayman al-Laytsi bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mendengar dari engkau suatu Hadis yang tidak sanggup kami riwayatkannya sebagaimana kami mendengarnya.”

Nabi SAW bersabda, “Selama engkau tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, serta dengan makna yang benar, maka demikian itu tidak apa-apa.”

Sebagai contoh riwayat bi al-ma’na yang dinukil oleh al-Ghazali sebagai berikut:

(من كتم علما عنده ألجمه الله بلجام من نار.(الإحياء.

“Siapa yang menyembunyikan ilmu yang ada di sisinya niscaya Allah mengikatnya dengan ikatan dari neraka.”

Setelah dikomparasikan dengan riwayat Aḥmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, maka terdapat riwayat Hadis dengan lafaz yang lain, namun substansinya sama sebagaimana berikut:

(من سئل عن علم فكتمه ألجمه الله بلجام من نار يوم القيامة. (رواه أحمد وأبو داود والترمذي

“Siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, niscaya Allah mengikatnya dengan ikatan dari neraka pada hari Kiamat.”

Kemudian dalam riwayat Ibn Majjah juga terdapat periwayatan yang sama dengan di atas, tetapi ia juga meriwayatkan dengan lafaz yang lain.

(ما من رجل يحفظ علما فيكتمه إلا أتي به يوم القيامة ملجما بلجام من النار. (رواه ابن ماجة

“Tidaklah ada seseorang yang menghafal suatu ilmu namun ia menyembunyikannya, melainkan dia datang pada hari Kiamat dalam keadaan diikat dengan ikatan dari neraka.”

Ada kemungkinan lain, al-Ghazalī menukil matan Hadis tersebut dari kitab primer lain, namun redaksi serupa tidak ditemui dalam kutub al-sittah.

Wallahu A’lam.

 

Baca tulisan selanjutnya: Komentar dan Kritik Para Ulama Terhadap Ihya Ulumiddin