Hari ini, Senin 16 November 2020, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta merilis riset terbarunya. Sedari lebih dari 3 jam menyimak paparan hasil riset yang berjudul “Beragama di Dunia Maya; Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia” itu, saya sering tertegun. Ada sejuta tanda tanya yang berkelibat. Menyembul antara rasa sanksi dan apologi. Mengapa bisa, selama sepuluh tahun terakhir, 2009-2019, twitter milik Felix Siauw (felixsiauw) berdiri kokoh, menjadi aktor dominan memviralkan paham keagamaan di media sosial?
Kenyataan inilah yang menjadi salah satu temuan dari riset PPIM UIN di atas. Ada tiga pertanyaan penting yang hendak dijawab oleh riset yang memadukan analisa big data kuantitatif dengan metode kualitatif itu. Pertama, paham keagamaan apa saja yang berkembang di media sosial dan bagaimana persebarannya? Kedua, sejauh mana fragmentasi otoritas dalam penyebaran narasi keagamaan di media sosial dan bagaimana jaringan antar aktor? Ketiga, sejauhmana konteks politik mempengaruhi perubahan narasi keagamaan di media sosial?
Kerangka teori yang digunakan adalah teori mediatisasi (Hepp, Hjarvard, dan Lundby, 2010), fragmentasi otoritas (Eickelman dan Anderson, 2003), echo chambers (Barbera, 2015), dan relasi agama dan politik (Tabaar,2019). Data dikumpulkan dari big data jutaan tweet yang tesebar di tahun 2009-2019. Data ini diolah dan dianalisa sedemikan hingga, serta dipadukan dengan wawancara mendalam dengan tokoh publik, ustadz, komunitas virtual, tim managemen ustadz, dan netizen sentral. Tipologi paham keagamaan yang dikaji cukup beragam, mulai dari konservatif, moderat, liberal, islamis, hingga radikal.
Dari hasil kerja tim peneliti selama 6 bulan, setidaknya ada tiga temuan yang menarik. Pertama, narasi keagamaan di media sosial lebih didominasi oleh konservatisme (67,2 persen), moderatisme (22, 2 persen), liberalisme (6,1 persen), dan islamis (4,5 persen). Di tahun-tahun politik, 2014 dan 2019, kontestasi politik sangat berpengaruh meningkatkan perseteruan antar paham keagamaan di media sosial. Fakta ini menunjukkan bahwa bukan paham agama yang mempengaruhi politik, tetapi sebaliknya. Dengan kata lain, bukan agama yang memandu politik. Tetapi politiklah yang memandu agama.
Kedua, penelitian ini menunjukkan bahwa jaringan tokoh sentral atau ustadz bersifat homogen dan tertutup. Dalam artian, tokoh yang selama ini dikenal sebagai tokoh konservatif lebih banyak berjejaring dengan tokoh berpaham serupa. Demikian halnya dengan tokoh liberal ataupun moderat. Karenanya, efek echo chambers lebih menggema. Konsekuensinya adalah yang konservatif semakin konservatif, dan yang liberal semakin liberal. Tidak terjadi dialog lintas akun yang memiliki perbedaan paham keagamaan di atas.
Ketiga, dalam rentang sepuluh tahun itu, akun felixsiauw ternyata menjadi kampium yang memviralkan paham keagamaan. Ada lima akun yang berada di lima teratas; felixsiauw (315), gusmusgusmu (181), TeladanRasul (145), AlissaWahid (117), dan DoaIndah (114). Kelima akun ini jauh meninggalkan akun tokoh publik lain, semisal akun aagym (42), Buya_Albahjah (21), na_dirs (4), dan bachtiarnasir (3). Di titik ini, benar adanya bahwa HTI secar legal telah dicabut status hukumnya, namun gerakan dan dakwahnya tetap massif.