Selama ini kita mengenal KH A Musthofa Bisri atau akrap disapa Gus Mus sebagai seorang kiai yang sangat bersahaja. Meski begitu, Gus Mus juga dikenal sebagai cendekiawan Muslim yang aktif menulis, sekaligus seorang budayawan.
Ada banyak karya-karya Gus Mus yang melintang dan jarang diasadari banyak orang. Tidak saja meluapkan ekspresi cintanya kepada Nabi Muhammad Saw lewat aktivitas melukis, Gus Mus juga menggunakan medium puisi sebagai sarana untuk menyalurkan kerinduannya pada Sang Rasul dan sekaligus menjadikan puisi sebagai kritik atas ketidakberesan sosial yang terjadi.
Menurut Gus Mus dalam sebuah artikel berjudul Menikmati Syiiran Kiai-kiai, produktivitas bersyair merupakan salah satu tradisi pesantren yang layak dilestarikan. Kendati bersyair pada umumnya hanyalah aktivitas “selingan”, inilah tradisi warisan para pendahulu mereka.
Rasulullah Saw sendiri, meskipun bukan seorang penyair, tidak pernah belajar bersyair, dan memang tidak layak bersyair (Q.S. Yasin [36]: 69), namun dalam kehidupan sehari-hari, Beliau Saw sangat akrab dengan syair-syair.
Lihat saja, para oposan Nabi yang menggunakan syair untuk melawannya dan menyerang kaum mukmin. Juga, para penyair mukminin, seperti Hisaan ibn Tsabit, Ka’ab ibn Malik, dan Abdullah bin Rawahah, diizinkan Rasulullah Saw untuk melawan kaum Quraisy lewat bersyair pula.
Ringkasnya, Nabi Saw mendengarkan syair dan tak segan memuji syair-syair yang baik—malahan Beliau Saw pernah secara spontan menghadiahkan Burdah (sejenis pakaian hangat) yang dipakainya kepada Ka’ab bin Zubair, segera setelah penyair kenamaan ini selesai membacakan syair-syair Banat Su’ad yang terkenal itu.
Memang, secara definitif boleh jadi adalah berbeda antara puisi dengan syair. Tetapi keduanya akan menemukan kesamaan di tataran filosofis, yakni berkaitan dengan keindahan dan perenungan yang dalam.
Puisi Gus Mus berjudul Bagaimana Aku Menirumu, O Kekasihku, misalnya, baru-baru ini dibacakan oleh jurnalis handal Najwa Shihab & Prof Quraish Shihab, pakar tafsir al-Qur’an. Lewat akun Instagram @najwashihab, Najwa menyebutkan bilamana puisi itu mewakili salah satu wujud kerinduan Gus Mus terhadap Nabi Muhammad Saw.
Dan, lewat puisi itu Najwa mengajak kita semua untuk selalu mengingat keteladanan Sang Nabi. Berikut adalah teks lengkapnya:
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau mentari
Aku bumi malam hari
Bila tak kau sinari
Dari mana cahaya akan kucari?
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau purnama
yang menebarkan senyum kemana-mana
Aku pekat malam tanpa rona
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau mata air
Aku di muara
Dimana kucari jernihmu
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau samudra
Aku di pantai
Hanya termangu
Engkau merdeka
Aku terbelenggu
Engkau ilmu
Aku kebodohan
Engkau bijaksana
Aku semena-mena
Diammu tafakkur
Diamku mendengkur
Bicaramu pencerahan
Bicaraku ocehan
Engkau memberi
Aku meminta
Engkau mengajak
Aku memaksa
Engkau kaya dari dalam
Aku miskin luar-dalam
Miskin bagimu adalah pilihan
Miskin bagiku adalah keterpaksaan
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
https://www.instagram.com/p/CAsYRQQjTT6/