Assalaamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Mba Asma Nadia yang baik. Perkenalkan saya Mamang M Haerudin (Aa), berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Saya senang sekali sesaat setelah menulis “Corona, China dan Virus Kebencian”, saya membaca tulisan Mba yang berjudul “Saat Isu Corona Menyentil Tuhan.” Saya merasa tulisan tersebut perlu saya respon, untuk sekadar menggenapi tulisan saya sebelumnya. Apalagi gaya penulisannya begitu ringan dan mudah dipahami. Namun izinkan saya, sekali lagi, untuk meresponnya. Selain tulisan ini, saya mengajak Mba Asma dan khalayak yang sempat membaca tulisan ini, juga bisa menyempatkan waktu untuk membaca tulisan saya sebelumnya, yang saya share secara terbuka, termasuk ke dalam grup Facebook Komunitas Bisa Menulis.
Saya ingin mengawalinya dari pemberian judul. Judul yang Mba Asma tulis, sejak awal saya membacanya, saya merasa ada yang janggal. Coba perhatikan baik-baik “Saat Isu Corona Menyentil Tuhan.” Saya pikir, judul itu kurang beradab. Tuhan ternyata bisa disentil oleh virus corona.
Saya menduga–tepatnya berbaik sangka/husnuzhan–mungkin Mba Asma ingin menggugah para pembaca sedari judul agar tulisan tersebut terkesan menarik untuk dibaca. Saya harus mengatakan bahwa judul itu sebaiknya diubah, misalnya menjadi “Kuasa Allah dalam Isu Corona.” Lebih ingin menegaskan bahwa dalam isu corona yang terjadi ini, tidak mungkin kalau tidak ada kuasa Allah.
Lagi pula kata “menyentil” itu memang kurang asyik didengar, apalagi disematkan kepada Allah. Berbeda misalnya ketika judul itu menjadi “Saat Isu Corona Menyentil Manusia.” Kita tahu manusia memang tempatnya salah dan lupa, jadi pantas saja kalau disentil.
Mba Asma juga mengutip ceramah Al-Maghfurlah KH. Zainuddin MZ soal logika maksiat yang masih banyak dilakukan manusia di dunia. Kepada khalayak, saya mau telisik, kira-kira apa maksud dari Mba Asma memilih mengambil kutipan ceramah MZ? Di mana dalam kutipannya yang masyhur itu, memang bahasanya bernada “menyentil”, bahwa efek buruk maksiat itu akan berdampak buruk juga kepada orang banyak, yang tidak melakukan maksiat. Ceramah MZ itu kira-kira ingin menegaskan bahwa manusia yang bermaksiat agar jangan egois, hanya menuruti nafsu sendiri.
Jangan angkuh dan sombong dengan apa yang dimiliki karena apapun yang ada di dunia ini milik Allah. Mba Asma juga mengaitkan isu corona ini dengan tenggelamnya kapal Titanic. Sebagai penguat sikap kesombongan kemegahan Titanic dan kehebatan penciptanya.
Tak hanya itu, Mba Asma juga kembali meyakinkan publik dengan mengutip penggalan pidato kebangsaan Presiden China, yang bagi saya sebetulnya wajar-wajar saja. Sebagai suatu ungkapan motivasi kepada warganya yang tengah merayakan Hari Ulang Tahun Negara China yang ke 70. Berikut parade senjata militer China, saya pikir parade tersebut biasa-biasa saja yang lazim diparadekan oleh banyak Negara, termasuk Indonesia manakala merayakan event-event tertentu, oleh para TNI AD, AU dan AL.
Sehingga lagi-lagi kurang tepat saja kalau pidato kebangsaan Presiden dan parade militer itu dianggap sebagai simbol kesombongan. Termasuk ketika memperhadapkan sejarah Raja Fir’aun, Abrahah, Qarun dan lain sebagainya sebagai tokoh-tokoh sejarah simbol kesombongan manusia. Di sini kita perlu mencermati konteks pidato atau kalimat itu dilontarkan, agar kita bisa membedakan mana itu optimisme dan mana itu kesombongan. Bedanya memang tipis saja.
Nasihat bahwa kita manusia, Negara, lembaga, komunitas dan pihak manapun tidak boleh sombong adalah iya. Tetapi mencap pihak lain dengan tergesa-gesa sebagai pihak yang sombong juga bukan sikap yang bijaksana. Kepada individu manusia maupun Negara lain sekalipun. Kita boleh mengingatkan orang lain dan pihak manapun soal kesombongan, tetapi harus memakai strategi, perkataan yang baik dan berbasiskan data. Toh menentukan kesombongan itu bukan wilayahnya kita sebagai manusia. Sombong sendiri kan salah satu penyakit hati, siapa yang tahu isi hati seseorang apakah ia sombong atau tidak, hanya Allah yang tahu. Fokus kita lebih baik meningkatkan kualitas prestasi dan sikap rendah hati kita, sehingga dengan begitu dengan sendirinya kalau ada pihak yang sombong pun akan dibuat malu dan sadar.
Kalau kita mau sembarangan mencap sombong, kurang sombong apalagi Negara Amerika Serikat dan Iran misalnya. Amerika Serikat yang mayoritasnya bukan Muslim dan Iran yang mayoritasnya Muslim tapi Syiah, lantas kita juga mau mencap bahwa Amerika Serikat dan Iran juga sombong? Sebaiknya jangan. Mari kita ubah paradigma dan sikap kita agar semakin positif dan maju. Apakah China, Amerika Serikat, Iran dan berbagai Negara adidaya lainnya bisa kita kalahkan? Apakah Indonesia bisa menjadi Negara adidaya? Tentu saja tidak mustahil jika Allah meridai dan kita selaku warga Indonesia berupaya ke arah sana.
Tentu saja upayanya sangat berat, bukan dengan umpatan, caci-maki dan ujaran kebencian. Indonesia harus terus berbenah, menggarap inovasi dalam berbagai bidang kehidupan, perkuatan ibadah kepada Allah, zikir, mendawamkan wudu, perkokoh militer dan persenjataannya, Indonesia harus berperan aktif dalam perdamaian dunia dan lain sebagainya.
Untuk itulah kasus corona ini mesti dipetik hikmahnya. Jangan pernah ada sedikitpun kebencian bercokol dalam jiwa kita. Ingatkan bukan pesan-pesan Nabi saw., soal pentingnya keteladanan, bahwa kalau ada pihak yang jahat 100 persen sekalipun, kita harus membalasnya dengan kebaikan. Muslim di China–bukan hanya di wilayah Uighur–, sama sebagaimana Muslim di Indonesia, Muslim India dan Muslim di Negara manapun. Mereka saudara kita. Bahkan kita punya ajaran trilogi ukhuwah (ukhuwah: islamiyah, wathaniyah dan insaaniyyah). Muslim dengan non Muslim pun bersaudara yang masuk dalam balutan ukhuwah insaaniyyah.
Para tokoh mualaf dan kita tidak boleh mengolok-olok konsep tauhid dan syariat umat agama lain. Jaga lisan, jaga hati. Perspektif ukhuwah ini penting agar kalau ada ketegangan dan konflik, kita harus mengedepankan upaya-upaya yang soft, adem dan musyawarah. Tak terkecuali kepada para tokoh bangsa di dunia, jangan sampai memprovokasi umat dengan ujaran kebencian yang provokatif. Kalau ada cara yang lebih soft buat apa kita menggunakan cara yang memobilisasi masa besar seperti demonstrasi.
Akhirnya, saya mengucapkan terimakasih kepada Mba Asma yang telah menulis tulisan yang penting itu. Saya bersemangat meresponnya sebagai bentuk kepedulian bahwa kita tidak boleh terperangkap pada stigmatisasi dan generalisasi berlebihan. Potensi konflik pasti ada, tetapi pastikan agar logika, pikiran dan hati kita tetap adem.
Perbaikan dan perubahan menuju perdamaian dunia itu memang tidak mudah. Sama seperti kita belajar Islam, harus tetap sabar dan hati-hati. Tak boleh merasa paling benar sambil menyalahkan orang lain. Tak boleh terpancing nyinyir, sinis dan emosional. Apa yang kita ucapkan dan kita tulis adalah apa yang akan kita perbuat. Tindak-tanduk kita itu apa yang kemudian mencerminkan siapa diri kita. Oh ya, saya juga mohon diingatkan, sehingga kita bisa saling mengingatkan, kalau ada hal-hal kurang berkenan atau tidak sependapat sekalipun. Semoga Allah senantiasa melindungi kita sekalian.
Wallaahu a’lam
Wassalaamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh