Melalui tulisan Buya Syafii Maarif terbaru di Harian Kompas dengan judul “Pesan untuk Muhammadiyah dan NU”, menjadikan saya semakin paham apa sebetulnya yang menjadi kegelisahan dan keprihatinan sosok yang penuh dengan keteduhan dan kearifan itu. Pesan yang disampaikan Buya tersebut meskipun ditujukan secara cukup khusus kepada Muhammadiyah dan NU, namun sebenarnya yang menjadi pokok keprihatinan utamanya adalah masalah keislaman dan keindonesiaan.
Saya termasuk bagian dari kalangan yang meyakini bahwa ada sebagian orang yang semakin bertumbuh umurnya, semakin arif pula pemikirannya. Saya kira Buya mewakili sosok yang seperti itu. Saya yakin, sosok seumur Buya tentu akan semakin mempersempit apa-apa saja yang menjadi perhatiannya. Namun, jika sekali ada hal yang menjadi perhatiannya, maka berarti hal itu adalah persoalan yang maha serius. Dalam konteks ini adalah masalah keislaman dan keindonesiaan.
Dalam maklumatnya, Buya mengatakan bahwa tak ada masa depan keindonesiaan di kalangan gerakan Islam trans-nasional di Indonesia. Membaca maklumat Buya yang bagian itu, saya berfikir dan merenung sejenak. Saya berusaha mereka-reka kelompok Islam yang seperti apa yang di tangan mereka “keindonesiaan tak punya masa depan” itu.
Baiklah, rupanya untuk memahami persoalan ini kita harus mengamati dinamika perkembangan Islam di Indonesia kurun waktu 40-50 tahun terakhir. Jika Muhammadiyah dan NU sudah lahir jauh sebelum rentang tahun itu, lantas kelompok mana sebenarnya mereka itu?
Perkembangan Islam di Indonesia mengalami arus baru sejak kisaran tahun 80-an. Saat itu banyak pelajar muslim yang diberi beasiswa untuk kuliah di Arab Saudi dan Timur Tengah secara umum. Berbagai beasiswa itu umumnya disponsori oleh lembaga Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang dekat dengan lembaga filantropi gerakan Wahabisme di Indonesia.
Para pelajar yang mendapatkan beasiswa tersebut banyak terpapar wacana pemikiran Wahabisme di Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Setelah mereka selesai belajar, kemudian mereka kembali ke tanah air untuk mengembangkan model pemahaman keislaman yang mereka anut. Namun, yang menjadi soal adalah perenungan keislaman mereka tidak pernah punya pengalaman dalam bergumul dengan situasi keindonesiaan.
NU dan Muhammadiyah lahir ketika Indonesia masih di bawah kuasa penjajah. Mereka mengerti sekali betapa pedihnya hidup di bawah kolong kaki orang lain. Dari pengalaman penuh kesengsaraan itulah timbul sebuah keinginan untuk merdeka. Mereka kemudian bergerak menentang perlakuan kolonialisme itu.
Ketika bergerak, meraka kemudian mengerti bahwa yang berjuang untuk merdeka bukanlah hanya mereka “umat Islam” saja sendirian. Dari ujung kanan dan kiri ternyata juga berbaris orang-orang Nasrani dari Indonesia Timur, orang-orang Hindu dari Bali, orang-orang Nasionalis pengagum Sukarno, orang-orang Sosialis, dan juga ada orang-orang Komunis. Meski nama terakhir tersebut sering dilupakan!!
Pengalaman berdarah-darah untuk memperjuangkan kebebasan tersebut tidak dialami oleh kelompok Islam yang baru datang belakangan, yakni mereka kelompok Islam trans-nasional. Mereka tak pernah mengerti bahwa orang-orang yang berjuang untuk mendirikan negeri ini terdiri dari banyak kalangan dan isi batok kepala mereka berbeda-beda. Mereka juga tak pernah memahami, betapa susahnya menyatukan banyak aspirasi menjadi satu negeri seperti republik ini.
Sepertinya demikian inilah yang direnungkan oleh Buya. Bagi sosok yang lahir sepuluh tahun sebelum kemerdekaan seperti Buya, agaknya permenungan betapa pentingnya merawat persaudaran keindonesiaan menjadi suatu hal yang maha penting.
Buya Syafii Maarif pernah hidup dalam semua situasi zaman dan berbagai macam kekuasaan. Beliau lahir pada masa kolonialisme, tumbuh sebagai pemuda di zaman Sukarno, menjadi dewasa di masa Suharto, dan menua di masa reformasi. Dari semua zaman dan kekuasaan yang dialami, kondisi keindonesiaan kita masa sebelumnya dan saat ini mungkin masih jauh dari kata “ideal.” Meskipun kurang sempurna di banyak hal. Namun, tak bisa dipungkiri kita terus berbenah dan ada kemajuan di sana dan sini.
Bagi orang-orang yang pernah makan asam garam kehidupan politik Indonesia seperti Buya, barangkali kata-kata inilah yang bisa mewakili nasehatnya kepada generasi muda muslim masa kini yang terpapar Islam trans-nasional: “Kritiklah dengan sekeras-kerasnya kekuasaan jika berbuat lalim. Namun, kritik tersebut harus dalam kerangka kita merawat keindonesiaan!!.”
Tak dipungkiri memang ada sebagian kaum bijak bestari yang menganjurkan untuk tidak melulu menjalani hidup sesuai anjuran orang tua. Namun, tak ada salahnya jika kita mengambil pelajaran dari orang tua yang punya permenungan sedalam dan seserius Buya Syafii Maarif. Bahkan, Gus Dur saja menaruh hormat padanya dan pernah menyebutnya sebagai “Pendekar Chicago”!!!