“Kita semua adalah cermin Yang Ilahi, sekaligus cermin sesama manusia” (Jalaluddin Rumi, 1207-1273)
Masih segar di ingatan warganet keriuhan polemik salah satu ormas Islam di Indonesia yang hendak mengadakan salat ‘ied di Pekalongan dan Jawa Barat namun mendapat surat pelarangan yang berkop burung garuda.
Meski saat ini surat pelarangan tersebut sudah berganti pembolehan dan umat muslim telah purna menggelar shalat Idul Fitri, namun buntut perdebatannya sudah terlanjur berdampak kemana-mana.
Semua berpendapat, dari yang benar-benar mengerti letak perbedaannya hingga yang turut menyumbang suara sumbang sok tahu pengetahuannya.
Tak pelak, diktum “tenggang rasa” bergema di jagat maya, meski publik kita hari ini sebetulnya masih berada pada tahap “tegang rasa”.
Ya, alih-alih “tenggang rasa”, justru “tegang rasa” yang kerap muncul di media-media arus utama kita. Hal ini biasanya terjadi jika terdapat perbedaan, bila tak sama dengan pendapat pribadinya, atau juga muncul di otak yang amnesia bahwa republik ini dibangun di atas fakta keragaman dengan berbagai spektrumnya, salah satu yang paling kecil dalam spektrum tersebut ialah perbedaan intra-agama, dalam hal ini intra-Islam sendiri.
Rasanya masih jauh harus berbicara harmoni di antara inter-religious atau antar agama, jika baru di tahap intra agama saja keributannya sudah terlambat puluhan atau bahkan ratusan yang lalu. Diskusi kita tak pelak masih terkunci di masa lalu hingga akhirnya kita mengulangi lagi diskusi klasik itu di masa kini. Huft!
Ramadan memang telah berakhir, tapi kemanakah tujuan ketakwaan dari berpuasa yang selalu disampaikan oleh para khatib di mimbar keagamaan? Atau mungkin berpuasa membuat kita semakin mudah lupa?
***
“Agar engkau menjadi orang yang bertakwa”, demikian bunyi penghujung QS. Al-Baqarah ayat 183 yang menjadi ayat langganan dibaca—khususnya ketika awal Ramadan.
Bertakwa menjadi tujuan setiap Muslim meski mungkin maknanya begitu abstrak untuk digapai, tentu bukan sekadar menjauhi larangannya—yang tiap hari kita langgar dan melakukan perintahnya—yang tiap hari juga luput kita kerjakan.
Rumi menyadari akan kompleksitas dan kekayaan hidup manusia sebagai perjalanan berziarah menuju Tuhan dalam kesatuan dengan sesama. Berkitan dengan hal ini, Rumi mengangkat kisah Yusuf dalam Al-Qur’an (Masnawi I: 3170-3513).
Rumi memulai tafsirnya dengan pernyataan mendasar mengenai apa yang dibawa tiap insan untuk Tuhan di hari akhir nanti, seperti halnya seorang tamu yang akan melewati Nabi Yusuf juga harus membawa bingkisan hadiah.
Bagi Rumi, jawabannya jelas: kemurnian hati adalah satu-satunya hadiah yang layak bagi Tuhan. Untuk membahas tema ini, Rumi kemudian menggunakan metafor cermin—yang dalam narasi adalah hadiah yang diperoleh oleh Nabi Yusuf dari tamunya.
Dalam metafor ini, hati yang murni, bersih, dan tulus berfungsi sebagai cermin keilahian. Jadi, dalam cermin kemurnian hati, manusia bisa melihat pantulan citra dan kehadiran Ilah, yang juga menjadi inti martabat insaninya.
Di titik ini, hati (qalb) selalu dimengerti sebagai sebuah wahana istimewa di mana perjumpaan insan-Ilahi terjadi dalam kedalaman dan intimitasnya.
Rumi melanjutkan mengikuti tradisi Muslim—persaudaraan, seperti yang tertuang dalam sebuah hadis: setiap Muslim adalah cermin untuk saudara atau saudarinya.
Maka, bagi Rumi, hati yang bersih suci tidak hanya memampukan manusia bertemu dengan Tuhannya, melainkan juga memampukan dia melihat martabat suci dan kebaikan dari sesamanya, untuk kemudian menyatukan hati dengan sesamanya ini.
Selanjutnya, tantangan terbesar dari proses pemurnian hati menurut Rumi adalah membersihkan hati dari kesombongan yang membuat cinta tak berfungsi dalam diri manusia, yang membuat manusia gagal melihat Tuhan dan sesama, juga tak mampu melihat hakikat dirinya. Kesombongan memporakporandakan cermin kemurnian hati, memisahkan manusia dari Tuhan dan sesamanya.
Rumi, dalam melihat meneropong eksistensi setiap insani, dengan kategori nafs atau jiwa, yakni bagian dari daya-daya manusia yang mengarahkan pada pemenuhan nafsu yang cenderung egois—yang akarnya tidak lain adalah kesombongan.
Bagi Rumi, kesombongan jelas hanya akan membawa manusia pada narsisme spiritual. Dengan proses pemurnian hati manusia akan mengenal diri sebagai cermin Ilahi, sehingga tidak menjadikan dirinya sebagai pusat segalanya.
“Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”, demikian sebuah ungkapan yang begitu populer dalam dunia sufisme.
Oleh karena itu, terang bahwa ungkapan tersebut tidak membawa manusia menjadi pusat segalanya, melainkan menaruhnya dalam kerangka relasi intim dengan Tuhan.
Manusia tetaplah hanya cermin. Maka, meski kemanusiaan kita mencerminkan keagungan Ilahi, Rumi memberi peringatan agar manusia tetap rendah hati akan kondisi dasariah setiap insan sebagai cermin yang tidak bergunan tanpa objek lain yang dipantulkan.
Sebagai cermin, manusia sering tergoda untuk mendaku pantulan-pantulan indah itu, seakan-akan semua itu berasal dari kita diri kita sendiri dan hanya menjadi miliknya.
Rumi menulis:
Janganlah engkau mengagumi diri sendiri/ jangan menumpuk debu di cermin hatimu// Saudaraku/ kebijaksanaan telah mengalir padamu/kebijaksaan milik para suci// Ingatlah/ meski sebuah rumah memiliki lampunya sendiri/tetapi rumah itu akan kelihatan jika lampunya bersinar menerangi tetangganya// (Masnawi I: 3267-3269)
Sekali lagi, hanya dengan proses pemurnian hatilah manusia akan mengenal diri sebagai cermin Ilahi, sehinngga tidak menjadikan diri sebagai pusat segalanya. Tidak menjadi si paling bertakwa atau si paling merasa benar sendiri atau bahkan mendaku si paling sholeh dari training panjang berpuasa selama Ramadan.
Atau, orang-orang yang mendaku demikian memang memerlukan remedial dalam puasa Ramadannya, sebab Ramadan tampak telah gagal membentuknya menjadi cermin Ilahi dan cermin sesama ciptaan-Nya, di tengah konflik intra-Islam yang menuntut untuk segera diakhiri di tengah klisenya ungkapan ukhuwah islamiyah.