Bagi sebagian orang, perkara meminjamkan buku terkadang terasa sebagai momen yang dilematik. Di satu sisi ia punya kewajiban moral untuk berbagi pengetahun, di sisi lain meminjamkan buku adalah salah satu hal yang sangat rentan perkara kehilangan. Oleh sebab itu tak jarang sebagian orang memilih untuk tidak meminjamkan bukunya dengan alasan ‘keamanan’ koleksinya tetap terjaga.
Namun walaupun begitu tetap saja ada oknum-oknum yang dengan sengaja tidak mengembalikan buku. Entah dengan alasan apa, ada kalanya lupa atau memang dengan sengaja tidak mengembalikannya.
Bahkan terdapat ungkapan guyon tapi agak serius dari Gus Dur, “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya. Dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang sudah dia pinjam.”
Ungkapan tersebut tentu, tidak berpesan mengajak semua orang untuk bertindak illegal tidak mengembalikan buku. Akan tetapi ungkapan tersebut, lebih mengajak semua orang untuk lebih mencintai buku. Bagaimana seseorang bisa memanfaatkan buku yang ia punya lebih optimal.
Di antara kisah yang sangat mayhur dalam ingatan, adalah kisah seorang presiden pertama Amerika Serikat, George Washington. Ia tercatat pernah telat tidak mengembalikan dua buku yang ia pinjam dari perpustakaan umum New York selama 221 tahun.
Ia tercatat meminjam buku pada 5 Oktober 1789 M. Satu merupakan sebuah disertasi dalam bidang hubungan internasional dengan judul Law of Nations dan satunya lagi sebuah transkrip debat dari parlemen Inggris. George Washington bahkan tidak menulis namanya dalam daftar peminjam buku. Seorang ajudannya hanya menulis ”presiden” untuk kolom peminjam.
Ketika ditagih oleh pihak pengelola perpustakaan 221 tahun kemudian, Sayangnya buku yang dipinjam itu juga sudah raib karena tidak diketahui anak turun Washington yang mengetahui keberadaan dua buku tersebut.
Kisah serupa juga ternyata banyak terjadi dalam lintasan sejarah intelektual ulama muslim. Di antara salah satu fragmen tersebut adalah apa yang diceritakan oleh Ad-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam wal Wafayat al-Masyahir wal-A’lam juz 39 hal 267.
Dikisahkan bahwa Abu Muhammad bin al-Khossyab an-Nahwi merupakan salah satu ulama Nahwu kenamaan di Kota Baghdad. Oleh Ad-Dzahabi, namanya disejajarkan dengan Abu Ali al-Farisi, seorang linguis Bahasa Arab yang terkenal..
Ia merupakan sosok ulama yang gigih dalam membaca. Ia mempunyai ketahanan baca yang cukup lama. Sepanjang siang-dan malam mampu ia habiskan dengan membaca. Abu Muhammad al-Khosyyab juga sering mengunjungi toko dan pameran buku. Ia adalah pemain lama dalam ‘permainan’ buku. Ia mempunyai trik tersendiri agar ia bisa membawa banyak buku dengan harga sangat miring.
Ketika menjalankan aksinya ia biasanya akan melihat-lihat koleksi buku terlebih dahulu. Jika ada buku yang menawan hatinya, ia akan mengambil buku itu, dan berusaha berpura-pura membaca isi dari buku tersebut.
Ia terus berpura-pura membaca dan membandingkan dengan buku lain, sekira ia tidak banyak menarik perhatian penjual. Jika penjual sudah lengah, ia kemudian menyobek salah satu bagian dari buku tersebut lantas menyodorkannya kembali kepada penjual:
“Buku ini cacat, Mas. Halamannya ada yang robek,” ungkapnya.
Tentu penjual akan langsung kaget. Ia pun kemudian melancarkan jurusnya yang kedua. Ia kemudian akan menawar buku itu dengan harga dibawah pasar. Mau tidak mau penjual itu pun melepas biku itu sesuai tawaran Abu Muhammad al-Khosyyab.
Sesampainya dirumah ia pun menempel kembali bagian buku yang ia sobek tadi. Begitulah salah satu kebiasaan Abu Muhammad al-Khosyyab untuk mengumpulkan sebagian koleksi bukunya. Sehingga di rumahnya tersimpan banyak sekali buku-buku dari berbagai jenis displin ilmu. Ia sendiri termasuk sosok yang sangat mencintai pengetahuan, ia sangat gemar membaca. Akan tetapi cara yang dilakukannya agak tidak sesuai dengan cara-cara islami.
Tidak hanya itu, ia juga sering meminjam buku dari teman-temannya dan tidak dikembalikan. Ketika ditagih, “kembalikan bukuku yang engkau pinjam!”
“Waduh, ini bukumu ketlingsut di rumahku, bercampur dengan ribuan bukuku yang lain. Maaf ya? Tahu sendiri kan betapa banyaknya buku di rumah,” begitu ia berdalih.
Di penghujung kisah ini, Imam ad-Dzahabi kemudian menyebut, “Jika memang benar kisah ini, kemungkinan atau bisa jadi ia kemudian bertobat”
Dalam riwayat lain, sebagaimana dituturkan oleh as-Suyuthi, di akhir hayatnya, al-Khassyab mewakafkan semua koleksi bukunya kepada para pelajar dan ahli ilmu sebagai bentuk pertaubatannya.
Kisah-kisah di atas tentu ditulis tidak dimaksud untuk memprovokasi orang untuk melakukan serupa di masa depan. Kisah-kisah tersebut justru ditulis sebagai bahan renungan agar kita senantiasa mencintai pengetahuan sekaligus menghargai darimana kita mendapat pengetahuan.
Dikatakan oleh sebagian ulama:
ان السفلة من إذا استعار كتابا لم يرده
“Sesunnguhnya orang yang hina derajatnya adalah orang yang berani meminjam buku, akan tetapi tidak mampu mengembalikannya”
Sebagai pengingat saja, setelah membaca tulisan ini, bagi anda yang merasa masih membawa buku milik teman atau milik perpustakaan kalau sudah waktunya mengembalikan, ya, silahkan dikembalikan. Karena tidak ada kemuliaan dari pengetahuan yang diambil dari cara yang tidak diharapkan. (AN)