Mudik, demikian kita acap kali menyebut tradisi pulang kampung menjelang hari raya Idul Fitri. Setiap tahun. Pesertanya pun bebas. Tidak terbatas umat Islam an sich. Non-Islam sekali pun boleh mengklaim pulang kampung sebatas mengisi libur panjang Idul Fitri sebagai mudik. Dan itu sah, karena tidak merusak akidah.
Tentu, setiap orang biasanya merayakan mudik dengan suka cita. Semasa saya masih di bangku Madrasah Aliyah (setingkat SMA), mudik adalah momentum yang paling dinanti-nanti para santri laiknya mereka—atau lebih tepatnya saya—yang tak sabar mendengar azan Maghrib saat bulan Ramadhan.
Namun begitu, mudik bagi para santri, yang hanya akan terjadi setahun sekali itu sekaligus menandai adanya “yaumul hisab” dan pertanggungjawaban. Pasalnya, kelak ketika telah tiba di kampung halaman masing-masing mereka harus berhadapan dengan rentetan pertanyaan demi pertanyaan.
Dari pertanyaan yang sifatnya sekadar tegur sapa, kemudian disuruh nggantiin mengumandangkan azan di Masjid setempat karena muazin primernya juga lagi mudik, sampai pertanyaan serius yang menjawabnya mengandaikan rujukan-rujukan babon. Tentu seputar keagamaan. Meskipun sesekali agak melebar.
Kini, persoalannya barangkali akan lebih kompleks. Salah satunya adalah gempuran paham keagamaan yang berkiblat pada apa yang disebut oleh Mas Edi AH Iyubenu sebagai Salafus Shalih Milenial.
Ya, santri yang sehari-harinya bergelut dengan literatur-literatur keagamaan—kitab suci, kitab kuning, dan kitab-kitab lainnya—kini musti siap-siap dimentahkan oleh lebatnya abu dogma yang bertebaran di internet.
Payahnya, jika yang demikian itu disponsori oleh arogansi benar-salah, surga-neraka, dan bahkan dalam bentuknya yang paling suram, partai Allah vs partai Setan.
Itu belum termasuk jamuan argumen-argumen ala motivator hijrah atau ustaz seleb macam Hanan Attaki, Felix Siauw, Khalid Basalamah, Sugik Nur. Eh, itu ngapain yang terakhir ikut-ikutan nongol, ya.
Alhasil, di tengah kontestasi fanatisme sumbu Google ini, resonansi semangat Islam sebagai simbol kedamaian dan keadaban untuk sekalian alam tertutup oleh kesalehan semu yang diperagakan seolah-olah yang demikian itu adalah yang dikehendaki Kanjeng Nabi atau merupakan tuntutan murni ajaran Islam.
Pada titik ini saya jadi teringat kisah Haji Soleh yang ‘dipahat’ oleh A.A. Navis dalam Robohnya Surau Kami sebagai sosok yang telah menghabiskan seumur hidupnya untuk beribadah. Sehingga dia biarkan dirinya sendiri melarat. Bahkan tidak peduli apakah anak cucunya pun teraniaya semua.
Itulah masalahnya. Semangat beragama Haji Soleh yang menggebu itu ternyata tidak ditopang oleh kesadaran untuk, dan bahkan menjadi hamba Tuhan yang sadar realitas.
Selain itu, ada juga kisah Ompi yang harus merasakan pahitnya rasa kecewa karena anak semata wayang yang selama ini disombongkan tak mampu memenuhi harapannya. Alih-alih pulang ke rumah dengan membawa titel dokter seperti yang telah digembor-gemborkan, sang anak justru hilang entah kemana rimbanya. Tenggelam bersama kelamnya kehidupan metropolit.
Demikian halnya beragama. Jangan-jangan apa yang selama ini kita sering “sombongkan” dengan jubah keislaman kita, atau berlagak membela Tuhan, serta berebut tiket masuk surga dengan menebang ranting perbedaan, dan menggelorakan utopia Khilafah sebagai yang paling suci atau Islami karena telah “sesuai” dengan tuntunan sunah, justru bukan itu yang dikehendaki Kanjeng Nabi.
Akhirnya, sembari mengiringi mudik ke kampung halaman masing-masing, mari kita lantunkan, simak dan hayati lagu Tanah Airku karya Ibu Sud.
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negeri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan
Wallahu A’lam