Buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia karya Ariel Heryanto mencoba untuk mengungkapkan bahwa kegiatan ‘mengkonsumsi budaya populer’ sejatinya bukanlah sebatas kegiatan untuk mencari kesenangan atau kenikmatan, namun lebih dari itu kegiatan ini adalah merupakan usaha untuk ‘merumuskan identitas’. Ariel mencoba meneropong bagaimana sebuah identitas dibentuk melalui budaya pop. Sebuah kajian yang dilakukan pada film yang digandrungi kelas menengah di Indonesia.
Ariel berargumen dalam buku ini bahwa budaya pop sejatinya adalah budaya yang tidak bisa lepas begitu saja dengan nuasa politik. Artinya apa yang disebut sebagai pop juga bisa dimaknai sebagai sesuatu yang politis. Pandangan yang seperti ini mengingatkan pada pandangan Baudrillard (1983: 3), bahwa sejatinya orang yang menonton televisi tidak benar-benar menonton semata, lebih dari itu ia sedang ditonton oleh televisi tersebut.
Televisi merefleksikan “diri” penonton tersebut dalam bentuk serangkaian iklan, acara, dan juga program kesukaannya. Inilah “diri” penonton tersebut. Dalam konteks ini, menonton bukanlah sebatas kegiatan menonton semata, ada kompleksitas makna yang bisa diungkap di balik sebatas kegiatan yang kelihatannya hanya bersifat hiburan dan bersenang-senang semata.
Demikian pula dengan Ariel, ia mengatakan bahwa seorang yang menonton film sejatinya ia tidak semata-mata sepenuhnya ingin berekreasi, berfantasi, dan bertamasya untuk bersantai ria, namun lebih dari itu menonton film adalah kegiatan untuk ‘memproyeksikan’ diri mereka. Dari sinilah Ariel memperkokoh bangunan argumentasinya dengan menempatkan film Ayat-Ayat Cinta sebagai contoh konkret. Film ini tercatat sebagai film ‘islami’ yang paling laris sepasca rezim Orde Baru tumbang.
Dalam tulisan ini akan dikupas dan ditelisik lebih dalam epistemologi apa yang digunakan dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar ini. Makalah ini lebih dalam difokuskan untuk mengulas apa dan bagamaimana pascamodernisme sekaligus di saat yang bersamaan dikupas lebih lanjut bagaimana pandangan pascamodernisme yang ada di dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar.
Studi yang dilakukan Ariel Heryanto ini mengungkapkan bahwa ada pemberontakan pada kemapanan-kemapanan definisi yang sebelumnya telah diberikan atau bahkan bersifat nyaris seluruhnya ‘given by regime’ yang dilakukan oleh Orde Baru kala itu. Pemerintahan yang berkuasa lebih dari tiga dekade ini membuat kebijakan-kebijakan yang monolitik terhadap hampir seluruh bidang kehidupan sosial politik penduduk Indonesia.
Akibatnya sebuah definisi dan konsep telah dibuat dan dibentuk dari atas dan dipaksa untuk diterapkan sampai tingkat masyarakat paling bawah sekalipun. Artinya ada pola penyeragaman atau yang acap dekenal dengan tafsir tunggal. Hal ini juga terjadi dalam konteks pendefinisian identitas. Siapa yang disebut sebagai masyarakat Indonesia, bagaimana ciri-cirinya, dan seterusnya dan sebagainya telah dibakukan dalam kategori-kategori tertentu yang bersifat politis dan cenderung reduksionis.
Pada posisi ini lahirlah yang kemudian apa yang diistilahkan sebagai pribumi dan non-pribumi sebagai anak sah dari pola pikir reduksionis yang mencoba meringkus identitas manusia Indonesia menjadi sederhana dan cenderung simplifikatif seperti itu.
Padahal sebagaimana dikatakan oleh Sumardjo, bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikutur sekaligus kosmopolit. Watak ini, utamanya multikulturalisme tidak bisa begitu saja direduksi menjadi sesederhana yang sebagaimana didefinisikan dan dikategorikan oleh Orde Baru. [Bersambung]