Merayakan Idul Adha bersama Søren Kierkegaard

Merayakan Idul Adha bersama Søren Kierkegaard

Pesan Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya yang kemudian diganti dengan domba atau kambing adalah pesan yang universal antara makhluk dengan khaliq, sebuah pesan ketundukan. Bagaimana sosok filosof Søren Kierkegaard dalam memaknai hari raya Idul Adha?

Merayakan Idul Adha bersama Søren Kierkegaard

Pada era pencerahan, tersebutlah seorang pemikir bernama Søren Kierkegaard yang melancarkan berbagai rupa kritik. Ia mengkritik apa yang ia sebut sebagai “massing of society”. Mengkritik kecenderungan rasio yang dominan digunakan serta kerumunan (crowd) manusia dalam berbagai hal. Manusia yang bertingkah laku hanya mengikuti tren alias mengikuti logika kerumunan. Bahkan dalam hal beragama.

Dalam masyarakat kontemporer “the crowd”—kelompok sosial menenggelamkan individu, sehingga individu merasa “hampa” tanpa “the crowd”. Manusia berangsur menjadi makhluk anonim, sehingga menghilangkan individualitas manusia. Manusia menjadi tidak otentik. Logika kerumunan ini sempat dituturkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ketika berkata tentang kerumunan umat Islam yang seperti buih belaka.

Bertakwa Di Level Eksistensialisme Religius

Dari sudut pandang filsuf eksistensial ini, eksis dimaknai sebagai hidup tidak hanya mekanis, namun juga sadar, personal dan subyektif. Eksis berarti hidup secara otentik. Filsuf asal Denmark ini membaginya beberapa tipologi level eksistensi. Pertama, level eksistensi estetik, hidup dimaknai sebagai kesenangan sementara, hanya untuk memuaskan hasrat. Hidup untuk sekarang dan untuk tujuan yang terbatas (limited) karena sifatnya duniawi.

Melakukan segalanya tanpa peduli masa depan. Individu akan merasa kebingungan dengan kedangkalannya dan kehausannya akan kesenangan sementara. Saat mengalami kebosanan dan krisis, ia akan tertantang untuk naik ke level yang lebih tinggi. Oleh karena itu, Kierkegaard meletakkan level eksistensi ini paling bawah.

Kedua, level eksistensi etik, pada level ini hidup dimaknai sebagai sebuah komitmen serta tanggung-jawab. Individu dalam hal ini mematuhi aturan-aturan moral universal tentang baik dan buruk. Ia menyandarkan dirinya pada hal ini. Mereka yang berada di level ini, kelemahan manusia akan bisa ditaklukkan oleh kehendak manusia itu sendiri. Namun, hingga pada level ini, Kierkegaard tetap merasa tidak cukup. Perlu dinaikkan lagi levelnya ke level tertinggi.

Ketiga, level eksistensi religius, pada level ini, manusia tampil dengan kesejatiannya, sebagai pribadi yang unggul, menghadap Tuhan. Meletakkan segala yang partikular di atas yang universal dalam satu hubungan dengan Yang Tak Terbatas. Mengembalikan semua kepada Tuhan. Kierkegaard hendak memberi pelajaran tentang keikhlasan. Melakukan semuanya dalam koridor ketuhanan.

Manusia tidak lagi menginginkan pengertian serta kesaksian dari mata manusia, namun lebih menghayati pertemuannya dengan Tuhan sebagai satu dialektika yang sejati. Kepercayaan dengan Tuhan adalah satu tindakan yang dimungkinkan karena Tuhan memberikan kesempatan kepada manusia untuk mengatasi dirinya dan menghadap kepada-Nya.

Jika awalnya manusia terjebak di tengah kerumunan, lepaskan dirimu dan bergabung di ranah ilahiah. Akrablah sebagai satu-satunya dengan tugas serta identitasmu sebagai manusia di muka bumi, sebagai khalifah. Hingga manusia menemukan dirinya berada di level eksistensi religius. Di level ini, menurut Kierkegaard—relasi ketuhanan yang paling tinggi menurutnya adalah cinta, wa bil khusus kecintaan kepada Tuhan (hablum minallah). Sebagaimana umumnya cinta ilahiyat, pengorbanan adalah kunci.

Berkurban bersama Søren Kierkegaard

Qurban yang terambil kata “qarib” dari bahasa Arab yang berarti “dekat” juga berbunyi sama dengan bahasa Ibrani, yakni “qarava”. Seperti kita ketahui bahwa tradisi berkurban untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta adalah tradisi agama Abraham atau Ibrahim yang sudah dilakukan sejak tradisi Yahudi hingga tradisi Islam belakangan, meski dengan sedikit intonasi yang berbeda.

Peristiwa kurban ini juga tak luput dibahas oleh Søren Kierkegaard dalam bukunya yang berjudul Fear and Trembling (1843). Dalam karyanya ini, Søren Kierkegaard mengetengahkan Ibrahim sebagai contoh ketika ingin memperlihatkan manusia dengan level eksistensi religius. Nabi Ibrahim sebagai seorang yang mengorbankan anaknya demi Tuhan. Karena Ibrahim mengetahui itu perintah Allah. Ibrahim mendengar perintah/firman Allah dan taat. Pasrah. Tunduk total pada Tuhan.

Lebih lanjut, Kierkegaard memberi ciri-ciri sebagai berikut; Pertama,“Infinite Resignation”, yakni kepasrahan total—menyerahkan secara total kepada Tuhan akan membawa seseorang lebih dekat kepada Tuhan, kedalam kesadaran abadi bahwa yang ia butuhkan hanya Tuhan.

Kedua,Knight of Faith is delighted dimana hidupnya selalu ringan dan gembira. Tidak memiliki kesusahan. Meminjam istilah Al-Qur’an, la khaufun alaihim, wa la hum yahzanun. Ia percaya bahwa bersama Tuhan segalanya menjadi mungkin dan Tuhan akan memberinya segala yang dia butuhkan, oleh karena itu ia selalu gembira dan merasa cukup dengan Tuhan.

Ketiga, Kierkegaard memberi gambaran tentangThe Teleological Suspension of the Ethical”,tidak banyak interupsi, tidak melakukan tawar-menawar. Fokus pada perintah Allah. Ibrahim menunda evaluasi etika demi tujuan yang lebih besar, yaitu hubungan personalnya dengan Tuhan. Apa yang akan dianggap pembunuhan dari sudut pandang etika, dipandang sebagai pengorbanan dari sudut pandang religius.

Lebih lanjut, Kierkegaard memberi rumusan universal ketika menafsirkan kisah “Ishaq/Isma’il” yang dikembalikan kepada Ibrahim berarti—kalau kamu memberikan sesuatu kepada Tuhan, ia akan memberikannya padamu kembali ditambah cinta dan keselamatan.

Perjalanan Ibrahim untuk mengikuti panggilan Tuhan adalah sebuah perjalanan iman. Inilah iman yang sesungguhnya. Iman membuat Ibrahim tidak takut atau cemas akan jalan atau keputusan yang ia ambil.Sebuah perjalanan iman yang membawa manusia tidak sekadar terhenti pada koleksi-koleksi pahala namun juga pada koleksi tindakan yang berbuah kebajikan.

Tidak hanya terhenti pada ide tentang kebaikan serta shaleh individu, namun menuju pada pembebasan serta shaleh sosial-kolektif. Ibrahim dari kejauhan sana akan melihat ke arah umat-umatnya, termasuk umatnya dari garis Nabi Muhammad SAW sedang berkerumun di momentum Hari Raya Idul Adha melaksanakan apa yang dulu hendak dilakukan olehnya—sembari bertanya ke dalam hati—“entah sampai mana level eksistensi mereka semua, sudah sampai di level religius kah? Atau masih sampai pada level estetik saja?”Wabaarik ‘alaa Muhammad,wa ‘alaa aali sayyidina Muhammad. Kamaa baarakta ‘alaa Ibraahiim, wa ‘alaa aali Ibraahiim, fil’alamiina innaka hamiidummajiid”.