Dalam hidup, sering kali kita mendapati kesulitan bertubi-tubi, sampai merasa ditimpa sial. Namun sikap demikian ternyata adalah batil karena mengabaikan kasih sayang Allah SWT. Sebagaimana Ibnu Nubatah al-Mishri dalam Syarhul ‘Uyun fi Syarhi Risalati Ibni Zaidun, mengisahkan tentang sosok Ibrahim bin Sayyar an-Nazhzham al-Bashri yang kemudian dikutip oleh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam Karyanya Shafahat min Shabril Ulama’.
Ibrahim bin Sayyar an-Nazhzham merupakan sosok yang cerdas. Bahkan menurut al-Jahizh beliau adalah satu di antara orang-orang cerdas yang muncul pada setiap seribu tahun sekali dan menjadi manusia yang tidak tertandingi dalam hal keilmuannya pada masa itu.
Pada suatu hari, Al-Jahizh dan Ibrahim bin Sayyar mendiskusikan sebuah hadis tentang thiyarah (ramalan sial). Ibrahim bin Sayyar lalu bercerita bahwa dirinya pernah kelaparan, sampai beliau harus makan tanah. Beliau mengalami hal itu, hingga beliau pun mempertimbangkan akibatnya. Ibrahim bin Sayyar an-Nazhzham lalu mengingat-ngingat, adakah seseorang yang bisa memberinya makan pagi dan petang? Tetapi beliau tidak mendapatkannya. Karena pada saat itu masih mempunyai jubah dan baju, beliau pun menjual jubahnya untuk makan.
Setelah itu, Ibrahim bin Sayyar berjalan menuju kota Ahwaz. Di sana beliau tidak mengenal seorang pun. Hal tersebut beliau lakukan semata-mata karena beliau kebingungan, merasa sumpek dan sial dalam hidup. Ibrahim bin Sayyar kemudian menuju tempat penambatan perahu. Namun beliau tidak melihat sebuah perahu, dan akhirnya merasa sial dan pesimis karena hal yang dijumpainya.
Tiba tiba Ibrahim bin Sayyar melihat sebuah perahu. Namun, di lambungnya terdapat lubang akibat kayu yang patah. Lagi-lagi Ibrahim bin Sayyar merasa sial. Kemudian Ibrahim bin Sayyar berkata kepada sang nelayan. “Bersediakah anda membawaku?” Sang nelayan menjawab, ‘’Baiklah’’.
“Siapa namamu?” tanya Ibrahim bin Sayyar. “Dawadaz”, jawab orang tersebut. Nama tersebut dalam bahasa Persia merupakan nama setan. Ibrahim bin Sayyar kembali merasa pesimis. Aduh, sial lagi. Meski begitu, Ibrahim bin Sayyar tetap naik bersamanya.
Ketika Ibrahim bin Sayyar mendekati penambatan perahu, beliau berteriak, “Wahai tukang angkut, aku membawa kain selimut tua yang usang, kain penutup kusam, dan beberapa barang yang kuperlukan.”
Tukang angkut pertama yang menjawabnya ternyata adalah laki-laki yang matanya juling. Lalu beliau berkata kepada tukang sapi, “Berapa kamu menyewakan sapi jantanmu ini ke kota Khan?” ketika ia menunjukkan sapinya kepada Ibrahim bin Sayyar, ternyata sapi itu bertanduk patah. Dan lagi-lagi beliau merasa sial dengan “pertanda sial” sapi yang bertanduk patah.
Ibrahim bin Sayyar pun semakin gundah, merasa sial lagi di samping banyak kegundahan-kegundahan sebelumnya. Lalu Ibrahim bin Sayyar bergumam, “Lebih selamat kalau aku pulang”. Tiba-tiba Ibrahim bin Sayyar teringat nasibnya yang pernah makan tanah. Beliau bergumam, “Siapa nanti yang bakal mengurusku bila aku mati?”
Akhirnya Ibrahim bin Sayyar tiba di kota Khan. Beliau bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Tiba tiba beliau mendengar pintu rumah yang ditempatinya diketuk. Sontak beliau bertanya, “Siapa?“ Jjawaban yang muncul justru, “Ibrahim”. Beliau berkata dalam hati, “Ini musuh atau utusan sultan?”
Kemudian Ibrahim bin Sayyar berdiri dan membukakan pintu. Orang itu lalu berkata, “Ibrahim bin Abdul Aziz mengirimku kepadamu, ia berpesan untukmu, “Walaupun kita berbeda dalam pendapat dan mazhab, namun kita harus berpegang kepada hak-hak akhlak dan kemerdekaan. Saat kau melintasiku, aku melihatmu dalam keadaan yang tidak aku sukai.”
“Kamu pasti tertekan oleh kebutuhan, sehingga kamu pergi dari negerimu. Jika kamu tidak keberatan, tinggallah di tempat ini barang satu atau dua bulan. Siapa tahu kami bisa mengirimkan kepadamu sesuatu yang dapat mencukupimu untuk beberapa waktu. Jika kamu ingin pulang, maka ini ada 30 Dinar. Ambillah dan gunakanlah. Kamu adalah orang yang paling patu menerimanya.”
Ibrahim bin Sayyar sontak berkata, “Ada beberapa hal yang mengagetkanku. Pertama, sebelumnya aku tidak pernah memiliki uang sebanyak 30 Dinar. Kedua, keberadaanku dan kepergianku dari keluarga belum lama. Ketiga, jelaslah bagiku bahwa merasa sial adalah sebuah kebatilan!” Beliau tersadar, bahwa merasa sial dalam menjalani kehidupan adalah perbuatan yang sangat batil.
Merasa sial dalam menjalani kehidupan adalah sesuatu yang sangat batil, sebab Allah SWT adalah Tuhan yang maha memberi rahmat dan kasih sayang. Allah Swt juga selalu melimpahkan rizki tidak terduga kepada makhluk ciptaan-Nya. Termasuk ketika makhluk tersebut berada dalam keadaan tertekan karena adanya sebuah perbedaan pandangan dengan orang lain.
Di sisi lain, perbedaan mazhab dan pandangan jangan sampai menghilangkan hak-hak akhlak, kebebasan, kemanusiaan di antara sesama makhluk ciptaan Tuhan. Jika orang yang berbeda dengan kita mendapatkan musibah dan kesulitan, sudah selayaknya kita membantu dan menolongnya. Bukan mengabaikannya karena mengingat-ingat perbedaan yang pernah terjadi.
Sudah selayaknya sebagai makhluk paling sempurna dan diciptakan berbeda-beda, tugas manusia adalah mencari titik persamaan di antara perbedaan-perbedaan yang ada untuk saling melengkapi. Bukan bermusuhan di atas perbedaan yang ada.