Meragukan Nasionalisme Santri

Meragukan Nasionalisme Santri

Meragukan Nasionalisme Santri

Banyak orang beranggapan bahwa santri melupakan nasionalisme. Mereka beranggapan seperti itu mengingat dalam keseharian di pesantren, para santri hanya bergelut dengan kitab kuning, baik itu dalam musyawarah, sorogan maupun bandongan saja. Namun, hal itu terbantahkan pada perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke 71 yang jatuh pada tahun 2016 ini.

Rabu (17/8), tampak ratusan santri dari berbagai pesantren turut menyemarakkan hari jadi Indonesia ini dengan berbagai hal. Salah satunya dengan melakukan upacara bendera. Kebanyakan dari pesantren yang menyelenggarakan upacara ini menggunakan seragam ala pesantren, untuk santri putra menggunakan sarung yang dipadukan dengan baju koko atau batik serta peci hitam melekat di kepala masing-masing santri. Sementara untuk santri putri mengenakan baju keseharian mereka.

Ada banyak pesantren yang melakukan kegiatan upacara ini, seperti pondok Sidogiri Pasuruan, An Nur Malang, PTYQ Kudus, Darul Huda Ponorogo, Tremas Pacitan, Bumi Sholawat Sidoarjo, Salafiyah Situbondo, Khas Kempek Cirebon, Dalwa Pasuruan, Darussalam Keputih Surabaya dan masih banyak lagi lainnya.

Sebenarnya, nasionalisme dari santri itu tak perlu dipertanyakan apabila mau mengingat sejarah terjadinya Hari Pahlawan. Hari Pahlawan sendiri dilatarbelakangi oleh adanya sebuah fatwa dari seorang kiai kharismatik yang berasal dari Jombang, Jawa Timur. Beliau adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri dari Pondok Pesantren Tebu Ireng yang juga kakek dari presiden ke 4 Indonesia, KH Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa dengan panggilan Gus Dur.3fcbcdcf-5ac6-4958-a65a-1197770db178

Mbah Hasyim melalui fatwanya yang kurang lebih isinya adalah mewajibkan tiap-tiap umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang saat itu berpusat di Yogyakarta. Kewajiban ini sendiri dibebankan kepada tiap orang Islam (fardlu ‘ain), terutama laki-laki dewasa yang berada dalam radius 94 km dari tempat kedududukan musuh (radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan menqoshor sholat).

Di luar radius itu umat Islam yang lain wajib memberikan bantuan. Jika umat Islam yang dalam radius 94 kalah, maka umat Islam yang lain wajib memanggul senjata. Fatwa ini kelak dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad.

Fatwa yang dicetuskan pada 22 Oktober 1945. Untuk mengingat keberanian santri dalam mempertahankan kemerdekaan ini, pemerintah telah menetapkan sebagai Hari Santri Nasional sejak 2015 silam. Resolusi jihad ini membuat semangat juang para santri yang dikomandoi oleh Bung Tomo dalam pertempuran di Surabaya. Pertempuran ini sendiri berhasil dimenangkan oleh Indonesia yang berhasil memukul mundur Inggris yang kala itu pemimpinnya, Mallaby tewas dibunuh oleh salah seorang santri yang meletakkan bom di mobilnya.

Kini negara Indonesia telah merdeka dan telah berusia 71 tahun. Tentunya dalam menjaga kemerdekaan Indonesia akan semakin sulit sebab Bung Karno pernah berkata,“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Namun Insya Allah selama masih ada pesantren yang di dalamnya ada kiai dan santrinya di Indonesia, kemerdekaan Indonesia akan tetap terjaga.

Melihat kisah heroik dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang melibatkan perjuangan santri di dalam perjuangan tersebut, masihkah Anda meragukan nasionalisme santri? []

Ahmad Hanan adalah Alumni MA TBS Kudus & PP. MUS-YQ Kudus. Kini sedang meneruskan di ITS Surabaya Jurusan Teknik Informatika.