Menyoal Rajab, Membincang Isra Miraj (Bagian 3-Habis)

Menyoal Rajab, Membincang Isra Miraj (Bagian 3-Habis)

Bagaimana bulan Rajab menjadi istimewa? Ini penjelasan ilmiah berdasarkan data sejarah dan kitab klasik.

Menyoal Rajab, Membincang Isra Miraj (Bagian 3-Habis)

Setelah mengakhiri perjalanan Isra dengan tujuan akhir Masjidil Aqsha, dan juga sehabis melakukan shalat bersama para Nabi dan Rasul, kemudian Rasulullah dipersilakan oleh Jibril menaiki Buraq untuk selanjutnya mengarungi sebuah perjalanan dahsyat yang sulit dicerna oleh akal pikiran manusia saat itu. Itulah Mi’raj atau perjalanan Nabi dari Masjidil Aqsha sampai ke Sidratil Muntaha.

Secara etimologis, Mi’raj berarti alat untuk menaiki sesuatu. Dalam hal ini Ibnu Mandzur menyatakan bahwa Mi’raj adalah tangga yang dipakai untuk menaiki ketinggian. Sedangkan menurut terminologinya, pengertian Mi’raj adalah naiknya Rasulullah dari Masjidil Aqsha ke langit menembus atsmosfir, melintasi galaksi sampai akhirnya tiba di sebuah tempat yang dinamakan Sidratul Muntaha.

Mi’raj Perjalanan Lintas Galaksi Untuk Menerima Wahyu

Perjalanan Rasulullah yang maha dahsyat ini diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya: “Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat (kepada Muhammad untuk menyampaikan wahyu), lalu bertambah dekat. Sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu disampaikannya wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan Allah. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.

Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang dilihatnya itu?. Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain. (Yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar”. (QS. 53:7-18).

Secara eksplisit ayat di atas menegaskan bawa ketika Rasulullah melakukan Mi’raj, beliau banyak melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang meliputi planet-planet, gugusan bintang dan lain sebagainya. Sehingga tibalah beliau di ufuk langit paling tinggi, di saat itulah malaikat Jibril menampakkan wujud aslinya. Menurut al-Zamakhsyari di dalam tafsir al-Kassyaf saat mengomentari ayat ini, ia menyatakan bahwa sesungguhnya Jibril tidak tidak pernah menampakkan wujud aslinya kecuali kepada Nabi Muhammad.

Di perjalanan ini, Rasulullah banyak menemukan tanda-tanda kebesaran Allah s.w.t. yang diperlihatkan kepadanya, termasuk bertemu dengan para Nabi dan Rasul sebelumnya. Kendati demikian di antara anugerah yang diperlihatkan kepada Rasulullah adalah momen di mana beliau bertatap muka dengan Allah serta bercakap-cakap, hingga akhirnya Allah memerintahkan syariat yang paling urgen sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang muslim, yaitu shalat lima waktu.

Perjalanan yang begitu singkat, namun sarat akan pelajaran dan tanda-tanda kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada hamba-Nya merupakan peristiwa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah dakwah Islam. Walaupun demikian, harus diakui bahwa inti dari perjalanan mi’raj ini adalah disyariatkannya shalat lima waktu sebagai ritual yang sangat penting bagi umat Islam.

Oleh karena itu dalam sebuah hadis dikatakan: “Sesungguhnya amal perbuatan seorang hamba yang ditanya pertama kali kelak di hari kiamat adalah shalat, apabila shalatnya benar, maka benar pula seluruh amal perbuatan yang lain”. (HR. Tirmidzi, 413).

Membangun Ukhuwah lewat Toleransi

Mumpung masih di bulan Rajab yang sarat akan peristiwa penting ini, sebagai seorang musim yang taat, hendaknya kita memperbanyak berfikir dan merenung, betapa besar anugerah Allah yang diberikan kepada kita sebagai umat Nabi Muhammad pada bulan ini, di mana Allah memperjalankan hamba-Nya dalam Isra’ dan Mi’raj, seyogyanya kita meninggalkan perdebatan-perdebatan kusir yang tidak perlu serta jauh dari sikap arif dan bijaksan yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan. Bagaimanapun juga kita umat Islam adalah umat yang mengedepankan persatuan dan kesatuan.

Oleh karena itu, untuk merajut persatuan tersebut, maka sikap toleran diperlukan untuk memperkuat tali ukhuwah baik kaitannya dengan ukhuwah Islamiyah (Islamic Brothehood), Ukhuwah Wathaniah (Nation Brothehood), dan Ukhuwah Insaniah (Humanities Brothehood). Sehingga dengan ini, kita menjadi ummat yang didam-idamkan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an yaitu Ummatan Wahidah, baik dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Semoga! []

Moh. Khoiron adalah Penulis adalah Pegiat Islamic Studies dan Sosiologi  Agama. Twitter: @MohKhoiron

Baca bagian pertama di sini dan kedua di sini