Menyoal Hadis Tsaqalain di Indonesia: Tentang Berpegang Teguh Pada Dua Peninggalan Rasulullah

Menyoal Hadis Tsaqalain di Indonesia: Tentang Berpegang Teguh Pada Dua Peninggalan Rasulullah

jangan terlalu mudah hanya menerima begitu saja apa yang dikatakan oleh tokoh publik, tetapi kita juga perlu untuk mengecek kembali dan memastikan apakah hal itu benar apa tidak.

Menyoal Hadis Tsaqalain di Indonesia: Tentang Berpegang Teguh Pada Dua Peninggalan Rasulullah

Pernah mendengar hadis tsaqalain? Yaitu hadis yang berbunyi dua perkara peninggalan Nabi: “Kitab Allah dan SunnahKu” dan “Kitab Allah dan ‘Itrah keluargaKu”. Ternyata ada dua versi. Bahkan para ulama’ pun berbeda-beda dalam menyikapi hadis tsaqalain tersebut. Dalam konteks Indonesia, hadis yang banyak muncul dan dikutip adalah hadis yang bernarasi agar kita berpegang teguh kepada “Kitab Allah dan SunnahKu”, bukan “Kitab Allah dan ‘Itrah keluargaKu”.

Namun, belakangan ini ada tokoh pendakwah Indonesia yang bernama Khalid Basalamah, yang ia melafalkan arti hadis guna mengajak para jama’ah untuk kembali kepada al-Qur’an dan hadis.

Khalid Basalamah adalah tokoh/da’i yang sering muncul di laman media sosial. Menariknya, apa yang dikatakan oleh Khalid Basalamah tersebut tidak dengan menampilkan detail sanadnya secara lengkap, atau dalam tradisi hadis disebut takhrij hadis.

Sebenarnya ada apa sih dengan hadis tsaqalain? mengapa para ulama atau tokoh seperti Khalid Basalamah tidak menjelaskan hadis tersebut secara jelas sesuai dengan keilmuan hadis, serta kenapa ungkapan hadis tentang dua pusaka nabi al-Qur’an dan sunnah Nabi yang dimunculkan, bukan al-Qur’an dan ‘Itrah keluarga ahlul bait Nabi? Apakah karena itu bertentangan dengan ideologi dirinya, atau bahkan ada relasi kuasa?

Memahami Konteks Hadis

Redaksi hadis yang menyatakan “Kitab Allah dan Itrah ahlul baitKu” bisa ditemukan dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal nomor 21697 jilid V halaman 189.:

حدثنا أبو أحمد الزبيري ثنا شريك عن الركين عن القاسم بن حسان عن زيد بن ثابت قال قال رسول الله صلي الله عليه و سلم: إني تارك فيكم خليفتين كتاب الله وأهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتي يردا علي الحوض جميعا.

Artinya: Menceritakan kepada kami Abu Ahmad az-Zubairi, menceritakan kepada kami Syarik, dari Rukain dari Qasim bin Hassan dari Zaid bin Tsabit, ia berkata “Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian dua peninggalan yaitu Kitabullah dan KeluargaKu, sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya dikembalikan kepadaku di telaga surga.

Secara ringkasnya ulama memberikan pendapat bahwa sahabat dan sekretaris Nabi saw yaitu Zaid bin Tsabit adalah siqah. Sehingga kesimpulannya bisa dikatakan; pertama, ditinjau dari segi kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para perawinya, dapat dikatakan bahwa seluruh perawi dalam hadis tersebut adalah siqah dan maqbul. Kedua, dilihat dari segi hubungan periwayatan antara satu perawi dengan yang lain, seluruh sanad tersebut muttasil (bersambung). Berdasarkan hal di atas, disimpulkan bahwa sanad hadis tersebut melalui jalur periwayatan Ahmad bin Hanbal yang memenuhi kriteria hadis shahih lidzatih dari segi sanadnya.

Adapun matan hadis tentang “Kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya” bisa ditemukan dalam riwayat al-Hakim.

تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبدا ما إن تمسكتم بهما كتا ب الله و سنة رسوله (رواه الحاكم)

Artinya: Telah aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.

Jika kita merujuk kepada sumber-sumber hadis “Kitab Allah dan SunnahKu”, ini tidak terdapat dalam kitab hadis Kutub As-Sittah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan An-Nasa’I, Sunan Abu Dawud, dan Sunan At-Tirmidzi). Sumber hadis ini terdapat dalam al-Muwatta Imam Malik, Mustadrak Ash-Shahihain al-Hakim, at-Tamhid Syarh al-Muwatta ibnu Abdil Barr, Sunan Baihaqi, Sunan Daruquthni dan Jami’ as-Saghir As-Suyuti.

Dari semua sumber yang telah disebutkan, ternyata hadis tersebut diriwayatkan dengan empat jalur sanad yaitu Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Amr bin Awf dan Abu Said al-Khudri. Terdapat juga beberapa hadis yang diriwayatkan secara mursal (terputus sanadnya). Hadis “Kitab Allah dan SunnahKu” yang diriwayatkan secara mursal ini terdapat dalam kitab al-Muwatta, Sirah Ibnu Hisyam, Sunan Baihaqi, Shawahiq al-Muhriqah dan Tarikh at-Tabari. Sehingga beberapa para ulama menilai ketika hadis itu mursal atau terputus, maka hadis mursal tidak bisa dijadikan hujjah karena kemungkinan kedhaifannya. Namun demikian ada juga ulama yang tetap menshahikan dengan kualitas sampai hasan.

Dari semua pemaparan di atas, jika hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” dinyatakan shahih maka hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” akan jadi jauh lebih shahih seharusnya. Setelah kita melihat bagaimana status hadis di atas berdasarkan takhrij hadis, maka sebenarnya hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” akan lebih lebih shahih, sedangkan hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunnahKu” hanya masuk kategori hasan dan bahkan ada yang mengatakan dho’if. Tetapi kenapa lebih banyak yang disampaikan atau dikutip hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”.

Pertanyaannya, mengapa di Indonesia yang masyhur tersebar adalah hadis “Kitab Allah dan SunnahKu”? Menurut hemat penulis karena adanya relasi kuasa. Relasi kuasa ini yang menjadikan jama’ah mampu dikondisikan oleh tokoh atau pemimpin.

Di sisi lain, seseorang tidak suka dengan pemaparan hadis yang runut berdasarkan keilmuan hadis. Orang lebih senang dengan yang instan dan langsung loncat kepada pernyataan bahwa hadis itu bisa dipakai atau shohih karena ia ada dalam kitab shahih Bukhari, shahih Muslim atau Muwatho’ Imam Malik. Padahal menurut penulis, apa yang dilakukan oleh seorang figur yang banyak pengikut tersebut akan jadi masalah jika pengikutnya hanya mengikuti tanpa pertimbangan kritis dan akal sehat.

Dari semua penjelasan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa, baik yang mengklaim dirinya paling Qur’ani, paling sunnah, atau paling ahlul bait, pada hakikatnya bukan identitas-identitas itu yang diperlukan, melainkan bagaimana pribadi-pribadi kita bisa menjadi sosok tauladan seperi Nabi saw.

Bagi kita, jangan terlalu mudah hanya menerima begitu saja apa yang dikatakan oleh tokoh publik, tetapi kita juga perlu untuk mengecek kembali dan memastikan apakah hal itu benar apa tidak. Kemudian, ketika menjadi tokoh publik perlu untuk berhati-hati dan kompeten sesuai keahliannya. Jangan memaksakan apa yang kita tidak ketahui. Wallahhu a’lam.