
“Ketika saya memberi makan kepada rakyat, mereka menyebut saya santo (orang suci dalam Gereja Katolik). Ketika saya bertanya mengapa tidak ada makanan, mereka menyebut saya komunis” (Dom Hélder Câmara)
Ramadan seyogianya tak lagi dibaca sekadar rutinitas ibadah tahunan, namun juga merupakan medan refleksi teologis yang menawarkan pemaknaan ganda.
Pertama, puasa sebagai pengalaman mistis yang mengaasah spiritual melalui kelaparan.
Kedua, sebagai momentum pembebasan sosial dalam melawan ketidakadilan struktural.
Alih-alih berhenti pada tataran individu, dalam proses berpuasa, terdapat nuansa pembebasan dan perlawanan di dalam praktik berpuasa.
Mahatma Gandhi, salah satu tokoh yang memahami kelaparan tak sekadar pengalaman fisik individu, namun juga sebagai alat perlawanan sosial dan politik.
Pada Februari 1943, Gandhi melakukan puasa selama dua puluh satu hari untuk memprotes penahanannya selama enam bulan tanpa dakwaan.
Protes ini mengguncang hati nurani bangsa, dan secara khusus mempengaruhi kelas pekerja di distrik Howrah di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Benggala Barat. Oleh karena itu, Revolutionary Socialist Party (RSP) di Howrah menghimbau para buruh untuk melakukan aksi mogok kerja pada hari pertama puasa Gandhi.
Dampak dari puasa Mahatma Gandhi terhadap kelas buruh dapat diukur dari fakta bahwa Serikat Buruh Bersatu, yang dibentuk oleh RSP memutuskan untuk tidak membiarkan pabrik-pabrik beroperasi hingga puasa berakhir, dan menginstruksikan para buruh untuk melakukan kegiatan sabotase.
Teologi Lapar Berpuasa: Mistisisme dalam Kelaparan
“If I am hungry, that’s is physical problem: if my neighbour is hungry, that’s is a spiritual problem” (Nicolai Berdyaev)
Puasa membawa manusia mengalami keterbatasan dan menahan diri dari hasrat material. Dengan merasakan kelaparan, manusia dibawa untuk merenungkan hakikat dirinya, belajar mengendalikan hasrat material, dan membangun solidaritas dengan mereka, yang setiap hari bergelut dengan kemiskinan.
Dalam kasus ini, Dorothee Sölle dalam The Silent Cry: Mysticism and Resistance (2001) mengembangkan konsep mystical hunger, yakni kelaparan spiritual yang mengantar manusia mengalami kehadiran Sang Ilahi melalui keterbatasan fisik.
Bagi Sölle, puasa bukanlah penderitaan, melainkan jalan menuju kesadaran spiritual yang mendalam, kesadaran yang bisa menjadi sarana untuk memahami hakikat kemanusiaan dan relasi manusia dengan Tuhan serta sesamanya manusia.
Ali Syariati dalam Hajj: The Pilgrimage (1980) memandang puasa sebagai bentuk transformasi diri.
Dia menekankan, dengan berpuasa, manusia memutus keterikatannya terhadap dunia material dan menyambungkan diri kepada Allah dalam keheningan batin. Pengalaman lapar bukan hanya kondisi fisik, namun juga dimaknai sebagai perjuangan spiritual dalam menemukan makna sejati kehidupan.
Dalam Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab (1991), Hasan Hanafi menggemakan hal serupa, dia menekankan bahwa puasa adalah pengalaman mistik yang membebaskan manusia dari belenggu duniawi dan mengasah kepekaan terhadap realitas sosial di sekitarnya.
Peristiwa lapar dalam berpuasa seharusnya tak berhenti pada tataran individu semata.
Ramadan tak pelak merupakan bulan solidaritas. Secara mistik, dalam kondisi menahan lapar seyogianya mengantar manusia tidak sekadar ke Tuhan, namun juga menuju rumahnya, yakni di gubuk si miskin, meminjam nada Ir. Soekarno.
Bung Karno hendak mengatakan bahwa memasuki rumah Tuhan, yakni memasuki kemiskinan itu sendiri, sebab Tuhan bersama si miskin.
Menahan lapar adalah bentuk solidaritas kepada si miskin yang perutnya sudah terlatih dengan berpuasa makanan, bukan didorong oleh tuntutan agama, namun keadaan melempar mereka pada kemiskinan, sehingga terjerumus pada kelaparan struktural.
Peter Singer menyebutkan, kemampuan mendapatkan makanan yang layak merupakan ukuran pertama keadilan sosial. Di mana ada kelaparan, di situ sudah pasti ada ketidakadilan.
Ketidakadilan ini dapat disaksikan dalam laporan yang diturunkan oleh The Institute for Ecosoc Rights Institute, berjudul “Mati Sunyi Satu Dekade”. Laporan ini merekam pelanggaran HAM berat dalam kasus kematian masif akibat pelanggaran hak ekonomi, sosial, budaya selama 10 tahun pemerintahan Jokowi. Di dalamnya menyebutkan, jumlah kematian terbesar kelima adalah kematian karena kondisi kemiskinan, krisis pangan/kelaparan dan tekanan ekonomi.
Total kematian akibat krisis pangan/kelaparan dan ekonomi dalam satu dekade pemerintahan Jokowi mencapai 6.815 jiwa, dengan rata-rata kematian 681 jiwa/tahun. Kematian sunyi ini menunjukkan bahwa puasa yang kita Jalani di bulan Ramadan semestinya membawa penyadaran akan realitas kesenjangan yang saat ini masih berlangsung.
Dalam momen ini, setelah seharian berpuasa, momen berbuka puasa pun dapat menjelma dari ibadah individu menuju ibadah sosial, memperjuangkan keadilan sosial.
Seperti yang dikatakan Neneng Rosdiyana di laman facebooknya: dalam buka puasa bersama, keadilan sosial bukan sekedar teori yang membawa banyak berbagi, yang tak punya tetap kebagian. Mungkin Karl Marx lupa mencantumkan ini di Das Kapital.
Ramadan: Bulan Pembebasan Spiritual dan Sosial
Puasa adalah laku solidaritas kepada mereka yang ditindas secara struktural dari sistem yang kapitalistis nan eksploitatit. Setiap kali seorang Muslim menahan lapar, ini menjadi pengingat akan realitas konkrit yang dihadapi jutaan orang yang berpuasa bukan karena pilihan teologis, namun sebab keterpaksaan ekonomi.
Ketika waktu berbuka puasa tiba, solidaritas itu nyata. Buka puasa tak lain adalah ekspresi keadilan sosial dalam tindakan, demikian paradigma Nenengisme sebelumnya.
Lebih jauh, keadilan sosial, tak berhenti pada momen berbuka. Di ujung Ramadan, setiap yang mendaku pengikut Nabi Muhammad SAW yang mampu berkewajiban bersolidaritas dengan hartanya, kepada mereka yang membutuhkan. Memastikan di perayaan Idulfitri tidak ada yang tertinggal.
Inilah prinsip pembebasan Islam yang paling kentara, wujud nyata sosialisme Islam.
Hasan Hanafi berpendapat, zakat bukan sekadar tindakan kedermawanan, melainkan bentuk konkrit dari keadilan sosial yang bertujuan membebaskan kaum tertindas dari belenggu kemiskinan struktural.
Di satu sisi, Islam datang hendak menghapuskan kesenjangan struktural, meski di sisi lain, kekayaan si kaya (1%) seolah tak pernah surut, malah bertambah. Dan si miskin (99%) seolah selamanya berada dalam jurang kemiskinan, atau mungkin lebih tepatnya dimiskinkan oleh sistem yang kapitalistis nan menghisap ini.
Dalam lensa teologi kiri, Ramadan perlu dibaca sebagai momentum revolusioner untuk membangun kesadaran spiritual kritis terhadap struktur sosial yang semakin hari menindas dan mencari upaya untuk mengatasinya.
Sehingga keberkahan Ramadan dapat dirasakan semua orang, tidak ada yang ditingggalkan sendirian, tak membedakan kelas sosial, pendapatan perkapita dan jabatan duniawinya.
Dalam Ramadan, manusia bak besi yang dipanaskan: ditempat untuk menajamkan nurani dan menyalakan sensor kemanusiaannya. Di bulan ini, spiritualitas dan pembebasan dalam satu alunan yang seirama. Spiritualitas tidak melulu sesuatu yang individual, melainkan juga terlibat dan bertindak dalam ruang sejarah, dalam realitas konkrit kemanusiaan.
Pada akhirnya, di Hari Kemenangan, semua orang merasakan kemenangan. Tidak saja kemenangan spiritual, namun juga kemenangan sosial. Merasakan manisnya iman, merengkuh kenikmatan spiritual dan merayakan pembebasan. Pembebasan spiritual, dan pembebasan sosial.
Sekali lagi, Ramadan membawa semua orang merasakan kemenangan, kembali pada fitrahnya, tanpa kesenjangan kelas. Sebab di mana Sang Pencipta, manusia hanya dibedakan dari ketakwaannya.
Ala kulli hal, Ramadan mendorong umat Muslim untuk melampaui ritual nirmakna, ia adalah panggilan untuk bergerak, membangun kesadaran umat Muslim bahwa ibadah seyogianya bermuara pada transformasi diri dan masyarakat.
Tak hanya individu yang meningkat kesadaran rohaninya, namun juga memastikan mereka yang tertindas turut meningkat kelasnya dan mendapatkan haknya. Bulan ini, sekali lagi tak bicara eskatologis-metafisik, namun tentang bagaimana membangun kehidupan yang lebih adil dan manusiawi di dunia, saat ini. Wallahu ‘alam.