Menyembunyikan Agama

Menyembunyikan Agama

Menyembunyikan Agama

Di Twitter, saya sering mengunggah foto buku yang sedang saya baca. Kadang-kadang novel, kumpulan cerita, kumpulan puisi, dan sesekali buku nonfiksi dengan beragam tema. Tidak hanya mengunggah foto, tapi saya juga memberi komentar untuk buku itu. Lantas, suatu hari seorang follower yang mungkin juga pembaca saya, bertanya: “Maaf, hanya penasaran. Dari sekian banyak buku yang dibaca, Quran masuk tidak?”

Itu bukan kali pertama pertanyaan sejenis dilayangkan ke saya. Sudah beberapa kali. Sebagian memang terkesan hanya penasaran. Namun, sisanya terasa seperti tuduhan. Semoga bukan saya yang kelewat sensitif, tapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu di satu titik menyiratkan hal ini: Seakan-akan hanya karena di Twitter saya lebih sering mengunggah foto novel ketimbang Quran, otomatis saya pasti mengesampingkan kitab suci agama saya itu.

Menghadapi pertanyaan tersebut, yang kebetulan disampaikan seorang wanita muda berjilbab, saya ingin menjawabnya begini:

“Mbak, ibu saya muslimah taat. Bapak saya muslim yang baik. Saya diajarkan mengaji sejak kecil. Hingga usia 27 tahun ini, saya sudah khatam Quran lima kali. Bisa jadi tidak banyak, tapi alhamdulillah sampai hari ini saya masih mengaji. Tidak setiap hari memang. Kadang mengaji, kadang enggak. Maklum anak muda, sering enggak konsisten. Sama kayak saya baca novel, enggak setiap hari. Kadang baca, kadang enggak. Saya sering upload foto novel karena senang aja. Saya ingin audiens saya membaca buku-buku yang menurut saya bagus. Lantas, mungkin Mbak tanya lagi, apa Quran itu enggak bagus jadi saya jarang nunjukin ke Twitter kalau saya baca Quran? Wah, enggak gitu, Mbak. Meski saya tiap malam mengaji, saya enggak mau ngupload halaman Quran hanya untuk nunjukin saya rajin mengaji. Bisa riya. Saya enggak mau itu. Tapi kalau Mbak menyimak, sebenarnya sesekali saya mengupload screenshot aplikasi Quran atau halaman Quran cetak, sekadar berbagi ayat yang saya suka. Tetap risikonya riya, tapi enggak apa-apa, saya ambil saja. Intinya, Mbak, sama seperti ketika saya sering ngupload foto lagi ngopi atau nongkrong sama teman tapi enggak pernah ngupload foto lagi solat atau dzikir. Apa itu artinya saya enggak pernah solat? Penasaran boleh saja. Tapi sebelum itu mungkin Mbak perlu berpikir hal sederhana ini: Apa yang Mbak lihat dari seseorang adalah apa yang seseorang itu pilih untuk Mbak lihat, dan ada alasan kenapa seseorang tidak memperlihatkan hal-hal tertentu. Semoga jawaban saya memuaskan. Have a good day.”

Namun, alih-alih mengetik jawaban panjang barusan, saya hanya diam sembari menyeruput segelas chocolate black tea with jelly yang barusan saya pesan di sebuah kafe, membaca ulang pertanyaan tersebut, dan membalas: “Masuk.”

Guru mengaji saya waktu kecil bilang: “Kalau kamu masukin uang ke kotak amal pakai tangan kanan, tangan kirimu jangan sampai tahu.”

Nasihat itu membekas di hati saya hingga kini. Seiring beranjak dewasa, saya berpikir nasihat tersebut bisa dibawa ke makna yang lebih luas. Selain bahwa “jangan sampai orang tahu kalau kita sedang beramal”, saya merasa nasihat itu juga berarti pesan dari beliau agar saya menyembunyikan ibadah yang lain. Solat dan baca Quran, misalnya.

Itu sebabnya, meski saya sering mengoceh di Twitter tentang novel yang sedang saya baca, saya tidak pernah mengoceh tentang Quran. Saya tidak ingin orang tahu saya sedang baca Quran. Begitupun solat. Sebisa mungkin, kalau sedang di tempat publik, saya tidak ingin ada orang yang melihat saya solat. Kecuali kalau solatnya di musola mal atau masjid, tidak apa-apa, karena semua orang ke sana memang ingin solat.

Saya muslim, alhamdulillah, tapi saya tidak ingin Islamnya saya diketahui orang hanya karena mereka lihat saya solat atau baca Quran. Begitupun dengan hal-hal yang “terlihat” lainnya, seperti pakaian muslim, kopiah, tasbih, dan benda-benda lain yang menunjukkan identitas keislaman. Saya lebih senang menyembunyikan semua itu.  Ada yang lebih penting dari hal tersebut, yakni nilai esensial pada Islam, salah satunya datang dari akar kata yang membentuk nama Islam itu sendiri, yakni “Salam” yang artinya damai.

Saya ingin jadi seorang muslim yang mencerminkan sifat terbaik Islam tersebut: Damai. Tidak perlu orang lihat saya sedang solat atau membaca Quran. Aktivitas-aktivitas itu cukup saya lakukan sendiri. Cukup saya sembunyikan. Hanya Allah SWT dan saya sendiri yang tahu hari ini saya solat atau tidak.

Bagi saya, yang lebih penting adalah perilaku saya sebagai manusia. Ketika saya berada di antara orang-orang, apakah saya membawa kedamaian? Apakah saya mencerminkan sifat-sifat terbaik seorang muslim?

Ini memang zaman media sosial, waktu terbaik untuk pamer apapun yang kita lakukan. Namun, cukup saya memamerkan novel-novel yang sedang saya baca. Sajadah dan Quran, mereka lebih bermakna bagi saya jika saya sembunyikan.