Menyembuhkan Luka Intoleransi dari Sukabumi

Menyembuhkan Luka Intoleransi dari Sukabumi

Menyembuhkan Luka Intoleransi dari Sukabumi

Pada Jumat, 27 Juni 2025 lalu, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Sukabumi, kembali menjadi sorotan setelah sekelompok warga mendatangi rumah singgah milik Maria Veronika Ninna, tempat ratusan pelajar Kristen dari Jakarta akan mengikuti kegiatan retret rohani. Beberapa bagian rumah dirusak, simbol keagamaan dijatuhakna, dan para peserta diminta meninggalkan lokasi.

Aksi ini dipicu oleh anggapan bahwa rumah tersebut digunakan sebagai tempat ibadah tanpa izin.

Padahal, jika kita membayangkan suasananya secara sederhana, ini tak jauh berbeda dari keluarga besar yang melaksanakan salat berjamaah di rumah orang tua. Tidak ada yang merasa itu sesuatu yang mengganggu. Tapi di Tangkil, dugaan semacam itu justru berujung pada tindakan kekerasan. Sulit membayangkan bagaimana rasanya menjadi tamu yang tiba-tiba diperlakukan seolah bersalah hanya karena berbeda keyakinan.

Forkopimcam setempat sebenarnya sudah mencoba menjembatani situasi namun upaya itu tidak cukup menahan gelombang emosi yang muncul. Peristiwa ini menyisakan pertanyaan yang lebih dalam tentang bagaimana sebagian masyarakat memahami dan mengekspresikan keyakinannya. Ketika agama dijalani dengan cara yang tertutup dan penuh kecurigaan terhadap yang berbeda, maka ruang hidup bersama menjadi rentan terhadap gesekan.

Insiden ini mengingatkan kita bahwa cara beragama tidak bisa dilepaskan dari cara kita memanusiakan sesama. Ketika rasa saling menghargai terpinggirkan, perbedaan yang seharusnya bisa dikelola secara wajar malah menjadi sumber ketegangan.

Belajar menyeimbangkan nalar, rasa, dan keyakinan.

Pertanyaan seperti “Mengapa sulit hidup berdampingan dengan yang berbeda?” bukan hal baru, tetapi tetap penting untuk ditanyakan. Jawaban yang keluar dari saya, anda dan kita semua mungkin berbeda. Namun yang pasti, kita perlu mengevaluasi kembali cara kita menjalankan agama dalam konteks sosial yang majemuk.

Agama membawa nilai-nilai keadilan dan kedamaian, kita sepakat. Tapi ketika pemahamannya tidak disertai empati dan pertimbangan akal sehat, ia bisa tergelincir menjadi alat justifikasi atas sikap yang merugikan orang lain.

Dalam kasus Sukabumi, kita bisa melihat bahwa emosi kolektif dan rasa curiga lebih cepat menyebar dibandingkan upaya memahami konteks secara utuh.

Mengutip sepenggal lagu Ebiet G. Ade, “Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih.” Dalam konteks ini, ini bukanlah ajakan tanpa maksud, melainkan seruan untuk kembali menyeimbangkan cara beragama dengan menggabungkan nalar, rasa, dan keyakinan kita sebagai manusia seutuhnya.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa direnungkan:

Tidak merasa paling benar. Dalam masyarakat plural, kebenaran bukan hanya milik satu kelompok. Dalam kasus ini, sebenarnya sudah ada ruang dialog antarwarga. Tapi minimnya empati dan munculnya provokasi membuat situasi memburuk.

Tidak mudah menyalahkan keyakinan lain. Perbedaan teologis adalah hal wajar. Selama tidak menimbulkan kekerasan atau mengganggu ketertiban umum, keyakinan agama seseorang tidak seharusnya menjadi alasan untuk dicurigai.

Melihat sisi baik dalam diri orang lain. Setiap orang membawa niat baik dengan caranya sendiri. Menghargai itu adalah bagian dari tanggung jawab hidup bersama. Perbedaan bukan ancaman, tapi bagian dari kenyataan sosial yang harus dihadapi dengan kepala dingin dan hati terbuka.

Untuk menyempurnakan ketiga hal ini, compassion atau welas asih menjadi modal penting. Yakkni kemampuan untuk peduli pada kondisi orang lain apapun latar agama, bangsa dan budayanya. Seperti yang diungkap Karen Armstrong, sikap welas asih berbeda dengan feeling (perasaan) yang biasanya fluktuatif.

Kita bisa menyayangi seseorang detik ini, namun di saat yang lain bisa saja kita berbalik membencinya dengan berbagai alasan, bahkan alasan yang irasional sekalipun. Namun sikap welas asih adalah sesuatu yang selalu ada, dalam kondisi apapun, kepada siapapun, bahkan termasuk kepada musuh sekalipun. Compassion bisa tumbuh ketika manusia berhasil menekan egonya dan lebih mementingkan sesame.

Merawat ruang hidup bersama

Peristiwa di Sukabumi mungkin bukan yang pertama, dan bisa jadi nukan yang terakhir. Tapi yang pasti ia menjadi pengingat bahwa cara kita menjalankan agama punya dampak langsung pada kualitas relasi sosial kita di akar rumput.

Alexis de Tocqueville pernah mengatakan bahwa masyarakat yang kuat dibangun atas dasar saling percaya. Dalam konteks kita hari ini, kepercayaan itu bukan hanya antara individu dan Tuhan (Hablum Minallah), tapi juga antara warga negara satu dengan yang lain (Hablum Minannas). Ketika ruang musyawarah terganggu oleh prasangka dan dominasi suara keras, maka kepercayaan akan mudah runtuh.

Oleh karena itu, yang kita perlukan bukan retorika toleransi semata, tetapi kerja-kerja kecil dan konsisten dalam membangun kebiasaan berdialog, berbagi ruang, dan saling memahami. Agama seharusnya tidak menjadi tembok yang memisahkan, tapi jembatan yang menghubungkan antar kita sesama umat manusia.