Menyelami Kontroversi Abdur Rauf as-Sinkili

Menyelami Kontroversi Abdur Rauf as-Sinkili

Menyelami Kontroversi Abdur Rauf as-Sinkili

Syaikh Abdur Rauf as-Sinkili menjadi rujukan bagi perkembangan pengetahuan Islam di Nusantara. Sang mujtahid ini hidup dalam dunia Aceh, yang sedang mengalami kontroversi. Syaikh Abdur Rauf mengkoneksikan ilmu pengetahuan Islam dari haramain dan Timur Tengah, dengan kultur Nusantara. Dari Abdur Rauf as-Sinkili, kita belajar keteguhan dalam belajar.

Lanskap pengetahuan Islam Nusantara memunculkan kisah-kisah ulama dengan warisan intelektual yang lintas wilayah. Gagasan-gagasan para ulama pada beberapa abad lampau, menginspirasi komunitas muslim, tidak hanya di kawasan Nusantara, bahkan hingga muslim di Timur Tengah. Interkoneksi gagasan antara ulama Nusantara dan Timur Tengah inilah, yang menjadikan warisan pengetahuan ini saling mempengaruhi, mencipta warna sekaligus identitas Islam yang khas.

Syaikh Abdur Rauf as-Sinkili merupakan mujtahid Nusantara yang sangat produktif. Karyanya, baik ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab, berjumlah 22 judul kitab. Tema-tema yang menjadi konsentrasi Syaikh Rauf as-Sinkili beragam: tafsir, kalam, tasawuf dan fiqih. Di antara karya beliau: Mir’at ath-Thullab fi Tasyi al-Ma’rifah al-Ahkam as-Syari’iyyah li al-Malik al-Wahab.

Karya Mir’at at-Tullab ini, ditulis Syaikh Abdur Rauf as-Sinkili pada 1074 H/1633 M, atas permintaan Sultan Aceh, Sayyidat ad-Din. Pemikiran as-Sinkili lebih fleksibel dan akomodatif, dibandingkan dengan gagasan Syaikh Ar-Raniri. Kitab as-Sinkili menjangkau pembahasan yang luas, dalam beberapa bidang pada ilmu hukum Islam yang perspektif yang komprehensif.

Di antara para peneliti, ada keraguan tentang identitas Syaikh Abdur Rauf as-Sinkili. Muhd Shaghir Abdullah menyebut Syaikh Abdur Rauf bin Ali Al-Fansuri. Sementara, beberapa sejarawan merasa ragu jika dua nama ini, yakni as-Sinkili dan bin Ali al-Fansuri, merupakan satu orang. Hamka, dalam catatan sejarahnya, menyebut terdapat dua orang bernama Abdur Rauf. Yakni, Syaikh Abdur Rauf as-Sinkili dan Syaikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.

Sementara, dalam karya ‘Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao’ (1974), mencabut pernyataan tentang dua nama dengan dua identitas: “Sekarang ini, saya tegaskan kepada peminat sejarah, bahwa keteledoran saya di Sejarah Umat Islam IV ini telah saya cabut. Dan demi keagungan ilmu pengetahuan sekarang, saya berpegang bahwa Syekh Abd al-Rauf hanya satu orang, tetapi saya kembali akan mengatakan dua orang kalau ada yang mengemukakan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan,” ungkap Hamka.

Sementara, Prof. Azyumardi Azra menyebut bahwa as-Sinkili merupakan keponakan dari al-Fansuri, bahwa di antara keduanya merupakan saudara. Ayah as-Sinkili merupakan kakak laki-laki dari Hamzah Fansuri. Dengan demikian, Syaikh Abdur Rauf as-Sinkili dan Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri merupakan dua figur yang berbeda. Pendapat ini, diperkuat oleh catatan sejarah A. Hasjmi.

Syaikh Abdur Rauf pada awalnya berguru pada ayahandanya sendiri, di tanah kelahiran: Sinkel. Setelah menyelesaikan pendidikan di Sinkel, ia meneruskan belajar ke Fansur yang pada waktu itu menjadi pusat pendidikan Islam dan perdagangan. Kota Fansur, pada waktu itu, merupakan kota kosmopolitan, yang mempertemukan orang-orang dari pelbagai kawasan untuk berdagang, bisnis, sekolah, hingga melancong.

Pada masa itu, di kawasan Aceh sedang tenar gagasan-gagasan tasawuf, terutama dari Syaikh Hamzah Fansuri dan Syaikh Syamsuddin as-Sumatrani. Kedua guru ini, mendapat perlindungan dan dukungan langsung dari Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Namun, Abdur Rauf as-Sinkili tidak puas dengan kontestasi gagasan yang berkembang di Aceh. Pemikiran yang dianggap heterodoks, tidak menarik minatnya. Pada 1052/1642 M, Abdur Rauf meninggalkan Aceh, memburu ilmu dan belajar di kawasan Arab.

Perjalanan panjangnya mencari ilmu, bermula di Dhuha, kawasan di Teluk Persia. Di tempat ini, ia mengaji kepada Syaikh Abdul Qadir al-Mawrir. Namun, selang beberapa waktu, ia melanjutkan studi ke Yaman, terutama di Bait al-Faqih dan Zabid, dua rujukan penting untuk belajar Islam pada masa itu.

Saleh Putuhena, peneliti ulama Nusantara, dalam karya Historiografi Haji Indonesia (2007), menjelaskan jalur pengetahuan dan petualangan Syaikh Abdur Rauf as-Sinkili. Di Bait al-Faqih, Abdur Rauf belajar kepada keluarga Ja’man, di antaranya: Syaikh Ibrahim bin Abdullah bin Ja’man dan Syaikh Ishaq bin Muhammad bin Ja’man, ulama ahli hadist dan fiqih. Sementara, di Zabid, Abdur Rauf belajar kepada Syaikh Ibrahim bin as-Shiddiq al-Khas, Amin bin as-Shiddiq al-Mizjaji, serta Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Adnan.

Di kawasan itu, Abdur Rauf meneruskan pengembaraannya dengan menempuh laku suluk, menyelami tarekat Naqsyabandi. Ia mengaji langsung kepada Syaikh Muhammad ‘Abd al-Baqi al-Mizjaji, yang juga guru dari Syaikh Yusuf. Petualangan Abdur Rauf tidak berhenti di situ, ia kemudian berangkat menuju Jeddah untuk belajar kepada Syaikh Abdul Qadir al-Barkhali, mufti di Jeddah yang menjadi rujukan pelbagai komunitas muslim.

Syaikh Abdur Rauf as-Sinkili kemudian meneruskan petualangannya, menelusuri jejak-jejak pengetahuan dan peradaban di Makkah. Di kota ini, ia mengaji kepada beberapa guru: Syaikh Badruddin al-Lahuri, Syaikh Abdullah al-Lahuri, dan Syaikh Ali bin Abdul Qadir at-Thabari. Tak lama di Makkah, Syaikh Abdur Rauf menuju Madinah, menuntaskan belajar kepada Syaikh Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani. Jalur tarekat Syattariyah dan Qadiriyah ia peroleh dari al-Qusyasyi, hingga mendapat pengakuan sebagai khalifah.

Di tanah Haramain, Syaikh Abdur Rauf mendapat kesempatan mengajar serta ceramah. Ia menjadi rujukan fatwa dari beberapa komunitas muslim, serta menganggit karya-karya penting dalam risalah pengetahuan Islam. Setelah lama berpetualang, Syaikh Abdur Rauf akhirnya kembali ke tanah kelahirannya, di Aceh, pada 1084/1661 M. Ia terus mengajar dan menulis karya-karya penting, hingga wafat dengan warisan pengetahuan dan karya-karya untuk penerusnya [Munawir Aziz].