Menyayangi Non-Muslim

Menyayangi Non-Muslim

Menyayangi Non-Muslim

Di hampir setiap akhir tahun, muncul himbauan atau bahkan larangan agar umat Muslim tidak turut larut dalam berbagai perayaan yang disangka pasti berasal dari ajaran penuh kekafiran. Karenanya, siapa saja yang turut merayakan, termasuk dengan memberi ucapa selamat atas perayaan tersebut, akan langsung dianggap telah terperosok ke dalam jurang kekafiran.

Secara tidak langsung, himbauan dan larangan seperti disebut di atas meminta (atau lebih tepatnya, memaksa) umat Muslim agar tak lagi menghormati dan berbagi kebahagiaan dengan sesama manusia yang berbeda agama. Ayat “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS: Al Kafirun, 6) kerap digunakan sebagai mubarrir (pembenar) untuk sikap yang tidak simpatik ini.
Tetapi, benarkah Islam memang melarang kita untuk berbagi suka cita dan kasih dengan umat yang berbeda agama?

 

Untuk menjawab soal ini, penulis ingin mengajak anda untuk menilik dua sumber berikut; Alquran dan hadis nabi.

QS al Kafirun di atas memang memberi penegasan terhadap batas-batas keagamaan, namun jika melihat pada konteks diturunkannya ayat tersebut, batas-batas yang dimaksud hanya terletak pada ranah teologis atau akidah, bukan sosial. Artinya, umat Islam hanya dilarang untuk mencampuradukkan akidahnya dengan akidah yang berlaku di agama lain, namun tidak dilarang untuk tetap berhubungan baik dengan orang-orang yang berakidah beda.

Sebagaimana dijelaskan oleh al-Wahidi dalam kitab Asbab al-Nuzul, sebelum ayat di atas turun, Rasulullah SAW tinggal di Mekah dan sedang dibujuk oleh kaum kafir Quraisy untuk berkompromi dalam hal keimanan. Mereka menawarkan sebuah ‘paket kebersamaan’, yakni dengan bertuhan secara bergantian.

“Wahai Muhammad, ikutilah agama kami, maka kami pun akan mengikuti agamamu,” ajak Quraisy.

“Kamu sembah Tuhan kami selama setahun penuh, dan kami pun akan menyembah Tuhanmu selama setahun pula. Bila agamamu yang benar, maka kami telah memperoleh kebenaran. Jika agama kami yang benar, kamu pun telah memperoleh kebenaran,” lanjut mereka.

Mendengar ini, Rasulullah SAW menjawab, “Aku memohon perlindungan kepada Allah SWT agar tak menyekutukan-Nya dengan yang lain.”

Lalu turunlah ayat 6 di surat al Kafirun tersebut sebagai penegas bahwa Islam tidak mengenal ‘kerjasama’ dalam hal keimanan. Umat Muslim tidak dibenarkan untuk menyembah sesembahan umat agama lain; cukup Allah lah yang berhak untuk disembah oleh umat Muslim, kapanpun dan di manapun.

Jika diperhatikan secara seksama, ayat di atas tak memberi larangan untuk bekerjasama dengan umat agama lain di hal-hal selain soal keimanan. Karenanya, menggunakan ayat di atas sebagai landasan untuk melarang umat Muslim menjalin hubungan baik dengan umat agama lain tentulah tidak tepat. Terlebih jika menilik pada hadis nabi tentang adab bertetangga.

Diriwayatkan dari al-Bazzar dan Abu Nu’aim dari Jabir bin ‘Abdullah, Rasul berkata, “Tetangga itu ada tiga macam. Pertama, tetangga yang memiliki satu hak (untuk diperlakukan secara baik). Ia adalah tetangga yang mempunyai hak paling rendah. Kedua, tetangga yang memiliki dua hak. Dan ketiga, tetangga yang memiliki tiga hak. Ia adalah tetangga yang mempunyai hak paling utama. Tetangga yang memiliki satu hak adalah tetangga beda agama yang tidak memiliki ikatan keluarga. Ia memiliki hak (untuk diperlakukan secara baik) sebagai tetangga. Tetangga yang memiliki dua hak adalah tetangga yang Muslim. Ia memiliki hak sebagai muslim dan hak sebagai tetangga. Adapun tetangga yang memiliki tiga hak adalah tetangga Muslim sekaligus mempunyai hubungan kekerabatan. Ia memiliki hak sebagai tetangga, hak sebagai muslim, dan hak sebagai kerabat.”

Hadis di atas memberi penjelasan bahwa setiap Muslim wajib berbuat baik terhadap sesamanya, terutama mereka yang hidup berdampingan dengan kita; apapun agamanya. Dalam hadis lain Rasul bahkan menegaskan bahwa keimanan seorang Muslim dapat diukur dari sikapnya terhadap tetangganya.

”Bukanlah seorang mukmin (orang) yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangga sebelahnya kelaparan” (HR. Bukhori dalam Adabul Mufrod).

Rasul memang dikenal sebagai sosok yang begitu mencintai tetangganya, tak peduli apapun agama yang dipeluk oleh tetangga-tetangganya tersebut. Dalam banyak kisah disebut bahwa Rasul sangat mengutamakan kesejahteraan tetangga-tetangganya. Hingga pernah suatu kali, Rasul menegur keras Aisyah r.a yang dianggapnya telah berlaku diskriminatif terhadap salah satu tetangganya yang beragama Yahudi.

Saat itu Aisyah r.a hanya memberi gulai kepada tetangganya yang Muslim, sementara tetangga yang beragama Yahudi ia abaikan. Usai ditegur Rasul, Aisyah r.a menyadari kekhilafannya. Bagi Rasul, perbedaan agama tak boleh dijadikan alasan untuk tak berlaku adil terhadap tetangga. Setiap tetangga memiliki hak untuk diperlakukan secara baik, persis sebagaimana kita ingin diperlakukan.

Dari kisah-kisah di atas kita dapat belajar bahwa Rasul begitu menyayangi tetangganya, termasuk mereka yang menolak menerima ajarannya. Rasul tetap menyayangi mereka sebab beliau tahu itulah kewajibannya sebagai sesama manusia. Kepada para tetangga, Rasul tak hanya berbagi makanan, tetapi juga jaminan keselamatan.

Semoga kita dapat kembali meneladani Rasul dalam menghargai dan menyayangi sesama, tanpa perlu repot-repot mengabsen apa agama mereka.