Menyatukan Kembali Polarisasi Umat Islam di Indonesia

Menyatukan Kembali Polarisasi Umat Islam di Indonesia

Menyatukan Kembali Polarisasi Umat Islam di Indonesia

Gus Dur telah sukses mendekonstruksi oposisi biner tatkala cucu Hadratusyaikh Hasyim Asyari itu menjadi presiden. Sehingga apa yang dilakukannya di masa itu, tentu bisa dengan gampang didekati melalui perspektif Post-Strukturalis Jacques Derrida yang fenomenal.

Derrida bilang, bahwa fenomena tak selalu hitam dan putih. Meski mungkin tak karena mencontoh Derrida, walaupun Gus Dur pasti pernah membaca tentang pemikiran orang Perancis itu, Gus Dur pun menghancurkan polarisasi.

Gus Dur seperti tak suka dengan pendapat bahwa bila tidak suka Orde Baru, berarti menyukai warisan Orde lama. Bila keturunan orang PKI atau badan otonom atau afilisasi di bawahnya, berarti mutlak komunis pula dan mesti ditandai kartu identitasnya. Bahkan Gus Dur secara gamblang menolak anggapan stereotip bahwa orang Tionghoa adalah antek komunis dan siap menggasak Indonesia.

Kehidupan tidak sesederhana itu. Hidup selalu menyajikan ruang negosiasi, fase klarifikasi, kemudian melahirkan saling pengertian. Meski memang, hidup juga tidak seklise prinsip-prinsip ideal tadi. Isi kepala orang-orang penuh dengan kompleksitas.

Paradigma yang dipakai Gus Dur semestinya bisa dipakai dalam menyikapi polarisasi di era kekinian. Apalagi, belakangan sejumlah kelompok seperti gampang menuding: dengan kami atau melawan kami. Sebut saja, dalam dua topik yang lagi menjadi super trending topicakhir-akhir ini . Di bidang politik ada Pemilihan Presiden (Pilpres) dan di bidang sosial keagamaan ada Islam Nusantara.

Pilpres 2019 menarik karena melibatkan seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan tema Islam Nusantara sempat menghangat karena distorsinya sampai ke ranah politik, budaya, bahkan transnasional sebagai imbas tuduhan anti-Arab. Bagaimana pun juga, Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia.

Sedangkan konsep Islam Nusantara diperkenalkan ke publik oleh Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan Islam yang secara struktural maupun kultural memiliki simpatisan terbanyak di Indonesia (Fealy, 2018). NU memakai konsep ini sebagai salah satu tema Mukmatar ke-33 di Jombang 2015 silam, namun gaungnya masih menyeruak hingga kini. Meski organisasi ini mengklaim, konsep Islam Nusantara sejatinya telah berkembang atau teraplikasi di masyarakat sejak zaman Wali Sanga.

Dalam Pilpres 2019 ini, perdebatan muncul di banyak media mainstream. Inilah muara dari keberpihakan perusahaan media dan konglomerasi di seputarnya. Di media sosial, riuh renyah silat kata juga marak mencuat. Isu yang muncul salah satunya, persepsi bahwa bila tidak memilih Jokowi dan memilih Prabowo, berarti pro Orde Baru. Atau sebaliknya, bila tidak memilih Prabowo dan memilih Jokowi, berarti pro Asing-Aseng.

Padahal, bisa jadi, pemilih Prabowo hanya ingin ganti suasana kepemimpinan dengan perbaikan sektor ekonomi. Bisa juga, pemilih Prabowo sekadar ingin menyukseskan Sandiaga S. Uno menjadi presiden di 2024 kelak. Sementara itu, pemilih Jokowi sangat mungkin hanya golongan orang yang sudah merasa puas dengan kondisi sekarang, dan ingin memberi petahana itu kesempatan sekali lagi. Sesederhana itu!

Dalam analogi yang sama, sebagian penganut konsep Islam Nusantara menganggap bahwa mereka yang tidak sevisi adalah kaum yang kecintaannya pada NKRI perlu dipertanyakan. Padahal bisa jadi, pemahaman tentang Islam Nusantara yang mesti diperdengungkan secara lebih jelas biar tak terjadi salah persepsi.

Sebaliknya, mereka yang berseberangan dengan Islam Nusantara menganggap konsep ini liberal dan anti-Arab hanya karena ada sejumlah mantan atau aktivis Jaringan Islam Liberal yang mendukungnya. Pandangan seperti ini jelas melepaskan teks dari konteks. Para penuding tampak berupaya menjelaskan sendiri sebuah makna, tanpa bertanya pada sumber suara sebenarnya.

Salah satu penyebab kelahiran kutub-kutub yang bertolak belakang tadi adalah gencarnya perkembangan media sosial dengan aneka platform. Manuel Castells (2004) mengatakan, informasi tidak memerlukan tempat (space of places), melainkan memiliki space of flowsatau ruang aliran/arus tersendiri. Sehingga, siapapun bisa mengakses apa yang disukai atau diyakini dari mana pun dia berada. Lantas, menyebarkannya pada siapapun yang diinginkan. Dari sana, muncul koloni-koloni “burung dengan bulu yang sama”.

Orang sudah tidak lagi percaya pada ahli ini, pemikir itu, atau pakar di sana. Karena di era masyarakat jaringan dengan informasi yang membanjir, meminjam istilah Tom Nichols (2017), para jenius telah “mati”. Manusia hanya percaya pada imajinasinya sendiri ditambah orang-orang atau teks-teks yang berkenan memberi justifikasi. Demikianlah gelaja era Post-Truth yang penuh upaya pembenaran. Alamak, apakah ini merupakan babak yang disebut Thomas Hobbes sebagai bellum omnium contra omnesatau perang semua melawan semua?

Oposisi biner tentang Pilpres 2019, Islam Nusantara dan tema-tema lainnya mesti dihancurkan. Polarisasi menjijikkan seperti ini harus disudahi, karena malah menjadi cermin kemalasan berpikir. Yang pada satu titik, melahirkan fanatik sempit dan permusuhan yang tidak pada tempatnya.

Ada musuh besar di luar sana: negara-negara besar yang ingin menjadikan Indonesia pasar, objek eksploitasi, dan lahan basah penghasil sumber daya alam guna dikeruk hingga keraknya pun sirna. Negara-negara tersebut sedang ingin memecah belah supaya bangsa ini lemah. Bisa jadi, diawali dengan perselisihan di area remeh temeh seperti dua tema tersebut di atas.

Wallahu A’lam.