Menyapih Anak dari Gawai, Mungkinkah?

Menyapih Anak dari Gawai, Mungkinkah?

Bagaimana membuat anak kita beralih dari gadget ke aktivitas fisik? Para ilmuwan dunia mencontohkan di tulisan ini

Menyapih Anak dari Gawai, Mungkinkah?

Ini bukan kisah Ram Shankar Nikumbh yang mendidik Ishaan Awasthi dalam film cerdas “Taare Zameen Par”, atau Ranchodas Shamaldas Chanchad yang inspiratif dalam film “3 Idiots”, tetapi ini tentang seorang pendidik, masih dari India, bernama Sugat Mitra.

Mitra memang menjadi mitra belajar yang baik bagi bocah-bocah yang tak punya akses di bidang pendidikan. Ia membuat eksperimen di pedalaman India. Di sebuah desa terpencil di mana pendidikan adalah sesuatu yang mewah, Mitra meletakkan sebuah komputer aktif lengkap dengan akses internet berkecepatan tinggi. Ia meletakkan CCTV untuk mengamati polah tingkah bocah-bocah menghadapi benda asing bernama komputer, sekaligus membuat catatan waktu tentang respon dan adaptasi bocah-bocah ini.

Hasilnya, dalam sekian waktu, seorang anak yang sama sekali awam teknologi, tidak hanya bisa mengoperasikan komputer, melainkan bisa berselancar di dunia maya sekaligus mengajar kawan-kawannya. Ia dengan otodidak mempelajari sesuatu hal. Dengan keistimewaan yang dimiliki, seorang anak bisa dengan cepat merespon, beradaptasi, lalu mengembangkan rasa penasarannya hingga belajar dengan cepat dan menularkan ilmunya kepada jejaringnya.

Mitra melakukan eksperimen ini karena ia yakin seorang anak memiliki kemampuan mengajar dirinya sendiri. Seorang anak, dengan kepolosan jiwanya belajar banyak hal, sekaligus menularkan semangat dan kegembiraan kepada sekitarnya tanpa tendensi apapun. Ya, setiap anak itu istimewa. Caranya belajar, metodenya berkomunikasi dengan lingkungan dan  komunitasnya, semua tumbuh secara manusiawi dan alami.

Apa yang dialami Mitra beberapa tahun silam juga dialami oleh orangtua di rumah. Bukan lagi remaja, melainkan anak-anak dan bahkan balita kini sudah canggih mengoperasionalkan gadget alias gawai. Menurut psikolog, idealnya, seorang anak baru boleh mengoperasikan gawai sebenarnya pada kisaran usia 12-15 tahun. Tapi realitasnya, saat ini bahkan balitapun bisa mengoperasikan benda berteknologi tinggi itu.

Sebagai orangtua, kita memang tidak bisa melarang anak bermain dengan gawai. Sebab, hari ini, jika anak dilarang mengoperasikan gawai di rumah, niscaya dia akan keluar rumah dan mencari alternatif dengan cara apapun: meminjam teman, dan sebagainya. Justru ini malah berbahaya, sebab anak bisa mengakses apapun tanpa diketahui orangtuanya.

Lantas bagaimana sebaiknya sebaiknya orangtua menghadapi perkara seperti ini?

Pertama, membatasi alias memenej dengan baik penggunaan gawai. Misalnya, setiap hari anak dijatah maksimal menggunakan gawai selama 2 jam, baik secara terus menerus maupun dibatasi dalam beberapakali pemakaian. Melalui pembatasan waktu ini, orangtua tetap memberikan kesempatan kepada mereka untuk bermain dengan benda teknologi tersebut. Hal ini juga bermakna orangtua siap mengontrol penggunaannya. Sehingga anak tetap bisa dipantau. Kalaupun orangtua membelikan gawai kepada anaknya, maka yang paling penting gawai tetap “dikuasai” oleh orangtuanya, bukan diserahkan sepenuhnya kepada anaknya.

Kedua, memberikan syarat sebelum anak bermain gajet. Misalnya, anak baru boleh bermain setelah dia selesai mengerjakan PR maupun membereskan pekerjaan rumah seperti mencuci piring sendiri, menyapu halaman, dan sebagainya. Pola semacam ini mengajarkan anak agar bertanggungjawab atas tugasnya, serta belajar menyelesaikan kewajibannya terlebih dulu sebelum menerima haknya.

Ketiga, mendampinginya sejenak ketika bermain hape. Misalnya dengan duduk di sampingnya sembari pura-pura bertanya dengan simpatik mengenai konten yang dia lihat, game yang dia mainkan, maupun aplikasi yang dia buka. Setelah itu, orangtua bisa mencari tahu apakah program maupun tayangan yang dimainkan oleh anak masih dalam kategori aman atau malah membahayakan anak seusianya. Cara ini menegaskan agar orangtua tidak gaptek. Orangtua harus lebih canggih dibandingkan buah hatinya dalam mengoperasikan gajet. Sehingga dia bisa memantau “kemajuan” kemampuan anaknya.

Keempat, mengecek riwayat penggunaan hape melalui “history”. Setelah anak bermain dengan gawai, perlu kita cek apa saja yang telah dia telusuri. Dengan cara ini kitab bisa mengetahui riwayat penggunaan hape. Kalaupun anak tidak sengaja membuka konten-konten yang meresahkan (ujaran kebencian, pornografi, kekerasan fisik dan sebagainya), maka orangtua perlu mengajaknya bicara dengan baik, serta menjelaskan dampak negatif yang dia lakukan.

Percakapan ini dilakukan bukan dengan cara menekan psikis anak apalagi langsung menghakiminya, melainkan dengan cara yang santai dan kekeluargaan. Ketika mengajak anak ngobrol, usahakan ada kontak fisik, misalnya dengan merangkul bahu anak, memegang punggung telapak tangannya, mengelus rambutnya, hingga adanya kontak mata antara orangtua dan anak.

Sebab, seringkali gara-gara hape, komunikasi anak dan orangtua terganggu. Manakala orangtua menasihati anak, matanya justru melihat layar hape yang dia pegang, bukan dengan menatap mata buah hatinya. Akibatnya, anak merasa tidak dihargai, tidak dianggap dan merasa apabila orangtuanya lebih mementingkan gawainya. Seringkali, hubungan antara orangtua dan anak merenggang dan tidak akrab karena hape. Misalnya, ketika makan bersama, alih-alih ngobrol antar anggota keluarga, yang terjadi malah masing-masing asyik dengan gawainya. Akhirnya, family time berakhir sia-sia.

Kelima, orangtua harus lebih sering mengajak anak melakukan aktivitas yang membuat anak bisa sejenak melupakan gawainya. Misalnya, meluangkan waktu untuk bermain di kidzone, outbond bersama, hingga aktivitas lainnya yang membuat anak melihat apabila ada sesuatu yang lebih mengasyikkan daripada sekadar duduk bermain game menggunakan gawainya. Cara ini dilakukan agar orangtua memiliki waktu terbaik dengan anaknya, sehingga kelak dia bisa mengenang kebersamaan ini.

Penulis yakin, masih banyak yang bisa dilakukan selain beberapa poin di atas. Semua bertujuan untuk mengontrol dan membatasi agar anak tidak kecanduan hape. Sebab, jika sudah kecanduan, dampaknya mengerikan. Anak akan frustrasi, bahkan depresi. Dia bisa saja mengamuk jika keinginannya tidak dipenuhi. Bahkan, di Ponorogo, beberapa bulan silam seorang remaja nekat membakar rumah orangtuanya gara-gara dilarang bermain game online dengan hapenya. Tentu, kejadian itu hanyalah dampak kecanduan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, sejak remaja tersebut berusia kanak-kanak.

Yang pasti, menjauhkan anak dari hape memang bukan langkah mudah. “Penyapihan” anak dari benda teknologikal ini memang membutuhkan waktu dan usaha. Asal orangtua telaten, sabar, dan disiplin dalam melakukan beberapa hal di atas, insyaAllah anak bisa berjarak dengan gawainya.

Wallahu A’lam Bisshawab