Menyampaikan Kebenaran Pun Perlu Aturan

Menyampaikan Kebenaran Pun Perlu Aturan

Menyampaikan Kebenaran Pun Perlu Aturan

Maulana Rumi pernah menegur seseorang yang membanggakan salat siang dan malamnya. Apa sebabnya? Karena sosok tadi tak mampu menjaga mulut dari perkataan buruk. Bahkan ketika akan mengatakan suatu hal yang benar-benar terjadi pun harus memperhatikan momentum, tempat, dan siapa yang dihadapi. Tak bijak jika asal ‘njeplak’. Hal ini lantaran Quran menyebut bahwa orang yang shalatnya tak mencegah dari keji dan mungkar sebagai tidak shalat, atau sia-sia.

Maka agak ironis ketika ada sekelompok manusia yang mengklaim diri sebagai aktifis dakwah justru hanya keburukan yang keluar dari lisan, tulisan, dan gerak tubuhnya. Bisa jadi dengan beragam dalil dan dalih, mereka halalkan segala cara dalam memperjuangkan apa yang mereka anggap benar. Tanpa pernah peduli akan momentum, tempat, dan siapa yang dihadapi.

Mereka terkesan ngotot memaksakan pandangan dan pendapatnya pada orang lain. Jangankan kepada yang berbeda agama, pada yang seagama saja tak kalah kerasnya lewat berbagai tudingan dan pemberian julukan yang menyakitkan telinga.

Bisa jadi saya pun termasuk di dalamnya saat menuliskan paragraf di atas. Siapa yang bisa tetap dzikir atau eling sehingga waspada dari iri dan dengki yang ada dalam dada? Hanya segelintir, dan saya tidak berani mengaku termasuk ke dalam yang sedikit itu.

Padahal Kanjeng Nabi pernah menyebutkan ada 4 hal yang bisa menghapus 4 hal lainnya. Yaitu akal bisa lenyap oleh amarah, agama dapat luntur sebab dengki, malu hilang karena tamak, dan amal baik musnah lantaran ghibah atau memperbincangkan keburukan orang lain.

Boleh jadi akal, agama, sopansantun, dan amal baik kita terasa menggunung sampai berani menyepelekan oranglain, tapi siapa sangka jika amarah, dengki, tamak, dan membicarakan buruknya liyan bisa melongsorkan semua kebaikan sebelumnya.

Betapa mengerikan andai tiap kita tak berkaca diri. Hanya akan membuang waktu dan tenaga sebagaimana Bima saat menyelam ke dasar samudera untuk menemui air kesejatian. Ia harus berkelahi dengan raksasa yang tak lain adalah dirinya sendiri, lakon wayang yang mengambil simbol perlawanan manusia kepada nafsu dalam diri.

Bukankah para nabi pun melakukan perjalanan menyendiri semacam ini? Semata agar bisa berpuasa, menjaga diri dari membayangkan, membicarakan, dan melakukan yang sia-sia, apalagi yang jelas menimbulkan keburukan berkelanjutan.

Dalam kisah Nabi Musa versus Firaun misalnya, dalam Quran termaktub bahwa saudara Nabi Harun itu diminta Gusti Allah untuk tetap berkata baik dengan sopan santun, meski yang dihadapi adalah diktator yang mendaku diri sebagai tuhan.

Atau cerita Nabi Sulaiman saat bernegosiasi dengan penguasa negeri Timur, Ratu Saba, tidak disebut menggunakan cara licik, perkataan kasar dan sejenisnya, justru dengan unjuk aksi cepat memindah singgasana sang ratu.

Walaupun lawan tandingnya penyembah matahari, Nabi Sulaiman tak lantas menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk melumat yang berseberangan. Malah terkesan sang nabi mempersilakan sang ratu yang kemudian dinikahinya itu untuk mengenali Nabi Sulaiman dan Gusti Allah yang disembahnya.

Dari sekian banyak teladan yang diabadikan Quran dalam rentang ribuan tahun itu nampak jelas bahwa menyampaikan hal yang dianggap benar pun perlu aturan. Tidak ‘gebyah uyah’, pukul rata. Harus bijaksana menyesuaikan dengan medan yang dihadapi.

Itulah kenapa adaptasi adalah hal yang Gusti Allah hikmahkan kepada manusia sedari Nabi Adam turun dari surga. Proses panjang mengenal tauhid dan simbolisasinya dalam peribadatan yang berujung dalam salat serta doa berbagai agama dan keyakinan  yang mempunyai kesamaan secara garis besarnya.

Alangkah bijak jika siapapun kita yang merasa diri tengah membawa panji kebenaran untuk bergerak seperti teladan di atas. Tidak lantas mencari pembenaran atas perilaku yang dilakukan. Apalagi sampai mengada-ada bahwa Kanjeng Nabi pernah menjuluki pembesar Mekah sebagai ‘diktator’, ‘tiran’, ‘rezim zalim’, ‘kafir komunis’, dan lain sebagainya.

Rasulullah Saw. tetap menyebut Fulan bin Fulan, Si Anu, bukan dengan sebutan yang jika didengar yang bersangkutan akan menyakiti perasaannya. Bahkan jika yang dimaksud itu telah melakukan upaya pembunuhan berkali-kali kepada beliau. Apalagi kita yang hanya baru tahap ditipu, apa hak kita sampai berani melampaui batas yang Kanjeng Nabi ajarkan?