Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan pernyataan Menteri Agama, Fachrul Razi, tentang pelarangan cadar dalam instansi pemerintahan dan pengharaman dari MUI Jawa Timur tentang salam pembuka menggunakan salam semua agama. Keadaan seperti ini memperkuat pernyataan dari Dale F. Eickelmen dalam Ekspresi Politik Muslim (1998) yang mengatakan bahwa di era saat ini politik simbol semakin marak terjadi di negara-negara Arab-Islam maupun Indonesia.
Cadar merupakan sebuah ekspresi keagamaan muslimah dari Timur Tengah. Cadar merupakan sebuah hasil intrepretasi atas ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa perempuan harus menutup auratnya. Ayat tersebut ditafsirkan dengan beragam makna sehingga menghasilkan berbagai macam bentuk ekspresi.
Keberagaman penafsiran terkait ayat tersebut bisa dilihat dari ekspresi penutup kepala bagi perempuan Indonesia. Pada awalnya, cadar bukan merupakan sebuah budaya masyarakat Indonesia. Pakaian penutup kepala di Indonesia memiliki ciri khasnya sendiri. Orang-orang Indonesia memberi istilah jilbab atau kerudung. Bentuk cadar dengan jilbab atau kerudung memiliki perbedaan bentuk.
Menurut Clifford Geertz perbedaan penafsiran dari agama bisa menghasilkan sebuah produk yang berbeda. Dalam kasus ini Geertz mencontohkan penafsiran atas nash agama tentang penutup kepala. Geertz mengatakan bahwa bentuk ekspresi kerudung atau jilbab dan cadar adalah sebuah produk penafsiran dari ajaran agama.
Geertz menambahkan bahwa ajaran agama juga bisa menjadi sebuah kebudayaan. Model berpakaian merupakan sebuah produk budaya. Ia merupakan sebuah simbol kolektif yang dimiliki oleh sebuah komunitas masyarakat. Dengan demikian, maka simbol merupakan identitas sebuah masyarakat tertentu. Orang akan dengan mudah mengenali orang lain melalui simbol atau ekspresi keagamaannya.
Simbol cadar diidentikkan dengan simbol budaya Timur Tengah. Simbol cadar juga diidentikkan dengan wacana ekstrimisme. Identifikasi ini tidak lepas dari banyaknya orang-orang radikal yang menggunakan simbol cadar. Maka rezim penguasa, dengan otoritasnya, kemudian memainkan simbol ini sebagai upaya menurunkan tingkat esktrimisme di Indonesia.
Beberapa tahun lalu, konsep tentang politisasi simbol ini juga pernah digunakan oleh salah satu kampus negeri di Yogyakarta. Pada awalnya, kampus tersebut melarang penggunaan cadar di kampus. Akan tetapi tekanan publik membuat kampus tersebut mencabut SK pelarangan penggunaan cadar. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh kampus itu adalah memasukkan pelarangan cadar dalam kode etik mahasiswi. Mahasiswi baru harus menandatangani kode etik untuk tidak menggunakan cadar sebagai bentuk lain dari politisasi simbol di kampus.
Selain itu, akhir-akhir ini publik juga dikejutkan oleh pernyataan MUI Jawa Timur yang melarang untuk menggunakan bahasa salam pembuka semua agama. Bahasa merupakan simbol dari sebuah komunitas tertentu. Orang Islam ketika mengucapkan salam berbeda dengan orang Kristen atau Buddha atau agama lainnya. Hal ini sudah menjadi karakter atau identitas baku yang melekat pada diri orang beragama.
MUI Jawa Timur berdalih bahwa dengan menggunakan bahasa salam dari agama lain akan menyerupai pemeluk agama tersebut (tasyabuh). Secara tidak langsung, dalih ini ‘melarang’ para pemimpin negara, bupati, walikota, gubernur, presiden, pemuka agama yang biasanya menggunakan salam dengan semua bahasa. Padahal banyak pemuka agama atau aktivis kebinekaan yang menggunakan salam semua agama. Motifnya tidak lain adalah untuk menghormati seluruh agama di Indonesia.
Dengan demikian, simbol merupakan sebuah tanda yang bisa diinterpretasikan oleh segenap pihak. Pemaknaan atas simbol tersebut tergantung pada pengetahuan dan kekuasaan. Siapa yang lebih berkuasa dialah yang memiliki otoritas untuk memaknainya.
Interpretasi yang diberikan oleh negara terkait simbol cadar dan interpretasi bahasa salam MUI merupakan gambaran jelas bagaimana otoritas tersebut memaknai simbol. Tesis Michel Foucault ada benarnya, bahwa pengetahuan tidak bisa terlepas dari kekuasaan. Siapa yang berkuasa dialah yang memiliki otoritas untuk mengendalikan wacana pengetahuan.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.