Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Prof. Muhadjir Effendy, menyatakan, saat ini toleransi sudah menjadi kesadaran kolektif bangsa Indonesia. Pernyataan itu muncul saat ia menyampaikan pidato sambutan dalam acara Bineka Fest, pada Rabu (30/08/2023) di Pos Bloc, Jakarta Pusat.
“Saya kira, sekarang ini gagasan maupun sikap toleransi ini sudah menjadi kesadaran kolektif bangsa,” ujarnya.
Sebelumnya, ia menyinggung isu toleransi yang menurutnya bukan hanya urusan Indonesia, melainkan juga menjadi urusan semua negara di dunia.
Dalam pandangannya, di dunia masih banyak terjadi kasus intoleransi. Mulai dari diskriminasi hingga kasus genosida. Ia mencontohkan peristiwa pembakaran mushaf Al-Quran yang terjadi beberapa waktu silam.
Beruntung, Indonesia memiliki banyak tokoh yang menggaungkan gagasan toleransi. Muhadjir menyebut bahwa mereka kini telah menuai hasilnya.
“Indonesia, Alhamdulillah dengan adanya tokoh-tokoh yang berada di garis terdepan dalam gagasan dan pikirannya tentang toleransi, saat ini sudah memanen hasil gagasan-gagasannya,” tuturnya.
Menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Malang periode 2000-2016 ini, di antara buah dari gagasan-gagasan para tokoh tersebut yang bisa dirasakan saat ini adalah masyarakat menyadari pentingnya toleransi. Sehingga, muncul kesadaran kolektif untuk melawan segala bentuk tindakan intoleransi.
“Apa buktinya? Sekarang ini, kalau ada perilaku intoleransi, negara sudah tidak banyak tanggung jawab. Masyarakat sudah ikut mendampingi, ikut menilai, ikut mengambil tindakan,” terangnya.
Muhadjir menambahkan, “Ini menunjukkan kesadaran kolektif bangsa terhadap pentingnya toleransi dalam rangka merekatkan keanekaragaman (menjadi) semakin baik.”
Meski demikian, anggapan tersebut perlu ditinjau kembali. Di satu sisi, keterlibatan masyarakat dalam penanganan tindakan intoleransi memang menunjukkan kesadaran kolektif akan pentingnya toleransi itu membaik.
Namun, di sisi lain, hal tersebut bisa saja menjadi sebuah pertanda bahwa kehadiran negara masih kurang, sehingga masyarakat memilih untuk bertindak sendiri.
Di akhir sambutannya, Muhadjir menekankan pentingnya mengedepankan kemanusiaan di atas identitas pribadi atau kelompok. Salah satu caranya adalah dengan menghilangkan sekat-sekat yang menjadi penghalang terwujudnya toleransi.
“Kita hilangkan sekat-sekat. Memang ada saatnya kita memerlukan sekat itu. Tetapi, ada (juga) saatnya kita mencoba untuk mencopot baju kita semua, identitas kita semua, atribut kita semua, simbol kita semua, dan berdiri telanjang atas nama kemanusiaan,” tegasnya yang kemudian disambut tepuk tangan dari para hadirin.
Acara Bineka Fest digelar dalam rangka merayakan dua dekade Maarif Institute sekaligus memperingati satu tahun kepergian Buya Ahmad Syafii Maarif. Selain Muhadjir Effendy, tokoh lain yang hadir dalam acara ini, di antaranya adalah Prof. Nasaruddin Umar, Kiai Zawawi Imron, Inayah Wahid, dan lainnya.
Baca Juga: Muhadjir Effendy: Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafii, Tiga Pendekar Kemanusiaan di Indonesia