Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an diwahyukan tidak secara tertulis melainkan secara lisan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Kata-kata dalam bahasa Arab juga memiliki makna beragam.
Kata “al-Qur’an” terambil dari turunan kata “qara’a”. Tentu kita sadari juga bahwa bahasa Arab yang digunakannya dahulu bukan bahasa Arab modern, tetapi bahasa Arab yang berkembang pada masa Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, tidak berarti bahwa bahasa Arab yang digunakan al-Qur’an pada saat itu jauh berbeda dengan bahasa Arab modern sekarang.
Adanya perbedaan bahasa Arab dahulu dengan bahasa Arab modern yang dipergunakan al-Qur’an sekarang, menjadikan al-Qur’an luas jangkauannya. Kata-kata al-Qur’an memiliki makna yang dalam. Hal ini disebabkan oleh ekliptisisme atau karakteristik filologis dari idiom bahasa Arab memang khas. Boleh jadi suatu kata yang mengandung arti tertentu pada masa al-Qur’an diturunkan–mungkin di masa kini–kata tersebut telah mengalami perubahan makna.
Karenanya penulis menilai bahwa saat ini para penafsir banyak melihat sisi kontekstual zaman sekarang. Sebab, al-Qur’an dipercayai ‘sholih li kulli zaman wa makan” bahwa al- Qur’an itu untuk setiap zaman dan tempat dan zaman sekarang kita memang dituntut untuk menafsirkan ulang. Namun, para penafsir zaman sekarang juga tidak mengabaikan konteks masa lalu, mereka juga mengadopsinya. Sehingga, konteks zaman lalu kemudian ditarik ke konteks zaman sekarang saling berkesinambungan. Ada substansi ajaran yang terkandung dalam konteks zaman dahulu kemudian substansi ajaran tersebut diterapkan kepada konteks kekinian.
Untuk memahami kontekstualitas al-Qur’an, maka kita perlu memahami kondisi sosial. Pengetahuan tentang kondisi sosial pada masa ayat itu diturunkan dan kondisi sekarang yang sedang dihadapi. Pengetahuan tentang kondisi sosial yang dimaksudkan, tidak hanya pada dimensinya yang tunggal, melainkan juga pada dimensinya yang jamak. Kejamakan dimensi akan membuka ruang alternatif dalam pemecahan masalah-masalah sosial yang ada. Karena itu, jika kita melihat bagaimana tafsir kontekstual itu, maka kita akan mendapati bahwa hadirnya tafsir-tafsir itu untuk menjawab permasalahan-permasalahan sosial (kontekstual) yang sedang terjadi. Sehingga dapat dipahami bahwa al-Qur’an ditafsirkan demi menjawab persoalan umat yang sedang berlangsung.
Selain itu, fenomena zaman sekarang banyak memperkuat argumentasi tentang kebenaran al-Qur’an. Hal itu bisa karena merespon terhadap para pengkritik al-Qur’an, maupun karena pengembangan argumentasi kebenaran al-Qur’an agar lebih baik. Terkadang umat Islam juga sudah menolak terlebih dahulu jika sumber argumentasi atau karya ilmiah itu dari seorang non muslim atau orientalis, namun pada kenyataannya tidak semua orientalis begitu, ada juga yang murni untuk keilmuan atau murni memberikan sumbangsih terhadap keilmuan tentang al-Qur’an. Jika melihat zaman dahulu, fenomena kritik terhadap al-Qur’an pada dasarnya sudah ada sejak duhulu.
Selain itu, fenomena zaman sekarang juga banyak mempertanyakan kembali keilmiahan tafsiran-tafsiran zaman dahulu. Seperti cerita-cerita sejarah dalam al-Qur’an adalah faktanya seperti itu atau itu hanya simbol saja, kenyataannya tidak harus seperti itu. Sebab, muncul juga penemuan kemudian membuktikan bahwa fakta sejarah sebenarnya tidak secara spesifik sama dengan cerita sejarah mengenai al-Qur’an atau Nabi Muhammad. Kita bisa melihat contoh bahwa kisah Abraha naik gajah menyerang Ka’bah zaman dahulu, zaman sekarang kemudian dipertanyakan, sebab alat tempur Abraha yang sesuai asalnya seharusnya bukan gajah.
Artinya, penulis melihat bahwa fenomena-fenomena zaman sekarang senantiasa akan dihubungkan dengan fenomena zaman dahulu. Baik pelacakan tentang makna asli sebuah kata bahasa Arab zaman dahulu, maupun tentang konteks sosio-historis dimana al- Qur’an itu diturunkan. Hal-hal itu dilakukan guna untuk menemukan kebeneran yang kompleks, utuh dan sempurna serta sesuai zaman dan tempatnya.
Heki Hartono, penulis adalah pegiat di komunitas Santri Gusdur Jogja.