Sebelum anda lebih jauh membaca tulisan ini, izinkan saya untuk menyatakan sejak awal bahwa saya bukanlah pendukung gerakan antivaksinasi. Saya pun sebenarnya bukan pakar soal vaksin dan soal kesehatan lainnya. Saya hanyalah pelajar ilmu pengkajian hukum Islam di salah satu universitas Islam di negeri ini, dan saya adalah ayah dari seorang anak lelaki berumur 4 tahun yang sudah genap diimunisasi. Setiap ayah pasti menginginkan anaknya sehat. Saya adalah ayah yang tak mengerti kesehatan. Maka perihal kesehatan anak saya ini, saya manut saja sama seorang bidan yang sedari awal membantu proses kelahirannya.
Menarik untuk disimak opini yang disampaikan Prof. CA Nidom yang dimuat di Kompas tertanggal 10 September 2018 pukul 03.00. tulisan tersebut sepertinya menyusul tulisan seseorang bernama Sampurno yang pada tanggal 24 Agustus 2018 yang mengingatkan agar ke depan, MUI dalam memutuskan kehalalan vaksin, obat atau apapun yang berguna bagi kemaslahatan umat khususnya di bidang kesehatan, tidak melulu merujuk pada dalil fikih, namun juga mengkaji perkembangan bioteknologi.
Prof. CA Nidom sendiri dalam tulisannya menyayangkan penyampaian fatwa MUI yang dilakukan secara terbuka dan menyarankan agar disampaikan secara tertutup. Secara medis, beliau juga mengingatkan bahwa ketika seseorang tidak divaksin, bukan hanya orang tersebut tidak bisa melindungi dirinya sendiri namun juga berpotensi menjadi sumber penularan penyakit tertentu.
Terkait rekomendasi MUI agar mengupayakan produksi vaksin halal, beliau mengingatkan bahwa menciptakan vaksin itu tidak mudah, ada beberapa tahapan yang mesti dilakukan yang saya pribadi tidak memahami hal itu, yang pasti bahwa hal tersebut akan memakan waktu setidaknya selama 10 tahun. Baiknya, beliau menyarankan agar MUI sebagai pemegang otoritas halal di negeri ini perlu mengawal kerja DVN (Dewan Vaksin Nasional) sedari awal.
Sesungguhnya, saya pribadi lumayan tertipu dengan judul tulisan beliau “vaksin itu bukan makanan”, karena saya tidak melihat korelasi antara judul tersebut dengan isi tulisan. Sekedar menebak, barangkali yang dimaksud adalah bahwa menciptakan vaksin itu tidak semudah menciptakan makanan yang kemudian ketika tersaji bisa kita pilih mana yang halal dan mana yang haram. Jika ternyata maksudnya adalah semacam ini, maka apakah benar-benar tidak ada pilihan bagi kita dalam soalan ini. Apakah sebegitu hitam-putihkah persoalan? Anda harus vaksi, jika tidak maka anda akan sakit. Jangan pedulikan apakah ini halal atau haram. Terima saja. Seperti itukah logikanya.
Jika kita ingin tampil polos, maka ketika pernyataannya adalah “vaksin itu bukan makanan”, maka izinkan saya yang bodoh ini bertanya: “kalau bukan makanan, lalu apa?”. Karena sepaham saya, obat ataupun vaksin adalah sesuatu yang kita konsumsi entah dengan cara oral ataupun cara suntik yang bagi kami kaum muslim, perlu diperjelas soal halal haramnya, karena sesungguhnya Allah tidak pernah menciptakan obat untuk sebuah penyakit kecuali dari barang yang halal.
Tentu saja tidak se-saklek itu kita memahami dalil diatas. Kita pun mafhum bahwa pada kondisi darurat, maka bisa saja kita berobat dengan sesuatu yang haram jika memang pengetahuan kita belum menemukan obat yang halal untuk penyakit tersebut. Senada semacam inilah yang dikemukakan oleh MUI lewat fatwa no. 33 tahun 2018.
Himbauan Prof. CA agar MUI ke depan menyampaikan fatwa nya secara tertutup barangkali bagi saya adalah unfaedah. Karena sebagaimana kita tahu, salah satu fungsi MUI adalah memang untuk menyampaikan fatwa secara publik kepada ummaat Islam di Indonesia.
Agar menjadi jelas, mohon izin akan saya terangkan sedikit. Fatwa adalah jawaban terkait persoalan hukum islam. Karena merupakan jawaban, tentu saja diawali dengan pertanyaan. Asal tahu saja, banyak sekali masyarakat yang mempertanyakan ke MUI tentang status kehalalan vaksin yang menurut kabar mengandung ekstrak babi. Dari pertanyaan tersebut kemudian MUI bersidang dan memutuskan jawaban dari pertanyaan tersebut. Karena jawaban ini ditunggu oleh umat yang bertanya, maka mesti disampaikan kepada publik.
Dalam istilah ilmu hukum Islam, umat yang bertanya ini disebut Mustafti (Peminta Fatwa), dan MUI adalah Mufti (Pemberi Fatwa).
Selanjutnya yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa di Indonesia ini, secara kultur sosial, peran ulama dalam masyarakat masih sangat penting. Ulama merupakan tempat rujukan orang-orang bertanya sekaligus curhat. Cukup tahu saja, ketika terjadi kasus vaksin palsu yang marak beberapa waktu yang lalu, banyak sekali masyarakat yang cemas akan hal ini dan tentu saja menjadi trauma. Maka ketika muncul kembali soal vaksin yang berasal dari bahan tidak halal ini, pasti sudah tertebak akan kemana masyarakat merujuk. Tentu saja ke ulama.
Mewakili para orangtua yang anaknya perlu divaksin. Izinkan saya menyampaikan bahwa kami masih sangat buta soal vaksin ini. Kami hanya tahu bahwa vaksin ini perlu, harus dilakukan, dan lain sebagainya, tanpa pernah tahu darimana vaksin itu berasal. Apa bahannya, bagaimana proses pembuatannya, siapa saja yang terlibat, bagaimana dengan jaminan keamanannya, apa yang mesti dilakukan jika malfungsi terjadi, dan sederet pertanyaan lainnya.
Maka saya menyambut positif ajakan dari Prof. CA agar MUI mengawal sedari awal kerja DVN agar terjadi sinergi antar keduanya. Jujur saja, jika sampai ini terjadi, setidaknya keberadaan MUI di situ bisa menjadi perwakilan kami agar lebih menenangkan hati.
Izinkanlah saya mengakhiri tulisan ini dengan doa semoga semua anak negeri dapat terjamin kesehatannya. Wallahu aa’lam bi shawab.