Menjauhkan Pesta Pernikahan dari Unsur Kemaksiatan

Menjauhkan Pesta Pernikahan dari Unsur Kemaksiatan

Dalam menyelenggarakan pesta perkawinan itu, hendaklah dihindari pula hal-hal yang berbau maksiat

Menjauhkan Pesta Pernikahan dari Unsur Kemaksiatan

Dalam menyelenggarakan pesta perkawinan itu, hendaklah dihindari pula hal-hal yang berbau maksiat yang sudah biasa menjadi tradisi dalam banyak pesta perkawinan, yaitu segala kegiatan yang diharamkan oleh Syariat Islam; seperti orang laki-laki bercampur dengan orang-orang perempuan (dalam satu majelis, sehingga akan timbul fitnah), member pewarna kuku tangan pengantin laki-laki dengan pacar untuk diperlihatkan dikhalayak ramai baik ditengah kaum wanita maupun pria, adanya suara-suara nyanyian dari perempuan, adanya minuman arak dan minuman lainnya yang memabukka, menaikkan penganten putrid di atas kuda seperti layaknya seorang laki-laki.

Demikian pula tradisi orang-orang bodoh, seperti memperlihatkan darah perawannya pengantein puteri untuk dibuat mainan di tengah-tengah pesta perkawinan dan lain sebagainya, dan tradisiyang bertentangan dnegan agama yang apabila dihitung jumlahnya amat banyak sesuai dnegan banyaknya tradisi yang berlaku di desa-desa dan kota-kota.

Jadi semua tradisi maksiat yang telah disebut di atas, hendaknya jangan smapai diadakan bagi penyelenggara pesta perkawinan. Sebab jika ia tetap mengadakannya, berarti ia sengaja mencari kemurkaan Allah S.W.T. Ada sebuah hadits marfu’ yang berkenaan dnegan masalah ini, yaitu hadits yang dituturkan Abu Qasim al-Ashfihani riwayat dari Anas R.A. sebagai berikut:

“Ucapan; Tiada Tuhan selain Allah, akan senantiasa bermanfaat (berpengaruh positif) bagi orang yang mengucapkannya, dan ia juag dapat menolak (menyelamatkan) bagi pembacanya dari siksaan (Adzab Allah), mana kala ia memandang rendah hak kalimah tauhid tersebut.

Sahabat Rasulullah bertanya: “Ya Rasulullah, tindakan apakah yang dinilai merendahkan hak kalimah Tuhid?”

Rasulullah S.A.W. bersabda: “membiarkan munculnya tindakan maksiat, tanpa mau menghalau dan menghalang-halanginya.”” (Al-Hadits).

Juga ada sebua hadita Marfu’ dari Abdullah bin Umar sebagai berikut:

“Perintahkanlah kamu sekalian (kepada orang lain) agar melakukan perbuatan yang baik, dan melaranglah kamu sekalian dari tindakan yang munkar, yaitu sebelum kamu berdo’a kepada Allah, lalu Allah tidak mengabulkan do’anya, karena sebelum kamu sekalian memohon permohonan ampunan maka selama itu pula dosa kalian belum diampuni.” (Al_hadits).

Bahwa sebenarnya perintah (seorang) berbuat baik dan mencegah dari perbuatan keji itu bisa menghalang-halangi datangnya rizki, juga tidak bisa mempercepat datangnya maut. Sebanarnya orang-orang yang pintar dari orang-orang Yahudi dan para pedeta dari orang-orang Nashrani, tatkala mereka telah meninggalkan amar ma’ruf nahyu ‘anil munkar, maka allah melaknat mereka melalui ucapan lisan Nabi-Nabi mereka, kemudian disusul dengan datangnya cobaan di mana-mana.

Imam al-Muhasibi berpendapat, bahwa bagi orang yang mengadakan pesta perkawinan tidak diperkenankan bersikap diam, atas terjadinya tindakan munkar (keji) di tempat pesta dengan berbagai macama cara, sebab yang berhak melakukan pencegahan adalah tuan rumah.

Sumber: K. H. Misbah Musthofa, terjemah quratu al-‘uyun, hal 53-55, Al-Balagh. 1993.