Menjauhi Kesombongan dalam Beragama

Menjauhi Kesombongan dalam Beragama

Menjauhi Kesombongan dalam Beragama

Subhanallah, semangat atau ghirah orang berislam hari ini luar biasa. Rahmat jaman reformasi bukan saja kita saksikan alam demokrasi yang begitu gegap-gempita semisal kehidupan politik dengan multipartai, kebebasan pers, kemerdekaan mengemukan pendapat atau berekspresi, tapi juga, dampak reformasi, kita rasakan di alam kehidupan beragama. Kita harus syukuri, ini rahmat reformasi, ini rahmat Presiden Soeharto bersedia lengser pada Mei 1998. Alhamdulillah!

Misalnya, kita tidak melihat kerumunan orang berjilbab di sekolah jaman Orde Baru. Jaman itu, orang berjilbab di sekolah, di kantor, di pasar, di bus, di pesawat, di kereta, dapat kita hitung dengan jari. Di televisi, radio, dan Koran, sangat terbatas kita saksikan acara-acara keagamaan. Shalawatan, dzikir berjamaah, ceramah keagamaan, saat Orde Baru, seperti acara berbau kampungan, tradisional, bahkan saking sedikitnya, seakan-akan media pun ikut membid’ahkan acara-acara keagamaan.

Hari ini suasana begitu berbeda. Orang berjilbab begitu biasa, orang mengucapkan salam dalam bahasa Arab sudah jadi tradisi, kalimah-kalimah keislaman seperti tasbih, istighfar, tahlil, tahmid, dan tahlil, sudah biasa kita dengan dari lisan orang yang biasa mengucapkan shooping, ngedate, ngemall, hingga orang yang secara tampilan sama sekali tidak menunjukkan “tradisi keislaman”.

Pendek kata, suasana keberislaman ini telah memasyarakat, telah menjadi umum, lumrah, dan biasa saja hari ini. Dari mulai cara berpakaian, berkeluarga, memilih sekolah, memilik lingkungan rumah, berbicara, berekonomi, semua tampak Islam. Bahkan tidak sedikit pula suasana tersebut ingin “ditingkatkan” pada maqom sistem politik, pada tataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Muncul perda syariat Islam, muncul ide Negara Islam, pemipin perempuan dilarang karena Islam, hingga, ini “luar biasa”, ada segelintir orang memamerkan praktik poligami dengan alasan sunnah Rasul. Masya allah!

Namun, praktik banyak sekali juga mengundang banyak kritik. Praktik-praktik keberislaman di atas dinilai terlalu bersemangat, terlalu berlebihan, dinilai seperti menonjol-nonjolkan identitas keislaman, artifisial, tidak sesuai dengan kultur masyarakat, bahkan cenderung tidak toleran dengan karakter bangsa ini yang multiagama dan keyakinan.

Dalam pandangan penulis, banyak kritik yang dilontarkan, menurut orang Jawa, bener, tapi tidak pener. Benar, tapi tidak tepat, tidak pas. Bahkan tidak jarang juga melalukan stereotipisasi, semisal memandang orang berjenggot dengan pandangan “miring”.

Penulis merasakan, banyak orang yang tidak sabaran ingin menasehati atas perilaku atau yang tidak cocok dengan dirinya. dengan kelompoknya, dengan ajarannya. Dan tidak sedikit pula yang meremehkan.

Kita misalnya gregetan mendengar ceramah, spanduk, status facebook, cuwitan di twitter tentang kewajiban khilafah Islam. Menurut pendapat penulis, kita harusnya biasa saja dengan hal-hal itu. Maksudnya biasa saja, ya proporsional.

Mungkin telinga kita merah atau bulu kuduk berdiri, tapi jangan serta merta mengekspresikan di ruang public bahwa kita geram. Memang, sering kali kelewatan atau dalam istilah sepakbola, pelanggaran, misalnya karena lontarannya rasis, tidak pantas atau mengancam.

Bagi penulis, kita harus sabar mendampingi, mengimbangi, atau mendidik mereka-mereka ini. Mereka ini ibarat anak-anak yang baru bisa naik sepeda. Bagaimana anak-anak yang baru bisa naik sepeda? Ya inginnya bersepeda terus, ngebut, nyalip siapa saja yang di depannya teriak-teriak mengabarkan bahwa dirinya bisa naik sepeda, bahkan sesegara mungkin ingin bersepeda lepas tangan.

Sikap kita, pada anak-anak yang baru bisa berspeda itu, tidak boleh keras, tidak boleh frontal. Kita dampingi, kita kasih informasi tentang aturan dan etika bersepeda. Kabarkan pula bahwa jika nabrak bisa patah tangan, dan lain-lain.

Begitu pula sikap kita pada orang yang baru bersemangat dalam beragama. Semangatnya, ghirahnya, kita apresiasi, kita jadikan inspirasi. Pikiran ingin “ngebut” dalam beragama, ingin “nyalip” dalam beragama, itu yang perlu kita imbangi. Kita tidak boleh sinis, nyinyir, apalagi meremehkan, jangan, kita harus hindari. Mengapa?

Sebab, jika kita tidak mampu menahan diri, kita akan muda bersikap sikap buruk, yakni sombong. Kita semua yang mendalami agama, di manapun, siapapun gurunya, apapun madzhabnya, telah maklum bahwa hanya Allahlah yang boleh memakai baju kesombongan