Wajah Islam Indonesia yang belum dipandang oleh dunia menjadi tantangan tersendiri. Timur Tengah dengan berbagai persoalan yang dihadapi sebagai representasi Islam. Tentu saja ini menjadi tantangan tersendiri dan sebuah keprihatinan bagi umat Islam indonesia.
Hal ini dikatakan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Agama Tingkat Internasional, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA dalam Simposium Nasional Sosiologi Agama. Menurutnya Indonesia semestinya tampil ke depan dan memindah wajah dunia Islam itu ke Nusantara. Namun lanjut dia, tantangannya ada di tingkat lokal sendiri. Agama kadang masih dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok dan jangka pendek. Misalnya dalam isu-isu terkait politik, kepartaian dan kontestasi yang menyertainya.
“Sekarang ini kita bisa melihat bahwa yang paling kokoh itu Indonesia, dalam kaitan konflik. Kita bisa melihat konflik dan ketegangan di Timur Tengah seperti itu. Sekarang sebenarnya mata dunia itu melihat ke Indonesia, bagaimana Indonesia mampu mengelola keberagaman. Jadi, Indonesia harus muncul dan menjadi representasi dari negara Islam yang damai,” ungkapnya seperti dilansir VOA Indonesia.
Tantangan terbesarnya adalah mengisi kekosongan representasi Islam yang damai. Selama ini representasi itu terkoyak oleh konflik yang terus terjadi di Timur Tengah. Indonesia berpeluang menjadi negara dengan praktik terbaik dalam program-program yang diterapkan untuk melawan tindak intoleran. Siti menambahkan, Presiden Jokowi sendiri berkeinginan Islam Nusantara yang berkemajuan diterapkan di Indonesia. Ini adalah konsep yang dimiliki dua organisasi muslim terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
“Kalau kita bicara tentang pelaksanaan HAM yang terbaik di negara mayoritas muslim, ya adanya di Indonesia. Tidak ada lagi negara lain yang bisa dijadikan contoh. Kalau di dunia internasional kita dikenal, maka ke dalam negeri itu akan melahirkan kepercayaan diri yang tinggi. Kepercayaan diri terhadap ke Islaman masyarakat Indonesia sehingga tidak perlu meniru budaya dari muslim di negara lain,” lanjut Siti yang juga duduk di Komisi HAM Organisasi Negara-Negara Islam (OKI).
Sementara itu Prof. Dr. Phil. Al Makin, S.Ag., MA, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga mengatakan bahwa muslim di Indonesia memiliki tantangan untuk menunjukkan identitas kebudayaan lokal yang lebih kuat. Tidak perlu menerapkan identitas global, karena akan cenderung melahirkan radikalisme. Al Makin meyakinkan kepada muslim Indonesia, yang terbaik adalah kembali mengenakan identitas lokal, misalnya sebagai warga NU atau Muhammadiyah. “Umat Islam yang tidak mengenal identitas lokal, menjadi global ummat. Islam sebagai satu kesatuan yang memiliki solidaritas global dan tidak mengenal batas. Dalam istilah Kyai Said Aqiel Siradj, itu yang disebut transnasional. Dan Ini yang melahirkan jihad, radikalisme dan fundamentalisme. Maka kalau kita kembali ke jati diri, ke NU dan Muhammadiyah, kita akan melahirkan obatnya, bahwa Islam itu punya identitas lokal,” jelasnya.
Simposium ini dihadiri akademisi dan peneliti bidang sosiologi agama dari 15 perguruan tinggi Islam se-Indonesia, dan diselenggarakan selama tiga hari di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.