Menjadi Santri Hibrida, Belajar Kitab Kuning dan Buku-Buku Barat, Tak Masalah!

Menjadi Santri Hibrida, Belajar Kitab Kuning dan Buku-Buku Barat, Tak Masalah!

Menjadi santri hibrida justru memperkaya khazanah intelektual santri itu sendiri.

Menjadi Santri Hibrida, Belajar Kitab Kuning dan Buku-Buku Barat, Tak Masalah!

Hibriditas merupakan konsep pelenturan dua budaya yang menghasilkan budaya baru. Homi K. Bhabha berpendapat bahwa hibrid merupakan metafora untuk menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya.

Pada dasarnya konsep ini ingin menjelaskan tentang seberapa jauh pengaruh kolonial di tanah penjajah. Fokus kajiannya terutama diletakkan pada kebudayaan. Antara kebudayaan Barat dan Timur. Kebudayaan Barat yang diasumsikan sebagai kebudayaan modern dan Timur dengan tradisionalisnya, yang kemudian terjadi perkawinan antar kedunya justru melahirkan budaya atau tradisi baru di tempat tersebut.

Dalam konteks Indonesia, benturan antar dua budaya tidak bisa dihindarkan. Setidaknya hal itu bisa dilihat dari perkembangan budaya dari masa ke masa. Dari situ akan terlihat nampak adanya perubahan dalam kebudayaan di negeri ini.

Akan tetapi, hal itu tidak menjadikan kebudayaan nusantara tereduksi, melainkan tradisi lama itu dilengkapi dengan tradisi baru, dalam kaidah ushul fikih dikenal dengan istilah al-muhafadlat a’la al-qadhimi al-shalih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah.

Di kalangan pesantren, kaidah tersebut menjadi jalan keluar tatkala ada pertemuan dua budaya yang berbeda. Tradisi pesantren tidak menolak perubahan sosial, karena hal itu merupakan sunnatullah, akan tetapi juga tidak menerima secara mentah-mentah gerak perubahan tersebut.

Sebab, setiap perubahan jelas memiliki dampak positif dan negatifnya. Dengan menggunakan kaidah tersebut, pesantren menginginkan adanya dialektika tradisi sehingga akan menemukan corak baru yang lebih bermanfaat untuk umat.

Hal ini menunjukkan bahwa pesantren mampu mengembangkan kebudayaan tersendiri. Gus Dur pernah mengatakan bahwa pesantren merupakan sub culture. Itu artinya, pengembangan pesantren tidak bisa dilepaskan dari unsur kebudayaan masyarakat dan perubahan sosialnya.

Ini merupakan kontribusi besar pesantren kepada masyarakat. Apalagi kedudukan kyai pesantren di masyarakat menjadi broker culture, sehingga kedudukan pesantren di tengah kebudayaan masyarakat tidak bisa dipandang sebelah mata.

Eksistensi pesantren tidak bisa dilepaskan dari santri. Santri merupakan sebutan bagi seseorang yang belajar di pesantren. Santri tidak terbatas masalah umur. Identitas seorang santri tidak akan pernah lepas meskipun ia sudah lulus dari pesantren.

Hubungan antara santri dan pesantren dipenuhi dengan kepatuhan dan tawadu’ kepada seroang guru atau kyai, kedekatan emosional ini  membuat predikat santri akan terus melekat pada diri santri.

Di era modern saat ini, pesantren telah melahirkan banyak santri yang berkiprah di segala lini kehidupan. Perananya tidak bisa dilepaskan dalam memperjuangkan dan mempertahankan kebhinnekaan. Bahkan Presiden telah memberikan penghormatan dengan menetapkan Hari Santri 22 Oktober karena keterlibatannya dalam mempertahankan Indonesia.

Selama di pesantren, santri diajarkan secara tradisonalis dan kaku, akan tetapi hal itu bukan menjadi tolok ukur untuk melihat seberapa jauh pengetahuannya. Buktinya banyak santri yang setelah lulus dari pesantren kemudian melanjutkan studinya ke luar negeri dan dalam negeri dengan mengambil bidang  ilmu humaniora maupun filsafat.

Corak berpikir santri yang tradisonalis kemudian digabungkan dengan pemikiran Barat mampu melahirkan pemikiran yang  konstruktif. Dengan kata lain, dalam kedirian santri sudah terjadi peleburan antara tradisi keilmuan klasik dan modern, atau bisa dikatakan santri hibrida.

Peleburan pemikiran ini justru memperkaya khazanah intelektual santri. Santri tidak dicap lagi sebagai bagian tradisionalisme Indonesia, akan tetapi ia juga telah menyumbangkan gagasan-gagasannya untuk mengembangkan kebudayaan masyarakat.

Santri hibrida tetap memegang teguh ajaran pesantren dalam kaidah fikih di atas. Mereka percaya bahwa yang namanya ilmu ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Segala ilmu sifatnya sama, tidak ada yang membedakan satu sama lainnya. Dengan memiliki cara pandang yang tidak dikotomis ini, sehingga lahir corak pemikiran yang konstruktif dari seorang santri.

Santri hibrida seperti ini banyak kita jumpai di era saat ini. Sebut saja ada nama-nama besar seperti Ahmad Baso, Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi,Al-Fayyadl dan intelektual-intelektual muda santri lainnya yang telah mencurahkan ide dan gagasannya untuk mengembangkan khazanah intelektual Islam Indonesia. Bahkan tidak jarang juga dari mereka terlibat secara aktif untuk membantu masyarakat dari persoalan sosial.

Meskipun demikian, orang-orang tersebut masih memegang tradisi lama. Tradisi lama ini dijadikan pondasi struktur dan dikembangkan dengan keilmuan kekinian, sehingga akan melahirkan sebuah tradisi baru yang tidak menghilangkan unsur-unsur tradisi lama. Dengan bahasa lain, konsep tawasuth ini yang coba dibuktikan oleh santri hibrida. Menimbang-nimbang tradisi lama yang masih relevan untuk dipertahankan, dan mengambil hikmah dari tradisi baru.

Oleh karena itu, keberadaan santri hibrida saat ini telah melahirkan corak pemikiran yang khas. Mereka tidak kehilangan identitas tradisionalisnya, akan tetapi juga tidak ketinggalan zaman dengan perkembangan keilmuan. Santri hibrida ini berkeinginan untuk menyumbangkan ide dan gagasannya untuk membangun masyarakat yang memiliki kebudayaan tinggi (great tradition).

Wallahu A’lam.