Setiap akhir Desember dan awal Januari, sejak meledaknya popularitas media sosial, perbincangan di berbagai platform dunia maya dipadati dengan perlawanan terhadap ucapan selamat Natal dan perayaan tahun baru. Perbicaraan ini masih terulang hingga Januari kemarin. Awal tahun kemarin bahkan tingkat pemerintah kota dan provinsi turut turun tangan memberikan himbauan sampai larangan, untuk merayakan tahun baru.
Kelompok Islam literalis sering menjadi motor dari gerakan anti terhadap perayaan tahun baru dan ucapan natal. Mereka sering menggunakan dalil yang sama yaitu larangan akan menyerupai suatu kaum, yang kemudian disitir mengarah menyerupai agama orang lain. Asumsi yang dibangun berakhir pada umat yang mengucapkan selamat Natal dan tahun baru akan terjerumus pada kemurtadan (keluar dari agama Islam).
Di bulan Februari ini, agenda serupa biasanya menyeruak yaitu menolak hari kasih sayang (Valentine Day), yang jatuh pada tanggal 14 Februari. Kalangan Islam literalis dan puritan biasanya mulai sibuk memberikan berbagai program yang bernafas sama yaitu anti-Valentine Day. Dari diskusi, seminar hingga meme terus bersileweran di kehidupan masyarakat Islam, terkhusus kalangan remaja yang dianggap kelompok rentan terjerumus ke perilaku maksiat.
Sikap “anti” sebagai perlawanan pada sesuatu yang dianggap berseberangan dengan nilai-nilai moral satu kelompok. Perlawanan melalui aksi “anti” biasanya diikuti dengan memboikot hal-hal atau benda yang terkait dengan lawan dan diharapkan bisa berdampak langsung pada pelucutan kekuatan lawan. Boikot sering dikampanyekan sebagai aksi perlawanan minoritas saat menghadapi sebuah kekuatan besar. Karena, aksi boikot bisa memberikan dampak kerugian yang bisa melucuti kekuataan hingga menghancurkan.
Boikot adalah alat perlawanan yang memiliki sejarah panjang di kehidupan manusia, bahkan menjadi awal gerakan perlawanan sipil. Misalnya, Nelson Mandela dan kawan-kawan ANC di Afrika Selatan pernah melakukan aksi boikot angkutan bis kota yang bisa membawa kelompok pekerja yang didominasi oleh rakyat kulit hitam, aksi ini memang tidak berdampak langsung tapi menandai perjuangan perlawanan atas penindasan yang dilakukan pemerintah Apartheid. Masih banyak lagi contoh aksi boikot di dunia ini, walau dampak dari aksi boikot mungkin tidak bisa dirasakan langsung kecuali sudah dilakukan konstan dan berlangsung lama, boikot tetap menjadi opsi perlawanan dari masyarakat kelas bawah.
Aksi boikot Nelson tersebut adalah bagian dari gerakan politik yang terus membesar dan akhirnya bisa menjadi perlawanan sipil massif sampai runtuhnya pemerintah Apherteid. Boikot adalah senjata kalangan sipil yang tidak terserap dalam proses politik. Kalangan sipil yang progresif juga memilih boikot untuk berjuang atas nama rakyat jika Negara gagal memenuhi suara dari rakyatnya. Akhirnya, membuat gerakan ini akan menjadi gerakan alternatif dari masyarakat, saat negara lemah dalam memperjuangkan aspirasi rakyatnya sendiri.
Dalam buku Boycotts its Past and Present karya David Feldman, dijelaskan bahwa gerakan boikot mengalam perubahan yang cukup radikal dalam rentang sejarah yang dilaluinya. Dari tiga yang dipaparkan oleh Feldman sebagai faktor berubahnya gerakan boikot, namun dua hal saja yang didedahkan dalam tulisan ini karena faktor ini menarik untuk menelisik aksi boikot dari umat Islam yang terjadi di Indonesia.
Pertama, faktor moral ekonomi. Di abad 21 ini, kehidupan ekonomi yang dikuasai oleh neoliberalime ini muncul satu istilah bernama “Etika Konsumsi”. Dengan semakin menguatnya kapitalisme, gerakan boikot tidak lagi bergerak memperjuangkan hak untuk hidup bebas, hak untuk mendapatkan perlakuan manusiawi, hak atas tanah, dan lain-lain. Namun, lebih banyak menjadi gerakan supranasional yang berjuang diantara negara dan konsumen.
Inilah yang membuat gerakan boikot lebih berfokus pada produk, untuk melemahkan posisi lawan. Perjuangan politiknya pun tidak lagi berpusat pada kekuasaan negara, tapi bisa korporasi yang menindas. Contohnya, perjuangan petani kopi yang menyuplai ke salah gerai kopi “Starbucks” yang menginginkan adanya keadilan dalam pembelian harga kopi, selama ini sangat tidak adil.
Kedua, Faktor politik subjektivitas. Meningkatnya dan semakin meluasnya perekonomian neo-liberal, ini juga mengakibatkan boikot juga berkelindan dengan persoalan pilihan dan gaya hidup. Saat boikot berkelindan dengan dua hal tersebut, politik penolakan harus berhadapan dengan pilihan individu yang bisa menumpulkan perjuangan tersebut. Sebab, gerakan ini akhirnya menjadi bagian dari gaya hidup tersebut dan semakin menipiskan gairah politik atau ingin meraih perubahan dalam gerakan boikot tersebut.
Coba kita telisik bagaimana boikot yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, di tahun 2018, kita disuguhi “fatwa” haram untuk meminum kopi di salah satu gerai kopi terkenal, Starbucks. Putusan hukum ini salah satunya disebar oleh penceramah terkenal, ustadz Abdul Somad yang mengatakan bahwa pembeli kopi di Starbucks sama dengan “mendukung LGBT dan karenanya masuk neraka”. Abdul Somad menegaskan bahwa uang kita yang disetorkan setiap pembelian produk di Starbucks akan disumbangkan untuk mendukung kegiatan LGBT. Boikot seperti ini tidak cuma sekali terjadi di kalangan umat Islam, beberapa diantaranya seperti kasus Sari Roti vs 212, kasus Uighur yang membawa boikot produk China, kasus boikot produk Amerika yang diusulkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena pemindahan kedubes Amerika di Palestina.
Sekian boikot telah disuarakan ditengah umat dengan berbagai isu yang melatarinya, namun pernahkah kita meneroka boikot selama ini memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan awal dari boikot tersebut. Sebab, jika banyak dari aksi boikot selama ini layu sebelum menjangkau fokus perjuangannya, maka ini menjebak boikot tersebut hanya sebagai selebrasi saja dan tidak lagi fokus pada isu pertamanya. Umat Islam tidak terlalu peduli akan cita-cita awalnya, namun melihat aksi boikot ini sebagai bagian dari pengkatrol level keberagamaan pribadi.
Ikut tidak membeli Sari Roti dan Starbucks atau menolak memakai dan menggunakan produk Amerika dan China, dianggap sebagai tanda keberagamaan. Saat keadaan ini terjadi di umat Islam, sebenarnya ini melemahkan aksi boikot tersebut karena kepedulian yang dibangun tidak melihat pada permasalahan umat secara jernih. Penindasan yang dilakukan oleh koorporasi kepada kalangan mustadh’afin tidak lagi diperbincangkan, semuanya bergeser pada pilihan sebagai konsumen saja dari satu produk ke produk yang lain. Padahal pilihan yang lain bisa saja melakukan penindasan yang lain, namun gagal ditelisik karena terselubung isu agama yang dikemukakan.
Aksi boikot adalah alat melawan penindasan yang dilakukan oleh aktor yang sadar bukan selebrasi sementara. Memboikot Valentine Day boleh saja, namun jangan sampai terjebak ini hanya sebagai selebrasi atau perayaan setiap tahun yang tidak memberikan perubahan apapun. Jadi lawanlah setiap perilaku yang menindas apapun bentuknya dengan kesadaran politik yang jernih bukan rasis.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin