Menjadi Pinokio di Tahun Politik

Menjadi Pinokio di Tahun Politik

Bagaimana sih wujud Pinokio dalam politik kita?

Menjadi Pinokio di Tahun Politik
Wujud Pinokio dalam politik kita pinocchiopolitics.com

Apabila kita cermati, dunia politik kita menunjukkan gejala yang tidak menggembirakan. Satu demi satu politisi mengeluarkan pernyataan yang bombastis dan sering kali hanya berupa kebohongan. Kita mencatat misalnya pernyataan tempe setipis ATM, tampang Boyolali, 99 % orang Indonesia hidup pas-pasan, 100 ribu hanya dapat cabai dan bawang serta pernyataan-pernyataan lain sejenis.

Tampaknya, dalam kepala politisi itu hanya ada satu prinsip: yang penting viral dulu, masalah isi dan dampaknya dipikirkan belakangan. Toh apa yang disampaikan bisa diralat, dan meminta maaf adalah hal mudah belaka. Sampai di sini, rasanya kita seperti kehilangan keindonesiaan kita. Mulut politisi menjadi sesuatu yang amat menjengkelkan. Di mana sembunyinya politisi yang dulu mengusung jargon politik adiluhung, politik bermartabat, politik berakhlak?

Pada kondisi seperti ini tiba-tiba saya teringat dongeng Pinokio yang masyhur itu. Akankah 2019 menjadi pertarungan para politisi Pinokio? Politisi yang getol menggunakan kebohongan sebagai strategi. Politisi yang tidak mencerdaskan masyarakat dan menghadirkan kegembiraan berpolitik.

Jika Pinokio setiap kali berbohong bertambah panjang hidungnya, maka setiap politisi berbohong akan bertambah panjang jejak hitam dalam karier politiknya.

Di Kompas edisi 18 November 2018 saya bertemu dengan satu tulisan yang sedikit banyak dapat menjelaskan fenomena yang berkembang akhir-akhir ini. Para politisi Pinokio itu menggunakan teknik propaganda firehouse of falsehood atau semburan kebohongan. Ciri utamanya adalah gemar memutarbalikkan logika, bicara asal-asalan, tidak malu meski melakukan keburukan (bohong). Menurut Budiman Sudjatmiko, cara serupa itu digunakan oleh Trump, Putin dan Bolsonaro (Brasil)

Saya heran, tidakkah para politisi itu ingin menang dengan cara-cara elegan? Dengan menyodorkan gagasan-gagasan yang substansial, bukan terus menerus menyemburkan omong kosong. Dengan kampanye-kampanye kreatif yang mampu menimbulkan simpati, bukan sekadar mencari perhatian bermodalkan sensasi demi sensasi.

Mau tidak mau, penguatan masyarakat harus terus dilakukan. Mereka harus berdaya, cerdas dan kritis di tahun politik yang penuh badai. Faktanya, semburan kebohongan itu menyebar di berbagai kanal, begitu cepat, terus menerus nyaris tanpa henti. Lebih-lebih ketika media sosial banyak digunakan seperti sekarang ini.

Pernyataan ketua Dewan Pers, Stanley, mestinya menjadi perhatian kita:  media sosial hanya menyampaikan informasi, adapun media konvensional menyampaikan berita. Jika tidak jeli, masyarakat bisa terjebak. Dikira semua yang tampil di media sosial adalah fakta yang harus diamini. Padahal, berbeda dengan media konvensional, tentu saja, tak ada proses verifikasi dan cover both side di media sosial.

Hari-hari ke depan, saya kira, kita seperti sedang berjalan di rimba raya dalam malam gelap. Kehati-hatian adalah kunci. Salah-salah kita bisa diterkam politisi Pinokio yang gentayangan.