Menjadi Muslim Sejati Tak Cukup Pakai Gamis dan Panjangin Jenggot, Tapi Harus Berakhlak Mulia

Menjadi Muslim Sejati Tak Cukup Pakai Gamis dan Panjangin Jenggot, Tapi Harus Berakhlak Mulia

Muslim sejati tidak hanya memakai atribut Islam, tetapi juga menunjukkan akhlak yang baik kepada semua orang

Menjadi Muslim Sejati Tak Cukup Pakai Gamis dan Panjangin Jenggot, Tapi Harus Berakhlak Mulia
Menolong orang lain adalah beberapa cara sederhana dalam implementasi akhlak Nabi, juga termasuk bagian dari sedekah.

Islam dari secara bahasa artinya bermakna kepatuhan, ketundukan, berserah diri, pasrah (sallama – taslim). Islam merupakan agama yang mengajarkan kedamaian dan keselamatan bagi para pemeluknya. Inti Islam adalah cinta dan moralitas. Dalam Islam pelaksanaan akidah dan fikih (prinsip dan ritual) adalah akhlak. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Muslim sejati adalah  yang menjaga orang lain  dari gangguan lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang Muslim sejati seyogyanya dilihat dari sejauhmana ia mengamalkan agamanya dengan membuat orang lain selamat, aman dan damai dengan kehadirannya. Dan berbuat baik tidak hanya kepada sesama muslim tetapi kepada yang nonmuslim, sebab risalah Islam adalah lil alamin untuk seluruh alam bukan hanya sesama Muslim.

Masih kurangnya pemahaman orang Islam akan inti dari ajarannya itu sendiri berdampak pada banyaknya perdebatan dan bahkan tuduhan-tuduhan yang buruk kepada sesama muslim. Lebih mengedepankan simbol-simbol dalam beragama menjadi fenomena sehari-hari. Padahal, untuk menjadi seorang Muslim sejati tidak cukup hanya sekedar simbol-simbol, seperti memelihara jenggot, menggunakan gamis, berbaju tauhid, mengikuti demo, atau me-share video-video ustad. Hal ini bukan berarti penggunaan dan pemaknaan agama melalui simbol-simbol itu tidak baik, tetapi alangkah lebih bijaknya jika beragama melebihi simbol dan atribut-atribut tersebut.

Islam merupakan ajaran agama yang disampaikan kepada para penganutnya dengan menggunakan simbol-simbol yang bersifat permanen. Secara normatif Islam bersifat elitis dalam arti bahwa secara kewenangan serta kompetensi untuk menyampaikan ajaran ini tidak dimiliki oleh semua orang, tetapi menjadi wilayah orang-orang yang dianggap memenuhi syarat dan kriteria tertentu. Meskipun demikian, secara pragmatis proses penyebaran ajaran Islam tidak selamanya berbanding lurus dengan bagaimana Islam diwacanakan secara normatif. Dalam praktiknya, penyebaran ajaran agama ini berjalan sesuai dengan perkembangan sosio-kultural. Secara kultural, proses penyebaran ajaran Islam baik secara tatap muka langsung maupun melalui media, terjadi melalui beberapa tahapan interpretasi oleh para penyebar serta penerima ajaran.

Ajaran agama disebarkan menggunakan simbol-simbol keagamaan yang telah disesuaikan melalui proses interpretasi oleh pembawa risalah, dan diterima dengan cara yang telah disesuaikan dengan pola interpretasi dari penerima risalah. Karena memang kehidupan manusia tidak bisa lepas dari dunia simbol, dan bahwa seluruh aspek kehidupan manusia terdiri dari proses produksi dan konsumsi simbol.

Simbol sendiri adalah bagian dari ciri khas agama, karena simbol lahir dari sebuah kepercayaan, dari berbagai ritual dan etika agama. Simbol dimaknai sebagai sebuah tanda yang dikultuskan dalam berbagai bentuknya sesuai dengan kultur dan kepercayaan masing-masing agama. Kultus ini kemudian melahirkan sebuah sistem dan struktur simbol yang dapat membentuk manusia menjadi homo simbolicus dalam tipe atau pola religiusnya.

Sebagai sebuah tanda yang dikultuskan, Simbol memiliki makna yang tersembunyi atau yang dapat dikiaskan dari makna harfiahnya kemakna yang sakral dan mendalam. Sementara sebagai sebuah Sistem yang terstruktur, Simbol memiliki logika tersendiri yang koheren (saling terkait) yang dapat dimaknai secara universal. Dan sebagai sebuah fenomena agama, Simbol jamak dikultus dan direfleksi kannya dalam berbagai bentuk persembahan dan pemujaan baik secara individual maupun komunal.

Dan faktor lahir yang menyebabkan simbol sangat terikat atau korelatif dengan agama, disebabkan karena simbol-simbol religius yang lahir dari pengalaman religius juga sering dijadikan sebagai bantuan terapis psikologis, di mana secara psikologis wawasan hidup manusia religius yang homo simbolicus dihiasi oleh dua dimensi yang saling berkaitan, yaitu dimensi spiritual dan dimensi psikologis. Dimensi spiritual berorientasi pada agama dan dimensi psikologis berorientasi pada “kebebasan”, yang diwujudkan dalam berbagai bentuk simbol.

Menjadi seorang Muslim, adalah menjadi seorang yang memberi keselamatan bagi setiap orang. Islam tidak memerintahkan kita untuk berbuat arogansi atau kekerasan. Kadang kita lupa dan mengira bahwa Islam hanya sekedar atribut dan simbol-simbol, padahal hakikat Islam tidak terletak pada atribut tetapi pada akhlak dan konsep kedamaiannya. Sebagaimana perkataan Gus Dur, Islam datang tidak hanya mengubah atribut kita, seperti mengubah saya jadi ana, anda jadi antum, sedulur jadi akhi, tetapi lebih dari itu, Islam mengajarkan kita tentang keramahan, bukan kemarahan.

Seperti yang dikalamkan kaum arif, jangan kalian beragama lalu berhenti pada simbol (ayat). Sebab simbol (ayat) itu bukan Allah. Beragama yang benar harus melampaui ayat. Melampaui tajwid dan fasahah. Melampaui mufassirin dan huffaz. Sebab, banyak orang yang ahli dalam membaca dan menerjemahkan ayat, tetapi tidak pernah sampai kepada Pemilik ayat.