Menjadi Mufti Itu Tidak Mudah

Menjadi Mufti Itu Tidak Mudah

Menjadi Mufti Itu Tidak Mudah

Saya melihat banyak sekali orang yang ingin bertindak menjadi mufti di media sosial. Mereka senang dan merasa puas jika bisa menghukumi orang lain meskipun tidak memiliki kapasitas. Setiap hari mengkeluarkan puluhan tweet dan status, isinya menghukum perilaku orang lain. Tindakan seperti ini jika dilandasi oleh pengetahuan yang mendalam (fiqh al-amiq) tidak menjadi masalah karena jika salah dia melakukannya dengan ilmu pengetahuan, dan semoga tetap berpahala satu. Tapi, banyak sekali fatwa di dunia medsos didasarkan pada prasangka dan yang paling parah pada rasa kebencian. Parahnya lagi, kebencian itu dibangun di atas kebencian politik. Karena berbeda politik, maka apapun yang kalian lakukan salah secara fiqhiyyah.

Tahukah, menjadi mufti maupun lembaga fatwa itu tidak mudah. Pertama, memberikan fatwa itu sama dengan melakukan pekerjaan sebagai mujtahid sementara untuk bertindak sebagai mujtahid itu berat sekali. Banyak bidang keilmuan yang harus dipenuhi, sementara kita melihat Arab gundul sakja sudah pusing. Sebgitu beratnya memberikan fatwa, maka pekerjaan itu diberikan pertama-tama kepada orang yang bisa berpikir secara independen, menemukan metode berijtihad. Mereka ini disebut mujtahid mutlak. Kedudukan ini hanya diraih oleh founding fathers dari madhahib saja.

Kedua, jika sosok mujtahid mutlak sudah tidak ditemukan, maka pekerjaan memberikan fatwa diberikan kepada mujtahid di dalam madzhab imamnya atau di luarnya (mujtahid fi madhhabi imamihi aw gayri imamihi). Mereka adalah orang-orang yang hanya taqlid pada imam mereka dalam metode pembuatan fatwa (ijtihad). Mereka menggunakan metode mujtahid mutlak mereka untuk menghasilkan pendapat hukum. Posisi inipun sangat sulit dicapai karena metode penggalian hukum juga mengharuskan penguasaan ilmu yang sangat luas.

Ketiga, jika golongan di atas tidak ditemukan, pembuatan fatwa diserahkan pada mereka yang sangat menguasasi dalam bidang tertentu (na’un min al-ilm). Mereka ini harus menguasai metode qiyas (ini juga ijithad) dalam bidang ilmu tertentu. Jika ada masalah fara’id, maka orang tersebut hanya diberikan kesempatan untuk berfatwa bidang faraid.

Zaman sekarang, untuk sampai pada level ketigapun banyak orang yang tidak mencapainya. Karenanya, ulama-ulama sekarang memberikan fatwa berdasarkan ijtihad kolektif. Meskipun kolektif, keahlian pun sangat diperhatikan.

Kalangan ahli usul fiqih menyatakan jika ada orang yang tidak memiliki keahlian berfatwa sebagaimana sifat2 yang disebutkan di atas, maka orang tersebut melakukan maksiat dan dosa karena mereka tidak bisa membedakan yang benar dan yang salah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat jika perintah wajib melarang orang yang tidak memiliki kapasitas ijtihad untuk berfatwa.

Kenapa hal yang sudah jelas sulitnya dan menanggung resiko dosa banyak orang yang masih suka mengambil posisi sebagai mufti? Sungguh dunia yang aneh.

Mengapa berfatwa itu sulit karena berfatwa itu bukan berkebencian, berfatwa itu bertanggungjawab kepada sang pembuatan hukum. Mufti adalah al-mukhbir bi hukmi llahi ta’ala li ma’rifatihi bi dalilihi, pembawa khabar tentang hukum Allah karena pengetahuannya atas dalil-dalil hukum tersebut.

*) Disadur dari kitab Sifat al-fatwa, wa al-mufti wa al-mustafti, karangan Imam Ahmad bin Hamdan al-Harrani al-Hanbali.