Menjadi Manusia yang Tidak Lupa, Khilaf dan Sok Tahu Agama

Menjadi Manusia yang Tidak Lupa, Khilaf dan Sok Tahu Agama

Bagaimana menjadi manusia seperti ini?

Menjadi Manusia yang Tidak Lupa, Khilaf dan Sok Tahu Agama
Para peternak politik memanfaatkan segala hal demi kepentingannya. Pict by Nurul Huda

Dulu, saya punya temen sekelas yang berjuluk Abu Naum. Pasalnya saban masuk kelas ia selalu tidur. Tak peduli di jam pertama yang masih pagi, atau di jam terakhir menjelang juhur, ia akan menggunakan jurus tidurnya. Kepalanya diletakkan di atas tangan di atas meja.

Di depannya. Kitab akan diberdirikan untuk menghalangi pandangan ustadz di depan yang pasti sadar bahwa teman saya tengah tidur. Meski sudah “ditakzir” berdiri hingga push-up, tetap saja ia akan tidur di kelas. Tapi, yang buat geleng-geleng kepala teman-teman sekelasnya adalah, nilai pelajarannya meski tidak teratas tapi tidak terbawah. Di atas rata-rata. Selalu begitu.

Ini seperti cerita tentang presiden ke-empat Indonesia, Gusdur yang tertidur dalam satu forum diskusi. Namun ketika bangun, ia mengetahui semua hal yang dibicarakan para pembicara yang lain ketika ia tertidur. Ada yang bilang, Gusdur punya ilmu ladunni. Tapi Gusdur menimpali dengan mengungkapkan trik; mendengar kalimat dan hal terakhir yang dibicarakan orang lain, sebab pembicaraannya tak mungkin jauh dari hal tersebut.

Ada cerita lain tentang teman saya yang berjuluk Abu Ghosop. Pasalnya, meski punya sandal, ia selalu senang memakai sandal santri yang lain. Tidak hanya sandal; ember dan peralatan mandi pun ia lebih suka memakai milik orang lain. Meski sudah ditakzir berkali-kali, ia tetap berlaku demikian. Belakangan, saya dengar ia memiliki toko serba ada yang saban Jumat mengumpulkan para yatim untuk makan bersama dan berbelanja di tokonya dengan voucher yang ia sediakan.

Julukan dengan kata Abu di kalangan teman-teman sesama santri biasanya merujuk kepada pekerjaan atau apa yang ia biasa ia kerjakan. Atau ia ahli dalam suatu pekerjaan. Sayangnya, kata abu dalam bahasa Arab memiliki makna dan arti yang jauh berbeda dalam bahasa Indonesia. Karena itu, sejak Tsanawiyah (setingkat SMP) para santri dibekali ilmu Nahwu dan Shorof. Kedua ilmu ini lebih dikenal dengan ilmu alat. Sebab, kedua ilmu ini adalah alat untuk mempelajari tata bahasa Al-Qur’an sebagai sumber ilmu. Di antara yang dipelajari dalam ilmu alat tersebut adalah tashrif, alias perubahan kata.

Dalam bahasa Indonesia perubahan kata, kerja dan benda, tidak terlalu banyak seperti dalam bahasa Arab. Misalnya kata buku, dalam bahasa Indonesia, untuk menunjukkan buku yang banyak, tidak mengubah kata buku tersebut. Biasanya kata tersebut diulang menjadi buku-buku. Atau ditambah kata; beberapa dan banyak, menjadi beberapa buku, banyak buku. Pun ditambah keterangan nominal jumlah. Misalnya tujuh buku, sembilan buku.

Nah dalam bahasa arab, kata buku (kitab), akan berubah jika itu merujuk pada banyaknya (jamak). Dari kitaabun (satu buku) menjadi kitaabaani (dua buku) lalu kutubun (buku-buku/lebih dari dua buku).

Nah, ada teman saya yang akrab dengan buku-buku, hingga ia berjuluk Abu al-Kitab. Dan ada teman saya yang lain jago dalam tashrif hingga disebut Abu Tashrif. Ada juga teman saya yang selalu bicara seperti burung beo hingga ia dijuluki Abu Al-Minkor. Ada lagi teman saya yang berjuluk Abu Al-Kadzdzaab lantaran ia pandai berspekulasi ketika ditanya ustadz kenapa tidak masuk kelas, kenapa terlambat masuk kelas, dan pertanyaan-pertanyaan lain padanya. Secara tekstual, julukannya berarti sang pemilik kebohongan alias tukang berbohong. Tapi, secara kontekstual julukannya lebih kepada kemampuannya berspekulasi.

Melihat fenomena yang tengah ramai dibicarakan teman-teman di media sosial, saya jadi teringat pondok. Teringat pesantren. Teringat para kiayi yang mengajarkan kutub alturast setelah subuh dan sebelum magrib di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Teringat teman-teman Averose (nama angkatan) yang memiliki gelar Abu sesuai keahliannya masing-masing. Dan ternyata, julukan Abu Nisyan yang berarti pelupa alias tukang lupa, yang dulu diberikan untuk teman saya yang amat kesulitan dalam menghafal tashrif, sepertinya berpindah kepada dua orang yang sering muncul di televisi dan pemberitaan.

Ah, saya jadi ingat teman saya si Abu Nisyan. Ia selalu berseloroh; al-insaanu mahallu al-khotho-a wa al-nisyaan, untuk melindungi lupanya. Agar siapapun memaklumi dan memahami. Lalu bilang: “ooh…. Iya… Iya..”