Menjadi Malala Yousfazai

Menjadi Malala Yousfazai

Menjadi Malala Yousfazai
Malala menjadikan standar penting bagi anak muda untuk menjadi agen damai. Pict by @malalaFund

Siapa yang tidak kenal Malala Yousfazai di dunia pendidikan dan perdamaian dunia? Ia adalah sosok ideal bagi generasi muda untuk ditiru dan diamalkan perjuangannya. Di usia yang semuda itu, ia mampu mempengaruhi penduduk dunia untuk berlaku damai sejak dalam pikiran dan tindakan.

Seperti halnya yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer; orang terpelajar itu harus mampu berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam tindakan. Hal itu sudah dilakukan oleh anak muda dari Pakistan itu, Malala Yousfazai. Ia tidak hanya memikirkan perdamaian di kepalanya, akan tetapi ia juga membuat jejak langkah yang membebaskan.

Malala mampu membebaskan warga di Pakistan dari belenggu teror militan Taliban. Berbagai cara ia lakukan di antaranya dengan speak out, membaca dan bertindak. Semua itu ia lakukan guna menunjang pendidikan yang layak dan aman, serta memperoleh perdamaian hakiki.

Apa saja bekal menjadi pelopor damai bagi generasi muda di era milenial? Tentunya cukup banyak, tapi tidak perlu khawatir. Saat ini dunia sedang ditunjang dengan keterbukaan informasi dan teknologi. Jika generasi muda mampu memanfaatkannya dengan baik, maka tiadalah kata repot. Gitu saja kok repot.

Terus apa yang bisa dipelajari dari Malala dalam kontekstasi peradaban dunia yang damai dan berkeadilan? Yah, sebagaimana di atas, lebih kurang ada tiga hal. Berani berbicara atau kritis, membaca buku dan menulis serta melakukan perubahan besar.

Pertama, berani berbicara atau mengugkapkan kebenaran, adalah hal dasar yang dilakukan Malala. Berani berbicara di sini bukan dalam hal kelisanan. Akan tetapi keberanian berbicara di sini adalah sebuah reaksi radikal atas kondisi sekitar yang tidak beres, seperti halnya penindasan dan ketidakadilan.

Malala sudah meneladani kita semua, bahwa bicara adalah modal dasar perlawanan. Sebagaimana tradisi masyarakat terdahulu sebelum mengenal aksara. Segala sesuatu mampu dikomunikasikan dengan bahasa lisan. Segala ketidakberesan bisa ditegur dengan protes.

Protes yang dilakukan Malala ini khas, tidak seperti halnya protes warga saat BBM naik. Protes yang dilakukan Malala ini dengan halus dan menusuk. Bagaimana dirinya mampu bersuara dan mengatakan; berani-beraninya Taliban merampas hak saya atas Pendidikan.

Yah, pendidikan yang ia suarakan di tengah teror itu. Hal itu tidak dilakukannya sesekali, akan tetapi berkali kali. Berkali-kali speak up di media telivisi atau lainnya.

Seketika itu pula, penulis teringat dengan sosok Anne Frank. Remaja berumur tiga belas tahun itu juga memiliki cerita seputar perlawananya terhadap pelaku teror. Bedanya, teror yang ditimpa oleh Anne Frank ini di bawah kebringasan Nazi, rezim Hitler.

Anne melawan penindasan itu dengan cara yang egaliter pula. Meskipun dampaknya tiak secara langsung. Anne melawannya dengan tulisan di buku diary, yang kemudian dibukukan dengan judul The Diary of a Young Girl. Pengalaman pahit yang dipenuhi kata bijak dalam bukunya pun bisa dinikmati oleh orang lain, setelah ia meninggal.

Salah satu kutipan menariknya adalah; aku menyadari bahwa aku harus mengerjakan tugas sekolahku, agar tidak menjadi orang bodoh — aku ingin menjadi orang yang berguna atau membawa kesenangan bagi semua orang, bahkan bagi orang-orang yang belum pernah aku temui. Aku ingin tetap hidup setelah kematianku! Dan itulah sebabnya kenapa aku sangat bersyukur pada Tuhan karena telah memberikan bakat (menulis) ini, yang bisa kugunakan untuk mengembangkan diriku dan untuk mengekspresikan semua yang ada di dalam diriku!

Selaras dengan yang dilakukan Malala, dalam hal ini adalah membaca dan menulis. Malala tidak hanya melakukan protes dengan orasi ke sana ke mari. Akan tetapi dia juga membaca dan menulis, bahkan mengkampanyekannya di seluruh penjuru dunia.

Tidak jarang ia menuliskan peristiwa yang ada di sekitarnya; penindasan, ketidakadilan dan kebodohan. Tulisannya tersebar di berbagai media cetak dan sebagainya.Hal itu yang membuat dirinya diteror.

Malala melakukannya guna memerangi kebodohan. Kebodohan inilah yang menggerogoti kita semua, dan mampu membuat permusuhan. Kurangnya membaca juga mengakibatkan saling tikam dan saling bunuh.

Ketiga, melakukan perubahan besar. Malala telah berhasil mengajak generasi muda untuk bergerak melakukan hal besar. Ia menyuarakan keadilan dan kesetaraan hak. Bahwa, semua orang harus memperoleh pendidikan yang sama, bagi perempuan atau laki-laki.

Selain itu, nalurinya berkata bahwa cinta dan mencintai adalah jalan hidupnya. Mencintai sesama manusia dan tidak saling menyakiti, meskipun berbeda. Jalannya, adalah jalan cinta, mencintai sesama dengan berbicara, membaca-menulis dan memberikan contoh.

Layaklah memang jikalau ia dianugrahi PBB sebagai pemuda agen perdamaian. Berdamai sejak dini, remaja dan selamanya. Ia memperjuangkan perdamaian melalui jalan keadilan. Sebagaimana Gus Dur katakan, “Perdamaian tanpa keaadilan adalah sebuah ilusi”.

Perdamaian dunia harus kita suarakan selantang-lantangnya, di kampung, di jalan, di mall, di tempat ibadah atau di dunia maya. Sebagaimana target Sustainable Development Goals (SDGs) skala 2015-2030, “Mendorong masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan yang berkelanjutan, memberikan akses keadilan bagi semua dan membentuk lembaga-lembaga yang efektif, akuntabel, dan inklusif di seluruh lapisan”.  Sehingga, dalam memikul tanggung jawab bersama dalam memelihara perdamaiaan antar negara, bangsa dan agama.

Jadi, sudah siap menjadi Malala Yousfazai? Saya kira layak untuk kita coba.