Menjadi Jahil Murakab Bersama Tengku Zulkarnaen

Menjadi Jahil Murakab Bersama Tengku Zulkarnaen

Menjadi Jahil Murakab Bersama Tengku Zulkarnaen

Jubah Utk Sholat Lbh Baik dr BATIK Utk Sholat. Jubah Utk Demo Bela Agama Lbh Baik dr BATIK Utk Bela Penista Agama. JUBAH lbh BAIK dr BATIK!

Kalimat-kalimat di atas bukanlah pelajaran silogisme. Juga tidak akan pernah kita temukan di sub bab penalaran dalam kitab mantiq. Kalimat-kalimat di atas bisa kita temukan di akun twitter @ustadtengkuzul.

Ustaz yang satu ini memang kelewat kerap bikin sensasi. Komentarnya, meskipun kerap menggergaji angin alias sia-sia, namun selalu bisa memancing perdebatan atau bahkan caci maki. Orang jawa bilang kemampleng atau tempilingable.

Kelau kemampleng dan tempilingable positif sih ndak masalah. Kita bisa mengapresiasinya. Adakah termplilingable yang positif? Ada. Maksudnya tempilingable yang posotif itu begini, komentar yang nakal namun masuk akal dan memancing kita untuk berpikir ulang. Contohnya begini, dulu Ulil Abshar Abdalla pernah mengeluarkan statemen bahwa Al-Quran adalah kitab subsidi yang diberikan Allah kepada umat Islam.

Istilah kitab subsidi jelas memancing perdebatan. Publik dibuat geger. Namun jika ditelaah lebih jauh dan degan hati yang tenang lagi jernih, maka pernyataan Ulil itu ada benarnya. Maksud istilah kitab subsidi adalah kitab yang digunakan sebagai bantuan yang diturunkan oleh Allah untuk manusia agar mereka bisa menemukan jalan untuk kembali pulang kepada-Nya.

Inilah templingable yang positif yang mengajak kita untuk mikir guna membongkar dan merobohkan kolotnya pemahaman. Bedanya dengan templingable yang dilakukan oleh @ustadtengkuzul adalah terletak pada coraknya, jika tempilngable yang positif mengajak berpikir untuk merobohkan pemahaman yang kolot, sebaliknya templingable yang negatif mengajak membangun dan melestarikan kekolotan tersebut.

Di sanalah letak persoalannya dan naudzubilah min dzalik. Kita harus berlindung dari twit-twit yang tempilingable dan kemampleng kerena kebodohan yang murakab dan kuadrat itu.

Kalimat “jubah untuk salat lebih baik dibandingkan batik untuk salat” itu kesimpulan dari mana? apakah salat itu kontes fesyen. Apakah Tuhan itu memasukkan instrumen pakaian dalam menilai salat hambanya?

Kalau ukuran keislaman sesorang itu ditentukan oleh gamis dan jubahnya maka bagaimana dengan Abu Lahab dan Abu Jahal? Keduanya sepanjang hayat dikandung badan juga memakai jubah. Padahal keduanya dicap memusuhi dakwah Nabi Muhammad selama hidupnya?

Pak @uztadtengkuzul lupa bahwa ukuran keislaman seseorang itu terletak pada takwanya. Bukan pada panjang daster jubahnya, merek sorbannya, tebal tipis ban vespa udengnya. Kalau @ustadtengkuzul masih berkukuh bahwa dalam urusan salat jubah lebih baik dibandingkan batik maka bagaimana dengan jubah yang bermotif batik sidomukti, kawung atau parangkusumo? Atau barangkali bagaimana dengan jubah yang bermotif bunga-bunga seperti daster?

Saya jadi teringat dengan adegan Film ‘PK’. Film garapan Rajkumar Hirani yang dibintangi oleh Aamir Khan itu dalam sebuah dialognya menyisipkan kalimat begini: ‘”Tuhan itu ada dua. tuhan yang kita ciptakan dan Tuhan yang menciptakan kita.”

Kita harus mulai curiga, jangan-jangan tuhan yang kita iyig-kan selama ini dalam urusan beragama adalah tuhan-tuhan yang kita ciptakan itu. Jenisnya bisa macam-macam, salah satunya barangkali adalah fesyen dalam beribadah. Kesimpulan yang menaganggap bahwa jubah lebih baik dibandingkan dengan batik adalah wujud dari penuhanan jubah. Saya khawatir konsentrasi kita terhadap fesyen saat beribadah mengalahkan konsentrasi kita terhadap Tuhan yang akan kita sembah yang notabene yang menciptakan kita.

Pada tahap ini perkenankan saya untuk menyodorkan sebuah kesimpulan bahwa orang-orang yang memilki ufuk cakrawala pengetahuan yang luas maka ia akan selalu mengajarkan koma. Sementara orang-orang yang kolot selalu memandang, memularkan pemahaman serta mengajarkan titik.

Orang-orang yang berpemahaman koma, maka ia akan mengajarkan bahwa pemahaman dan ilmu kita sejatinya hanya berada pada fase “koma”. Ada berjuta kemungkinan lain di luar pemahaman dan ilmu yang kita miliki. Pemahaman dan ilmu kita sangat terbatas, sementara kemungkinan di luar sana sungguh sangat luas.

Sebaliknya, titik berarti selesai dan lunasnya segala persoalan, termasuk urusan belajar. Pada tahap ini orang yang berpemahaman titik tidak mau digoyah pemahamannya. Alot. Kaku. Kasar. Di sinilah muasal bersemainya kejahilan yang murakab. Kebodohan yang tumpuk undung. Kedunguan yang kuadrat.

Jahil murakab itu penyakit kronis. Cirinya biasanya gemar menyalahkan dan membidah-bidahkan yang tidak sesuai dengan yang dipahaminya. Dalam urusan beragama, menganggap semua persoalan telah selesai di zaman Rasulullah. Menganggap semuanya sudah titik. Tidak ada yang baru. Tidak ada koma lagi. Maka jika ada yang di luar yang pernah dilakukan oleh Rasulullah maka itu adalah hal yang salah dalam beragama.

Segendang sepenarian, demikian barangkali alur jalan berpikirnya @ustadtengkuzul dalam soal beragama, termasuk soal jubah daster, sorban, dan juga udeng ban vespa.

“Itu bukan ban vespa atau udeng. Itu adalah perban, sebagai tanda bahwa mereka sesungguhnya sakit kepala permanen,” seloroh salah seorang kawan.

*) Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Rumah Aksoro