Sebagai seorang muslim, memenuhi panggilan ilahi adalah sebuah keniscayaan, tak hanya bagi saya, mungkin juga bagi segenap muslim lain, tak terkecuali pengguna KRL. Di tengah padatnya jadwal kereta, saya (mungkin juga muslim lain) selalu terlebih dahulu memperkirakan waktu sholat dan jadwal kereta. Jika saya memperkirakan waktu sholat akan habis sebelum saya sampai di tujuan, biasanya saya lebih memilih shalat di stasiun, begitu juga muslim lain.
Suatu hari ketika saya hendak shalat di mushalla stasiun, seperti biasanya saya harus bergantian menungu jamaah sebelumnya. Saya beserta beberapa orang mengantri di tempat wudhu untuk bergantian melakukan jamaah shalat. Jamaah sebelum saya itu nampaknya diimami oleh seorang yang bacaannya lumayan bagus. Saya cukup kagum dengan bacaan dan suara yang dimiliki oleh sang Imam.
Dalam antrian, saya melihatnya sekilas. Sepertinya umurnya sekitar 40an. Pakaiannya agak islami, celananya tidak isbal (cingkrang, di atas mata kaki) dan agak sedikit berjenggot. Saya tidak bermaksud untuk menyebutkan bapak ini dari kalangan atau kelompok mana. Yang jelas, bacaannya bagus (dengan parameter ngaji saya di pesantren).
Di rakaat pertama bapak ini membaca surat al-Lail. Bacaanya pelan dan santai. Baru sampai rakaat pertama, antrian warga KRL yang menunggu jamaah semakin banyak. Sedangkan saya, dan pastinya orang-orang yang mengantri di kejar waktu tunggu jadwal kereta. Namun, bapak ini nampaknya santai saja. Ia sama sekali tidak peduli dengan orang-orang yang mengantri di belakangnya. Ia tetap melanjutkan bacaannya sampai selesai dengan tartil dan santai.
Sampai pada taraf ini, simpati saya dengan bapak ini agak berkurang. Saya semakin gusar karena takut telat jadwal kereta dan pastinya telat hadir di tempat tujuan. Kalaupun saya melewatkan kesempatan menunggu si bapak dan melanjutkan perjalanan, saya pasti akan kehabisan waktu shalat.
Sementara beberapa orang di belakang saya sudah mulai mengeluh. “Bapak ini kok lama banget bacaannya.!” Ucap salah satu calon jamaah yang menunggu di belakang saya. Sedangkan antrian jamaah semakin meluber keluar. Bisa dibayangkan, mushalla di stasiun yang sekecil itu dipenuhi antrian calon penumpang yang menumpuk. Apalagi waktu shalat maghrib sangat sempit.
Si bapak yang menjadi imam, masih melanjutkan saja bacaan panjangnya di rakaat kedua. Jika Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki membagi cara baca al-Quran menjadi beberapa bagian, maka asumsi saya, bapak ini menggunakan pembagian bacaan yang pertama, yaitu tahqiq, semacam membaca sesuai dengan makhraj dan tajwidnya dengan tempo bacaan yang lumayan lambat.
Jika tadi rasa simpati saya hanya berkurang, kali ini rasa simpati saya hilang tak berbekas, bahkan mungkin beralih menjadi rasa jengkel. Saya yakin tidak hanya saya yang putar haluan 180 derajat. Beberapa penumpang yang mengantri di belakang saya juga sepertinya merasakan hal yang sama.
Di tengah kejengkelan saya dengan bapak ini, saya kembali berfikir, apakah harus segitunya orang beribadah? Tak perlu mempedulikan orang lain yang ingin beribadah juga? Apalagi status mushalla yang merupakan tempat umum, sedangkan semua orang sedang mengantri untuk giliran menggunakannya.
Fenomena bapak ini mengingatkan saya pada karya Fazlurrahman yang berjudul Islam, Prophecy in Islam, atau Major Themes of the Qur’an. Dalam karyanya tersebut Fazlur menyebutkan bahwa Islam adalah sebuah agama antroposentris, dan bukan agama teosentris (agama yang selalu bertumpu pada ikhwal individual-ketuhanan). Agama antroposentris dalam hal ini adalah bahwa semua hal dalam Islam selalu memberikan penekanan kepada problem kemanusiaan, termasuk ibadah vertikal.
Dalam ibadah shalat, seperti dalam kasus bapak tersebut misalnya. Rasul dalam hadisnya selalu menekankan agar shalat lima waktu sebaiknya dilakukan secara berjamaah. Bahkan Nabi menjanjikan pahala yang begitu besar dan jauh selisihnya dengan shalat yang dilakukan sendiri-sendiri.
Anjuran Rasul ini saya rasa bukan hanya sekedar menambah pahala saja. Lebih dari itu, shalat jamaah memiliki dua dimensi, dimensi vertikal dan horisontal. Seorang yang melakukan shalat jamaah, secara tidak sadar ia menyatu dan bersosialiasasi dengan orang lain. Al-Jurjani misalkan, dalam Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu menjelaskan bahwa dalam shalat jamaah sebenarnya seseorang sedang belajar tentang kesetaraan. Semua berkumpul dalam satu shaf (barisan), tanpa membeda-bedakan status sosial.
Masih dalam kasus jamaah, Nabi pernah memarahi Muadz bin Jabal karena ia membaca surat panjang tanpa memperhatikan para makmumnya yang terdiri dari beberapa golongan umur, mulai tua, anak-anak, bahkan beberapa orang yang sedang bekerja.
Maka dalam kasus ini, sebenarnya jamaah bukan hanya urusan seorang hamba dengan Allah, malainkan juga urusan imam dengan para makmumnya, dan orang yang berkaitan dengannya.
Dalam kasus bapak si imam lama ini misalkan, seharusnya ia mengerti bahwa tempat yang digunakan adalah milik umum, apalagi tempatnya sempit, banyak yang antri dan waktu shalat yang sempit. Sudah selayaknya ia meringankan bacaanya sehingga selain makmum, orang lain yang menunggu juga tidak merasa dirugikan.
Selain kecakapan agama, meliputi bagus bacaan dan bagus suara, seorang imam juga dituntut untuk memiliki kecakapan dan kepekaan sosial. Karena seorang imam adalah seorang pemimpin. Sebagai pemimpin selayaknya memperhatikan kesejahteraan keagamaan para makmumnya.
Karena sebenarnya beragama bukanlah soal sebanyak apa pahala yang akan kita dapatkan, atau surga jenis apa yang akan kita dapatkan. Tetapi beragama juga tentang sejauh mana kita menjaga hubungan kita dengan saudara kita dengan menjaga kenyamanannya.