Menjadi Dai di Era Digital

Menjadi Dai di Era Digital

Teknologi memudahkan semua orang, termasuk dalam belajar agama. Untuk itu, dibutuhkan para dai yang pemahaman keagamaannya luwes dan tidak gampang mengkafirkan.

Menjadi Dai di Era Digital

Pada era yang serba digital ini, segala informasi menjadi begitu mudah diakses melalui berbagai media sosial. Mulai dari informasi yang berbobot hingga informasi abal-abal—terkadang hanya bersifat provokatif dan sensasional. Masyarakat kini tengah gandrung dengan teknologi, tentu peluang bagi para aktiviis dakwah untuk menyebarluaskan pemikirannya. Tak jarang, perang siber pun kian marak di berbagai media.

Belakangan, pemerintah sudah mengeluarkan aturan pemblokiran bagi beberapa situs yang dinilai radikal dan berpotensi pada terorisme yang mengancam kedaulatan negara. Sebuah langkah yang tegas dan berani. Saya kira bukan semata atas dasar agama atau dengan alasan pejabatnya muslim, melainkan atas dasar kemanusiaan. Keberadaan situs-situs tersebut dinilai meresahkan warga dan dapat memicu konflik yang mengganggu keamanan dan kenyamanan.

Tidak ada yang salah dengan kemajuan teknologi. Tentu ini bukti peradaban manusia semakin maju. Yang menjadi permasalahan, ketika kecanggihan teknologi ini tidak digunakan dengan baik dan bijak. Coba saja kita perhatikan beberapa alamat website yang membawa nama “islam” sementara isinya justru bertentangan dengan nilai-nilai islami.

Kalau kita lihat, mereka saling menghujat, menyalahkan pendapat yang berbeda meskipun sesama muslim, bahkan ada yang sampai hati menyebarkan berita-berita yang tidak benar dan cenderung memfitnah.  Tak jarang mereka mengkafirkan dan menjadikan muslim yang berbeda pendapat halal diperangi. Miris, bukan?

Sebagai seorang muslim di Indonesia, saya sangat prihatin dengan kondisi semacam itu. Padahal Allah sendiri sudah berfirman melalui kalam-Nya, “Sesungguhnya sesama muslim adalah bersaudara”. Maka mengapa justru harus mengada-adakan perang melawan saudara sendiri hanya demi mendapat pengakuan bahwa mereka yang paling benar dan yang lainnya salah.

Walisongo

Muslim Indonesia yang tumbuh dan berkembang di bawah panji dakwah Walisongo.  Sudah semestinya kita dapat bersikap lebih bijak dalam menghadapi konflik, apa apun itu bentuknya. KH. Mustofa Bisri yang lebih akrab dikenal Gus Mus sudah sering mewanti-wanti para jamaahnya untuk tidak mudah kagetan atau dalam istilah Jawanya “Ojo gumunan”.

Metode dakwah yang dilakukan oleh para da’i pada jaman sekarang seyogyanya juga tetap berpedoman pada metode dakwah yang dilakukan oleh Walisongo. Jika kita mencoba memutar kembali sejarah, akan timbul sebuah pertanyaan besar tentang perjalanan dakwah para Walisongo. Bagaimana caranya Islam yang pada waktu itu merupakan ajaran baru kemudian bisa diterima pribumi. Bahkan Walisongo berhasil mengislamkan sebagian besar kawasan strategis di pulau Jawa?

Para da’i atau mereka yang menyebut dirinya sebagai pendakwah tidak boleh menutup mata dari sejarah. Mereka juga perlu mempelajari dan meneladani para walisongo dalam berdakwah.

Meski sudah berbeda masa, nilai saripati dari dakwah walisongo masih dapat kita terapkan di era sekarang. Dahulu Walisongo berdakwah melalui pendekatan budaya semisal wayang dan tembang macapat. Coba bayangkan, jika pada masa itu Walisongo adalah orang-orang yang “keras” dalam berislam, lantas tidak mau menerima tradisi kebudayaan sebagai alat berdakwah, mungkin saja Islam tidak akan menjadi agama mayoritas seperti sekarang.

Untuk memelajari metode dakwah Walisongo, kita tidak bisa sekadar melihat entuknya saja. Wayang, tembang dan gamelan hanyalah alat untuk mengenal Islam. Semuanya itu merupakan bagian dari budaya masyarakat Jawa yang menjadi objek dakwahnya. Tujuannya untuk mengenalkan mereka kepada Tuhan Yang Esa, Allah Azza Wa Jalla.

Sebagai contoh misalnya tradisi tahlilan atau kendurian. Karena masyarakat Jawa memiliki kebiasaan berkumpul, para Walisongo mengemas perkumpulan tersebut agar tidak hanya sekadar ngumpul. Maka diisilah dengan bacaan kalimat thoyyibah termasuk tahlil. Jika dilihat dari substansi acaranya, tidak ada yang bertentangan dengan syariat islam. Lalu, mengapa masih saja dipermasalahkan?

Dakwah adalah sebuah ajakan bukan paksaan. Dalam berdakwah, tidak dibenarkan seorang da’i memaksakan kehendak –termasuk pemikiran- nya agar diikuti oleh orang lain. Semangat semacam itulah yang sepatutnya bisa kita lestarikan di era digital seperti sekarang ini. Meskipun dikemas dalam bentuk yang berbeda, namun semangat dakwahnya harus tetap sama.

Di masa kini, dakwah beralih ke media digital. Mereka yang berdakwah melalui social media dan website akan lebih bijak jika memunculkan informasi yang lebih edukatif bukan malah provokatif. Lebih baik jika isi postingannya dapat menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang kaya akan khazanah keilmuan. Kalau pun ada perbedaan pendapat, dalam Islam itu merupakan hal yang wajar dan sudah ada sejak masa para Mujtahid yang sudah tinggi keilmuannya.

Meskipun kerap berbeda pendapat, para Mujtahid ini tetap bersikap bijak dan tidak ngotot memenangkan pendapatnya sendiri. Di situlah letak perbedaan orang berilmu. Senada dengan salah satu kalam ulama, “Semakin tinggi ilmu seseorang, dia akan menemukan kearifan dan kebijaksanaan dalam menghadapi perbedaan”. Sungguh indah dan menenteramkan.

Kalau saja semua orang yang ingin berdakwah memiliki pemahaman yang sama bahwa dakwah itu tujuannya untuk Allah dan bukan untuk memenangkan dirinya sendiri, bukan tidak mungkin fenomena perang siber yang mengatasnamakan agama bisa kita minimalisasi secara perlahan.

Wajah islam yang muncul di permukaan dunia maya bisa kita ubah dari yang awalnya bengis menjadi lebih ramah. Jangan sampai, niat baik untuk mengajak manusia pada Islam, justru berakhir pada kebencian mereka terhadap Islam hanya karena niat itu masih ditunggangi oleh nafsu pendakwahnya sendiri. Na’udzubillaahi min dzalik. []

Fauziyah adalah alumni Ikatan Mahasiswa Nahdliyin-STAN, Bintaro. Tinggal di Jakarta