Menitipkan Tugas Berat Kementerian Agama pada Seorang Jenderal

Menitipkan Tugas Berat Kementerian Agama pada Seorang Jenderal

Menitipkan Tugas Berat Kementerian Agama pada Seorang Jenderal

Pengumuman kabinet Jokowi jilid II dengan menunjuk individu dengan latar belakang professional dan non-partai untuk membantunya memimpin negeri ini disikapi beragam oleh berbagai kalangan masyarakat, termasuk penunjukan seorang jenderal untuk memimpin Kementerian Agama.

Terpilihnya Fachrul Razi yang tidak memiliki latar belakang maupun afiliasi organisasi keagamaan dan pendidikan agama mumpuni membuat banyak pihak kecewa akan keputusan presiden. Padahal, tugas Kementerian Agama di tengah derasnya isu-isu politik identitas makin berat.

Tidak hanya meredam kasus-kasus intoleransi yang masih banyak terjadi di Indonesia, tapi juga menekan upaya radikalisme yang hingga kini masih menjadi PR bagi bangsa. Selain itu, pos menteri agama memang sudah menjadi tradisi untuk diduduki oleh kalangan NU atau organisasi kelembagaan lain.

Beban yang tidak mudah diuraikan tersebut tentu membuat banyak kalangan geleng-geleng kepala ketika Jokowi justru memilih jenderal, bukan dari kalangan agamawan. Meski Fachrul Razi sendiri bukan merupakan menteri agama pertama dari pihak militer, namun penunjukannya di kala Kementerian Agama memerlukan seseorang yang kompeten untuk memahami persoalan interfaith membuat masyarakat khawatir ia tidak mampu mengemban amanah tersebut.

Menariknya, ketika mantan jenderal TNI Angkatan Darat ini ditanya akan kegamangan publik, ia justru menjawab dengan enteng bahwa ia adalah menteri agama, bukan agama Islam saja. Jadi jika ada tokoh atau beberapa pihak yang kecewa, alternatifnya purnawirawan TNI ini mungkin perlu tandem wakil menteri dari NU atau Muhammadiyah, dan yang paham dengan kondisi yang dihadapi Kementerian Agama sekarang. (Belakangan presiden juga memanggil orang yang berlatarbelakang MUI untuk menjadi wakil menteri agama.)

Lebih lanjut, Penunjukan Fachrul yang dianggap sebagai bentuk politik balas budi Jokowi atas kerjanya dalam memenangkan pasangan 01 untuk meraih kursi pimpinan nasional, dianggap akan menurunkan kinerja Kementerian Agama sebelumnya.

Meski beberapa tokoh justru memberikan tanggapan bijak, seperti Haedar Nashir yang menitipkan pesan bahwa menteri agama yang baru harus bertindak lebih cermat dalam menangani masalah radikalisme, jangan melihatnya dengan kacamata hitam putih. Semuanya harus dipahami secara komprehensif.

Oleh karena itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut mengingatkan Fachrul akan pentingnya pembelajaran secara menyeluruh tentang bagaimana kinerja Kementerian Agama sejauh ini, sehingga Fachrul Razi dapat membuktikan bahwa ia memang layak menduduki posisi departemen yang anggarannya mencapai peringkat keempat tertinggi di antara kementerian lain.

Selain nasihat dari Haedar Nashir, Gus Nadirsyah Hosen yang menjabat sebagai ketua PCI NU Australia dan Selandia Baru juga menanggapi komposisi kabinet dengan lebih luwes melalui akun twitter-nya

https://twitter.com/na_dirs/status/1186977698809167872

“Sekecewa-kecewanya Kiai, gak bakalan bergeser komitmen mereka dari NKRI. Kaidah: ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh. Yang tidak bisa diraih semuanya, jangan ditinggal seluruhnya.”

Jadi bila kita masih manyun karena pesimistis akan masa depan Islam di bawah kepemimpinan kementerian agama sekarang, mungkin kita perlu menyimak kembali nasihat Gus Baha bahwa kita harus yakin-seyakinnya Islam akan dijaga Allah ila yaumul qiyamah.

Yang jaga Islam itu bukan PBNU, bukan Muhammadiyah, bukan Kyai. Yang menjaga Islam hanya Allah SWT. Mau menteri agamanya dari militer, mau dari polisi, kita sebagai umat, tugasnya tetap sama: membantu mendakwahkan Islam secara toleran dan mendoakan negara serta masyarakat dimanapun berada untuk tetap damai dan satu!

Wallahu a’lam.