Meningkatnya Trend Konservatisme Beragama di Belahan Dunia, Ada Apa?

Meningkatnya Trend Konservatisme Beragama di Belahan Dunia, Ada Apa?

Di dalam semua agama, tentu akan ditemukan kelompok konservatif. Mereka yang mempunyai pandangan beragama yang saklek dan kaku. Namun, mengapa gejala ini mengglobal dan terjadi di berbagai dunia ?

Meningkatnya Trend Konservatisme Beragama di Belahan Dunia, Ada Apa?
Mengapa sih, sebagian umat islam kok sering merasa tertindas di negeri muslim terbesar di dunia ini? Apa ini sekadar perasaan saja? AP/Achmad Ibrahim

Ancaman kekerasan sayap kanan konservatif bukan hanya kasus lokal yang hanya terjadi di Indonesia semata. Fenomena ini adalah fenomena global. Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok sayap kanan konservatif terjadi hampir di seluruh belahan dunia: Timur Tengah, Eropa dan Amerika Serikat.

Di Timur Tengah sudah jamak kita ketahui bahwa krisis kemanusian terjadi di mana-mana. Suriah sedang kacau balau. Begitu pula Afganistan, Libya hingga Sudan. Meningkatnya kekacauan di Timur Tengah ini dimulai sejak masa Perang Dingin dan kemudian dilanjutkan oleh invasi semena-mena Amerika Serikat di bawah perintah Bush di Irak pada tahun 2001. Kemudian diperparah dengan kegagalan proses transformasi demokrasi Arab Spring sejak 2011 yang lalu menambah kekacauan di sana.

Beralih ke Eropa. Di Yunani, simpatisan Partai Golden Dawn banyak melakukan aksi kekerasan jalanan. Golden Dawn ini dipercayai sebagai partai yang beraliran fasis. Mereka melakukan kampanye-kampanye politik populis. Mereka mendulang banyak dukungan kalangan konservatif dengan kampanye anti imigran dari Timur Tengah.

Hampir serupa juga terjadi di Jerman. Walaupun Angela Merkel terpilih kembali sebagai kanselir Jerman pada Pemilu 2017 yang lalu. Tetapi, trend menguatnya popularitas partai sayap kanan AfD (Alternative für Deutschland) juga menjadi ancaman bagi kelangsungan masa depan kebebsan publik Jerman (Tirto.Id, 2017). Partai AfD ini membakar emosi publik dengan membawa isu anti imigran dan islamophobia.

Seperti yang kita ketahui, saat ini publik Eropa sedang diuji dengan adanya gelombang besar imigran dari Timur Tengah yang masuk ke Eropa. Gelombang besar imigran korban gejolak konflik Timur Tengah ini merupakan sebuah tantangan bagi komitment kemanusiaan dan multikulturalisme publik Eropa.

Kemudian, isu imigran tersebut bagi kalangan politisi sayap kanan menjadi alat yang sangat menguntungkan. Mereka menghidupkan kembali narasi-narasi nasionalisme radikal ala Hitler yang rasis di Jerman. Mereka menebar janji-janji pada kampanye yang menolak kedatangan para imigran. Dan kampanye anti kemanusiaan itu berhasil menaikkan popularitas AfD 7,9  % suara di Pemilu 2017 yang lalu.

Kasus yang mirip juga terjadi di Prancis, konservatisme sayap kanan juga mengalami peningkatan popularitas. Walaupun Emanuel Macron, seorang politisi moderat muda yang berusia 39 tahun terpilih pada Pilpres Prancis pada 2017 yang lalu berhasil sedikit membawa keseimbangan Eropa di tengah terpaan badai konservatisme sayap kanan. Akan tetapi, meningkatnya popularitas politisi Partai Front Nasional, Mariene Le Pen sebagai politisi sayap kanan yang anti imigran dan proteksionis juga cukup mengkhawatirkan bagi masa depan kemanusiaan di Prancis.

Contoh lain kasus meningkatnya popularitas sayap kanan yang mengkhawatirkan juga terjadi di Inggris dan Belanda. Di Inggris meningkatnya konservatisme ditandai dengan kemenangan Brexit pada referendum yang membuat Inggris keluar dari Uni Eropa dan menjadikannya tertutup dari imigran. Kemenangan Brexit tersebut merupakan sebuah kemunduran bagi demokrasi dan kebebasan di Inggris.

Di Belanda, politisi sayap kanan Geert Wilders dari Partai Kebebasan juga membawa narasi yang anti imigran juga. Ia melakukan propaganda untuk Nexit (Netherland Exit). Nexit merupakan bentuk upaya propaganda kampanye anti imigan di Belanda. Dengan melakukan Nexit, Belanda akan keluar dari Uni Eropa dan tujuan utamanya adalah supaya mereka terbebas dari kewajiban menerima gelombang besar imigran.

Demikian juga yang terjadi di Amerika Serikat, setelah Donald Trump memenangkan Pilpres dengan membawa propaganda-propaganda populis yang proteksionis, anti imigran dan anti muslim. Trump juga menutup diri dari masuknya tenaga kerja dari Meksiko. Trump juga dalam kebijakan luar negerinya menghambat upaya-upaya perdamaian di Palestina dengan meresmikan Kedutaan Besarnya di Tel Aviv, Israel.

Peresmian Trump di Israel tersebut secara implisit adalah bentuk lain dari pengakuannya terhadap peresmian negara Israel. Padahal, kasus Israel masih sangat problematik karena pendudukan dan penjajahan yang tidak manusiawi yang mereka lakukan kepada warga Palestina mendapat kecaman publik internasional. Kemudian, dengan peresmian yang dilakukan Trump tersebut menambah pesimistis dan menghambat upaya-upaya perdamaian yang dilakukan publik internasional selama ini.

Dari sekian kasus meningkatnya popularitas dan kemenangan politisi sayap kanan di berbagai belahan dunia ini menandakan bahwa keadaan dunia saat ini sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Kemanusiaan dan demokrasi sedang mendapatkan tantangan dari munculnya kembali politisi sayap kanan yang rasis dan anti imigran tersebut. Dengan demikian, upaya-upaya kerjasama global untuk melakukan konter narasi yang lebih pro terhadap kemanusiaan dan demokrasi sangat dibutuhkan.

Kita semua mengharapkan keadaan dunia kedepan semakin membaik. Semoga saja pendudukan Israel atas Palestina segera berakhir. Negeri-negeri Timur Tengah lekas stabil dan damai. Publik Eropa semakin pro aktif menerima imigran. Dan begitu pula Amerika Serikat sebagai negeri paling adidaya lekas menjadi inisiator upaya-upaya perdamaian dan kesejahteraan global. Semoga saja kemanusiaan dan kesejahteraan akan menjadi pemenang di masa depan. Aminn

M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.