Dalam perkembangan terbaru di lanskap politik Indonesia, terlihat adanya perubahan signifikan dan mencolok dalam koalisi Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang sebelumnya tampak solid. Ini bisa jadi merupakan awal dari ketegangan yang semakin meningkat antara dua tokoh politik paling berpengaruh di Indonesia: Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Presiden yang akan segera lengser, Joko “Jokowi” Widodo.
Inti dari ketegangan yang muncul ini adalah berkurangnya minat Prabowo terhadap usulan Jokowi untuk merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), sebuah langkah yang dirancang untuk memperkuat posisi politik KIM serta membuka jalan bagi putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk terjun ke dunia politik.
Penolakan Prabowo terhadap rencana ini, yang awalnya mendapat dukungan dari Partai Gerindra, menandakan adanya keretakan signifikan yang bisa dibandingkan dengan dinamika politik di Filipina antara Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. dan Mantan Presiden Rodrigo Duterte.
Drama politik yang berkembang ini bukan sekadar perbedaan strategi; ini mencerminkan pergeseran yang lebih mendalam dan signifikan dalam dinamika kekuasaan di dalam koalisi yang berkuasa.
Dukungan awal yang diberikan oleh Prabowo dan Gerindra untuk revisi UU Pilkada adalah langkah yang diperhitungkan untuk mengonsolidasikan kekuasaan di dalam KIM. Jika revisi ini disahkan, Kaesang Pangarep, putra Jokowi yang belum teruji secara politik, akan dapat mencalonkan diri di Jawa Tengah, dengan demikian mengamankan pijakan dinasti Widodo dalam politik Indonesia.
Selain itu, revisi ini juga berpotensi menghalangi Anies Baswedan—seorang ancaman politik yang signifikan—untuk menantang Ridwan Kamil dalam pemilihan gubernur Jakarta, sebuah langkah yang akan menguntungkan baik Jokowi maupun Prabowo dalam mempertahankan dominasi koalisi.
Namun, dalam sebuah perubahan yang mengejutkan, Prabowo dan Partai Gerindra tiba-tiba mengubah haluan, menarik dukungan mereka terhadap revisi kontroversial tersebut setelah menyadari bahwa oposisi publik terhadap undang-undang itu semakin meluas.
Puluhan ribu warga Indonesia turun ke jalan untuk memprotes revisi ini, yang dianggap sebagai upaya terang-terangan untuk mengganggu proses demokrasi dan melanggengkan dinasti politik. Reaksi publik yang keras dan cepat membuat Prabowo, sebagai politisi yang lihai, menyadari potensi dampak negatif yang bisa merusak kepresidenannya yang akan datang.
Keputusan Prabowo untuk menjauhkan diri dari rencana Jokowi bukan sekadar taktik mundur di hadapan ketidakpuasan publik; ini adalah langkah terukur yang menunjukkan ketidaknyamanannya yang semakin besar terhadap upaya Jokowi untuk memanfaatkan koalisi demi keuntungan pribadi. Penolakan terhadap pencalonan Kaesang dan agenda yang lebih luas untuk merevisi UU Pilkada pada dasarnya adalah deklarasi kemerdekaan dari bayang-bayang Jokowi—sebuah langkah yang bisa menjadi awal dari perjuangan kekuasaan yang signifikan di antara elit politik Indonesia.
Untuk sepenuhnya memahami beratnya situasi ini, kita perlu melihat konteks yang lebih luas dari politik Indonesia serta keseimbangan kekuasaan yang rumit yang harus dilalui Prabowo saat ia bersiap untuk mengambil alih kepresidenan.
Aliansi antara Prabowo dan Jokowi, yang dibentuk lebih karena kebutuhan politik daripada keselarasan ideologis, selalu bersifat rapuh.
Meskipun koalisi ini telah memungkinkan kedua pemimpin untuk mengonsolidasikan basis kekuasaan mereka masing-masing, itu juga merupakan pernikahan kepentingan yang dipenuhi dengan ketegangan dan ambisi yang bersaing.
Gaya kepemimpinan Prabowo, yang ditandai dengan pendekatan nasionalis dan militeristik, sering kali bertentangan dengan pemerintahan Jokowi yang lebih populis dan teknokratis. Meskipun ada perbedaan ini, keduanya berhasil menjaga kesatuan, terutama melalui kepentingan bersama dalam mempertahankan koalisi KIM dan mengamankan warisan politik mereka. Namun, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa kesatuan ini mulai rapuh, dengan Prabowo yang semakin enggan mengorbankan prinsip-prinsipnya atau masa depan politiknya demi ambisi dinasti Jokowi.
Paralel antara hubungan Prabowo-Jokowi dan dinamika politik di Filipina sangat mencolok dan dapat dijadikan pelajaran.
Di Filipina, aliansi yang pernah kuat antara Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. dan Wakil Presiden Sara Duterte menunjukkan tanda-tanda ketegangan, dengan kedua pemimpin mengejar agenda politik yang berbeda dan membangun basis kekuasaan mereka masing-masing. Demikian pula, di Indonesia, keputusan Prabowo untuk menolak usulan Jokowi dapat dilihat sebagai langkah pertama menuju hubungan yang lebih mandiri dan berpotensi konfrontatif antara kedua pemimpin ini.
Dampak potensial dari keretakan ini bisa memiliki implikasi signifikan bagi lanskap politik Indonesia.
Pertama, ini menimbulkan pertanyaan tentang masa depan koalisi KIM dan apakah koalisi ini dapat bertahan di tengah ketegangan yang semakin meningkat antara dua tokoh terkemuka di dalamnya. Tanpa kepemimpinan yang kohesif yang selama ini disediakan oleh Jokowi dan Prabowo, koalisi bisa mulai retak, dengan berbagai faksi yang saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh di era pasca-Jokowi.
Lebih dari itu, penolakan Prabowo untuk mendukung pencalonan Kaesang dapat menjadi tanda penolakan yang lebih luas terhadap dinasti politik di Indonesia—sebuah perkembangan yang akan sangat beresonansi dengan publik yang semakin jenuh dengan elit yang telah lama mendominasi politik negara ini. Dengan menjauhkan diri dari ambisi dinasti Jokowi, Prabowo dengan hati-hati menavigasi lanskap politik, berusaha menyeimbangkan kelangsungan hidup politiknya dengan tuntutan yang lebih luas dari para pemilih.
Langkah ini tidak terlalu memperjuangkan kepentingan rakyat dan lebih kepada menjaga masa depan politiknya di tengah lingkungan yang kompleks dan terus berubah.
Langkah ini juga berfungsi untuk memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin yang kuat dan tegas, tidak takut menantang status quo dan mengambil langkah berani untuk melindungi institusi demokrasi Indonesia.
Dengan menolak mendukung revisi UU Pilkada, Prabowo sedang menyampaikan komitmennya untuk menjunjung tinggi supremasi hukum dan memastikan bahwa proses demokrasi tidak dirusak oleh kepentingan segelintir pihak.Sikap ini kemungkinan besar akan beresonansi dengan para pemilih yang khawatir dengan pengaruh yang semakin besar dari dinasti politik dan yang menginginkan pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata.
Namun, keputusan Prabowo untuk menolak rencana Jokowi tidak tanpa risiko. Ketegangan antara Prabowo dan Jokowi bisa meningkat menjadi pertarungan kekuasaan yang nyata, terutama jika Jokowi memutuskan untuk melawan kebebasan Prabowo yang semakin berkembang. Konflik semacam itu dapat mengguncang koalisi KIM dan menciptakan ketidakpastian menjelang pemilihan umum berikutnya.
Selain itu, penolakan Prabowo untuk mendukung pencalonan Kaesang bisa mengasingkan pendukung kunci di dalam koalisi, terutama mereka yang telah menyelaraskan diri dengan visi politik Jokowi.
Namun, risiko ini mungkin merupakan risiko yang diperhitungkan. Prabowo, sebagai seorang veteran di lanskap politik Indonesia yang penuh gejolak, kemungkinan besar memahami bahwa kesuksesan jangka panjangnya bergantung pada kemampuannya untuk menegaskan independensinya dan menjauhkan diri dari kontroversi yang telah mencemari kepresidenan Jokowi. Dengan menjauhkan diri dari Jokowi, Prabowo tidak hanya menjaga masa depan politiknya, tetapi juga bermanuver di dalam struktur elit yang sama yang mendominasi politik Indonesia sambil tetap mempertahankan kesan bahwa ia keluar dari dinamika kekuasaan yang lama.
Strategi ini mencerminkan pemahamannya yang mendalam tentang lanskap yang kompleks dan terus berubah di mana ia beroperasi – di mana keseimbangan antara mempertahankan kekuasaan dan memproyeksikan perubahan sangat rumit namun penting.
Virdika Rizky Utama, Peneliti PARA Syndicate