Hukum Menikahi Perempuan yang Sedang Hamil

Hukum Menikahi Perempuan yang Sedang Hamil

Bagaimana jika perempuan yang akan dinikahi sudah hamil terlebih dahulu, bagaimana hukumnya?

Hukum Menikahi Perempuan yang Sedang Hamil
Happy and young pregnant woman in park in summer

Menikahi perempuan perawan maupun janda hukumnya adalah sah-sah saja. Bahkan jika dengan syarat yang benar dan niat yang baik bisa menjadi amal ibadah yang sangat besar pahalanya. Karena pada dasarnya pernikahan adalah ibadah.

Namun demikian, besarnya nilai ibadah dalam pernikahan tidak lantas dapat mempermudah semua urusan nikah, apalagi jika ternyata perempuan yang hendak dinikah sedang hamil, maka perlu keterangan lebih lanjut. Karena pastilah perempuan itu telah berhubungan dengan lelaki yang menyebabkan kehamilannya.

Jika wanita yang hamil itu ditinggal mati oleh suaminya, maka pernikahan dengannya hanya dapat dilakukan dengan sah setelah ia melahirkan. Begitu juga jika perempuan yang hamil itu telah dicerai suaminya, maka baru dapat dinikahi setelah ia melahirkan.

Hal ini jelas berdasar pada surat Thalaq ayat 4:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Dan wanita-wanita yang hamil, iddah mereka itu adalah setelah melahirkan kadungannya.

Berbeda jikalau ternyata perempuan hamil itu belum memiliki suami, atau hamil diluar nikah (hamil karena zina) yang dalam bahasa sehari-hari disebut ‘hamil gelap’ , maka hukumnya sah menikahinya saat itu juga dan juga boleh me-wathi-nya (berhubungan seks dengannya), tanpa menunggu perempuan itu melahirkan bayinya. Sebagaimana keterangan dari Hasyiatul Bajuri :

لونكح حاملا من زنا صح نكاحه قطعا وجاز وطؤها قبل وضعه على االأصح

Jika seorang lelaki menikahi perempuan yang sedang hamil karena zina, pastilah sah nikahnya. Boleh me-wathi-nya sebelum melahirkannya, menurut pendapat yang paling shahih.

Adapun mengenai nasab keberadaan si bayi tergantung pada lamanya jarak antara perkawinan dan kelahiran. Jikalau jarak antara pernikahan dan perkawinan lebih dari enam bulan walaupun dua detik, maka bayi itu bernasab pada bapaknya (lelaki yang mengawini ibunya dalam keadaan hamil).

Akan tetapi jika jarak antara perkawinan dan kelahiran itu kurang dari enam bulan, maka nasab bayi itu kepada ibunya.  Demikian dijelaskan dalam hamis Bughyatul Musytarsyidin, begini bunyi teksnya:

لونكح حاملا من الزنا فأتت بولد لزمن امكانه منه بأن ولدت لستة أشهر ولحظتين من عقده وإمكان وطئه لحقه وكذا إن جهلت المدة ولم يدر هل ولدته لمدة الإمكان أولدونها على الراجح وإن ولدته لدونها لم يلحقه

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa perkara terpenting sehubungan dengan mengawini perempuan hamil adalah memastikan terlebih dahulu, bahwa perempuan itu sedang tidak memiliki suami yang sah baik karena ditinggal mati, dicerai atau karena hamil zina.

Namun, jika perempuan yang hamil itu masih memiliki suami yang sah, sudah tentu tidak akan sah akad nikahnya, selain itu juga bisa menyebabkan pertikaian dengan suaminya, karena itu sama halnya dengan menikahi istri orang.

Wallahu a’lam