Menikahi itu Janji Suci, Bukan Hasil Kalah Debat: Catatan untuk Putra Arifin Ilham

Menikahi itu Janji Suci, Bukan Hasil Kalah Debat: Catatan untuk Putra Arifin Ilham

Menikahi itu Janji Suci, Bukan Hasil Kalah Debat: Catatan untuk Putra Arifin Ilham

“Menikahlah dengan seseorang yang mencintai Allah lebih dari ia mencintaimu dan dirinya sendiri. Insya Allah orang itu bisa membimbingmu menuju surga-Nya.

Demikian kutipan yang pernah saya temukan di media sosial.  Subhanallah banget kan? hati ini seakan tersiram air di tengah gersangnya gurun pasir. Belum lagi kalau anda baca salah satu judul foto yang diunggah oleh Alvin di Instagram, “Karena perempuan itu bukan butuh kata-kata romantis atau rayuan gombal, mereka hanya butuh kepastian. #NikahMuda”

Sampai sekarang, saya belum bisa mengkategorisasi, seseorang yang mencintai Allah lebih dari dirinya sendiri itu yang seperti apa? Apakah ia yang rajin shalat malam, lalu saban hari kirim SMS ngingetin ke pasangannya untuk shalat tahajud. Yang dibela-belain ketika jam 3 pagi bangun tidur lalu miscall ngajak shalat berjama’ah; Tahajud Yuk!

Padahal, kita tidak tahu, kalau sehabis ngebangunin bukannya beranjak ambil air wudlu, tetapi si doi tidur lagi. Saya kasih tahu ya, bahwa makhluk Tuhan yang bernama ‘modus’ itu mempunyai seribu topeng dan seribu nyawa. Dan, ketika modusnya terungkap, kalian baru sadar sembari membenarkan pernyataan Cinta ke Rangga dalam film AADC 2? “yang kamu lakukan ke aku itu JAHAT!”.

***

Sebagai seorang jomblo garis keras, saya menyadari, bahwa menikah adalah sunnah Nabi Muhammad Saw. Dan menurut cerita dari beberapa teman yang sudah melangsungkah pernikahan, di dalamnya terdapat sebuah kenikmatan yang tiada tara, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Jadi kepo nih gimana kenikmatan yang tiada tara itu. heueuheu

Namun, yang perlu kalian sadari, bahwa menikah bukan hanya persoalan ‘aku’ dan ‘kamu’ saling cinta. Keluarga kamu dan keluargaku sudah saling rela. Lalu, kita sama-sama move on dari kejombloan. Bukan itu persoalan utamanya.

Bagi saya, sedikit banyak belajar dari teman-teman saya yang sudah mengubah statusnya. Bahkan mereka tidak jarang memberikan nasihat—yang hampir rata—kurang lebih begini; “Kamu beruntung, Bro, masih jomblo. Waktu belajarmu masih banyak, jangan buru-buru menikah dulu, karena perlu persiapan mental dan spiritual, sekaligus kematangan berfikir. Jika tidak, kamu akan banyak mengalami shock therapy, rumah tanggamu bisa jadi karam dan kandas karena terhempas oleh gelombang masalah.”

Itulah alasan besar saya, di usia yang sudah seperempat abad ini masih suka menyendiri. Masih mencari seseorang yang mencintai saya karena Allah dan Rasulullah.

Dan belakangan, saya terkaget-kaget ketika mendapat kabar bahwa putra pertama dari ustad dan da’i kondang melangsungkan pernikahan di usia 17 tahun. Ditambah lagi capsyen di jejaring sosial dijelaskan, bahwa si cowok berhasil menaklukkan si wanita dari sebuah debat tentang agama. Ceritanya dulu, si cewek ini adalah seorang  Non Muslim, yang sekarang sudah muallaf, dari hasil kalah debat tadi.

Sebagian di antara kalian mungkin itu terlihat wow. Tapi tidak bagi saya.

Pertama, peristiwa itu jelas menampar jama’ah saya, para jomblo fi sabilillah. Bukan karena pernikahannya, tapi dampak dari pernikahan itu. Banyak meme di media sosial yang nyinyir.

“Anak Arifin Iham usia 17 tahun saja sudah menikah, kamu calon saja belum punya.” Atau,“Ini anak 17 tahun sudah menikah, kamu yang 25 ++ sudah ngapain aja?” Rasanya saya pengen nimpuk orang yang bikin meme itu.

Kedua, jujur saja, saya kasihan dengan Alvin. Di usianya yang masih belia dan ABG harus membina rumah tangga. Dan tentu, cara berfikirnya pun sudah berbeda dari anak-anak sebayanya.

Apapun itu, yang namanya buah, ambil contoh mangga, kalau masih muda rasanya masam. Yang ketika di makan, bagi perut yang tidak kuat akan mengakibatkan rasa sakit. Begitu juga dengan menikah muda. Mungkin dari faktor ekonomi, si Alvin lebih diuntungkan, punya bokap dan mertua yang kaya raya. Soal finansial, saya rasa tidak ada persoalan krusial. Di samping kini namanya melejit. Endorse merk terkenal akan datang dengan sendirinya. Follower  IG juga sudah 152 K, lumayan juga buat jualan.

Tapi hal itu berbeda dengan jutaan anak muda yang nasibnya tidak seberuntung dengan Alvin. Nikah muda bisa menjadi masalah besar. Terus gimana dong alau sudah ngebet di usia muda?

Wahai jomblo yang dirahmati Allah. Nabi Saw menganjurkan kepada kita dalam menundukkan syahwat dengan resep jitu. Yaitu: berpuasa. “Karena puasa itu akan menjadi tameng baginya.” (HR. Al-Bukhari).

Tahan dulu dan bersabarlah. Dengan berpuasa, kamu akan lebih mulia sembari menunggu usiamu yang makin dewasa.

Saya pernah nguping dari ibu-ibu PKK yang kebetulan di antaranya ada seorang dokter. Beliau mengatakan, di dalam ilmu kesehatan, reiiko menikah muda selain rentan terkena kanker leher rahim juga resiko tinggi ibu hamil. Pasangan menikah di bawah usia 20 tahun, dapat mengakibatkan bayi lahir prematur dan cacat serta angka kematian ibu yang melahirkan sangat tinggi.

Ketiga, di dalam tulisan ini saya hanya ingin mengingatkan, bahwa kita ini hidup di Indonesia, di sebuah negara dengan aturan hukum dan undang-undang. Secara agama, kamu menikahi gadis yang masih berusia 10 tahun, itu sah-sah saja. Namun bagaimana menurut sudut pandang undang-undang hukum negara?

Usia Alvin yang masih 17 tahun, jelas bertentangan dengan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Batas usia menikah bagi pria adalah 19 tahun. Tapi kok bisa lolos? Nah, itu persoalannya. Masak di KUA juga ada mafia?

Oke, dalam sudut agama pernikahannya sah, ada wali-saksi, ijab kabul, mahar. Tetapi jika bertentangan dengan undang-undang, lalu bagaimana? Yang paling dikhawatirkan adalah reaksi yang terjadi di tengah masyarakat. Ketika dalam kasus pernikahan si Alvin dilolosin, kenapa ketika tejadi kasus yang sama, menikah dini, belum cukup umur, tidak lolos.

Oleh sebab itu, jikalau sama-sama melihat dari sudut pandang agama (syari’at), kenapa tidak meniru Nabi Muhammad Saw yang menikah di usia 25 tahun?

Apalagi sang ustad adalah figur, tokoh masyarakat. Maka saya tidak habis fikir ketika kemudian banyak anak muda—berbondong-bondong menikah muda karena dia merujuk dari apa yang telah dilakukan oleh si ustadz. “Nah, itu nyatanya boleh. Anak ustad tidak taat undang-undang dibolehin.”

Justru yang menggelitik adalah mengapa peraturan undang-undang perkawinan memberi batas minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita? Alasan besarnya adalah karena tingginya angka perceraian. Ini menurut data yang saya baca. Hampir 50 % menikah di usia dini itu cerai.

Jadi saya tidak ingin melihat populasi Mahmud Abbas (Mamah Muda Anak Baru Satu) semakin membludak di negeri ini, yang tiba-tiba hidup sendirian, menggendong anak, tanpa suami. Nasib seperti itu sesungguhnya jauh lebih tragis dari pada nasib jones di malam minggu, sob.

Terakhir, sejauh yang saya tahu, bahwa Islam itu mempunyai arti tunduk dan pasrah. Namun bukan berarti ketika kita berIslam, lalu menaklukkan, menundukkan, serta menjudge yang lain.

Ketika alasan menikah karena berhasil menundukkan dengan cara debat, lalu muallaf, seakan-akan agama itu hasil dari perdebatan, mengalahkan yang lain, dan paling punya power sendiri. Namun beragama adalah hasil dari sebuah kesadaran. Bukan paksaan dan bukan pula hasil dari kalah debat.

Kasus TOA masjid yang sempat ramai di Tanjungbalai-Sumatera Utara kemarin itu menurut hemat saya karena mayoritas menganggap dirinya yang paling benar, dan ia boleh melakukan segala sesuatu dengan semena-mena atas dasar kesepakatan banyak orang. Yang akhirnya rusuh. Bakar rumah ibadah.

Begitu juga dengan menikah. Menikah itu janji suci yang kokoh (mitsaqan ghaliza). Janji atas nama Tuhan, bukan janji karena kamu menang dari sebuah hasil perdebatan. Wallahhu a’lam.