Menikah Itu Sederhana: Belajar dari Filsuf Jawa

Menikah Itu Sederhana: Belajar dari Filsuf Jawa

Takut menikah? Padahal menikah itu sederhana sekali

Menikah Itu Sederhana: Belajar dari Filsuf Jawa

 

Kelebihan para jenius adalah kemampuannya menyederhanakan hal-hal yang rumit dan membuat nyata sesuatu yang tadinya imajiner bahkan ngawang-ngawang. Itu kelebihan dari Ki Ageng Suryomentaram. Filsuf abad 20 yang berasal dari Yogyakarta ini menawarkan konsep pernikahan ideal, sederhana dan tentu saja mudah diterapkan.

Pernikahan adalah salah satu kawruh pokok, alias pengetahuan dasar yang seyogyanya dipahami oleh semua orang. Di dalam kawruh jiwa suryomentaraman ada enam kategori pengetahuan mendasar yang semestinya dipahami oleh setiap orang agar hidupnya bisa tenteram.

Pertama adalah pengetahuan tentang kebahagiaan secara menyeluruh (kawruh begja sawetah), pengetahuan tentang pengetahuan (kawruh bab kawruh), pengetahuan tentang pergaulan dalam masyarakat yang penuh dengan persaingan (kawruh bab ungkul ing sesrawungan), pengetahuan tentang pernikahan (kawruh laki-rabi), pengetahuan tentang mendapatkan nafkah (kawruh pangupa jiwa), dan pengetahuan tentang pendidikan (kawruh pamomong).

Konsep pernikahan suryomentaraman

Pernikahan dalam perspektif suryomentaraman sangatlah sederhana, yaitu kesiapan sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, untuk bersama-sama mencukupi tiga hal kesatuan, yaikut; kebutuhan biologis (cumbana), berkeluarga (bebrayan), dan menikmati keindahan (ngraosaken endah). Jika ada salah satu unsur yang kurang, maka sebuah pernikahan berarti tidak akan memenuhi syarat untuk melahirkan keindahan yang menenteramkan.

Pernikahan manusia ada dua macamnya, yaitu saling setia (jejodohan) sebagaimana burung pipit, burung perkutut, juga burung merpati. Sedangkan yang kedua adalah serabutan (barencoh) semisal ayam, kambing, sapi dan semacamnya. Ada kalanya sebuah pernikahan diawali dengan jejodohan namun berakhir dengan barencoh, dan bisa juga sebaliknya. Yaitu berawal dari serabutan namun kemudian menjadi saling setia.

Jika dilakukan penelitian secara mendalam, yang menyebabkan pernikahan saling setia adalah kesediaan untuk saling menanggung rasa susah dan senangnya pasangan. Sedangkan pernikahan barencoh lebih disebabkan karena masing-masing pasangan saling mencari nyamannya sendiri-sendiri. Artinya, pernikahan yang saling setia lebih disebabkan kebutuhan masing-masing pihak untuk sama-sama memberikan manfaat, sedangkan perkawinan barencoh lebih didominasi oleh nafsu untuk saling memanfaatkan.

Merasakan apa yang dirasakan oleh pasangan, akan melahirkan rasa pasihan, yaitu rasa tak terpisahkan dari pasangan. Meskipun dalam kenyataan berjauhan, namun orang yang pasihan rasanya tak terpisah dari pasangannya. Rasa pasihan melahirkan penghargaan kepada pasangan yang berupa kesetiaan, rasa kesetiaan pada pasangan dalam kehidupan akan melahirkan ikatan psikologis yang kuat, dan melahirkan keindahan dalam pernikahan yang bermuara pada ketenteraman.

Rasa barencoh menyebabkan orang laki-laki jika melihat perempuan selain pasangannya akan tumbuh keinginannya untuk membanding-bandingkan. Begitu juga seorang perempuan yang rasanya barencoh jika melihat lelaki lain yang bukan pasangannya juga membanding-bandingkan. “Wah, kae kaya apa ya?” (Wah, kalau yang seperti itu bagaimana ya?), demikian jika perasaan barencoh terverbalkan. Dan akibat turunannya pun dapat dibayangkan.

Kebutuhan dalam pernikahan yang meliputi tiga hal sebagaimana di atas, yaitu pemenuhan kebutuhan biologis, berkeluarga, dan menikmati keindahan. Keberadaannya bergantung pada diri sendiri dan bukan pada pasangan. Karena itu akan melahirkan perasaan untuk sebisa mungkin memberikan apa yang layak diberikan kepada pasangan ketimbang mengharapkan ini itu apalagi sampai harus menuntut, sehingga hanya menjadikan pasangan sebagai pelayan dari pelbagai keinginannya.

Adanya hubungan suami istri yang menjadi musuh sebantal atau musuh dalam satu selimut, dapat dipastikan karena terbolak-baliknya dalam menempatkan kebutuhan dalam pernikahan.  Yaitu pemenuhan kebutuhan biologis, berkeluarga, dan menikmati keindahan, disandarkan pada diri pasangan. Sehingga masing-masing pihak merasa terancam oleh yang lain.

Pemenuhan kebutuhan dalam pernikahan yang digantungkan pada diri sendiri, yang menumbuhkan rasa selalu ingin berbagi kepada pasangannya dan melahirkan keintiman dalam berumah tangga. Dalam keadaan seperti itu maka rasa mementingkan diri sendiri pun sirna. Dan, jalinan bersuami istri pun bak indahnya matahari yang tenggelam di kala senja, yang sesiangan telah membakar tubuh-tubuh yang berpeluh.

Jika keintiman dalam berumahtangga terjaga, maka nikmatnya keindahan matahari yang tenggelam di senja hari pun bisa dirasakan terus menerus setelah sesiangan badan terpanggang. Namun jika tidak dapat terjaga, keindahan matahari senja pun segera tertelan oleh gelapnya malam. Demikian Ki Ageng Suryomentaram melukiskan pernikahan yang menenteramkan. []