Mengurai Fenomena Jilbab di Kelas Menengah Kita

Mengurai Fenomena Jilbab di Kelas Menengah Kita

Jilbab di kalangan kelas menengah tak cukup menjadi identitas keislaman, tapi juga sudah beralih ke arah komodifikasi hingga fetisisme.

Mengurai Fenomena Jilbab di Kelas Menengah Kita
Foto: @princessyahrini/Instagram

Peristiwa Pemilihan presiden 2019 membawa berbagai kenangan dan problematikanya sendiri. Salah satu fenomena menarik adalah kehadiran “jilbabers” dalam diskursus politik Indonesia. Yang paling menyita perhatian adalah jilbabers yang kebanyakan berasal dari barisan pendukung Prabowo-Sandi. Berbagai sepak-terjang kelompok ini sering membuat geleng-geleng kepala, sebab jauh dari apa yang dibayangkan dari penggunaan jilbab sebagaimana mestinya.

Sepak-terjang jilbabers yang berlebihan tak hanya muncul dalam berbagai rekaman video yang cukup mudah dijumpai di Youtube dan media-media sosial lainnya. Berbagai akun media sosial milik perempuan-perempuan berjilbab rasanya jauh dari nuansa kepatutan.

Jilbab yang seharusnya mencitrakan pemakainya sebagai seorang perempuan yang beradab, kini justru hanya memperlihatkan “kecantikan” fisik semata, tak pernah pada kedalaman jiwa.

Citra perempuan solehah pun—sebagaimana yang selama ini mereka goreng—luntur. Banyak dari akun tersebut memamerkan berbagai sikap sebagaimana yang seharusnya. Komentar-komentar bernada merendahkan dan menghina cukup berserakan di dinding akun mereka.

Melalui fenomena jilbabers tersebut radikalisme keagamaan merasuk dan menguat. Dengan kesadaran sebagai liyan yang tak berjilbab, perasaan kami untuk menjadi setara dengan mereka yang berjilbab pun sirna sudah. Perasaan itu muncul bukan karena kami berbeda agama, tapi karena image kesucian dan pola interaksi yang muncul dari simbol jilbab yang mereka kenakan.

Jilbab dan Golongan Kelas Menengah

Hubungan Jilbab dan kelas menengah sangatlah unik. Mereka adalah kelas para pegawai baik swasta maupun pemerintahan yang memiliki income gaji 3 sampai 10 juta perbulan. Selain menjadi pegawai, perempuan kelas menengah berasal pula dari kalangan eksekutif dan wiraswastawati.

Di berbagai wilayah Indonesia, dari pedesaan hingga kota-kota metropolitan, ragam corak dan gaya berjilbab mewarnai kehidupan banyak muslimah. Dari mereka yang hanya sekedar memanfaatkannya sebagai penutup kepala, dengan terusan yang kasual, hingga yang menutup setengah badan (syar’i).

Para jilbabers hari ini tidak dapat melepaskan diri dari jilbab sebagai fashion. Bahkan mereka seringkali berusaha untuk meng-update fashion mereka setiap minggu atau bulan hanya untuk sekedar tampil segar dan selalu baru (gaul) saat datang ke pengajian mingguan atau bulanan.

Tak hanya di pengajian, tapi juga tampil “baru” saat mereka bertemu kawan “sosialita” di cafe, arisan, kantor, ataupun warung. Dengan kata lain, mereka berusaha menciptakan kehidupan keseharian mereka sebagai catwalk harian.

Golongan kelas menengah merupakan kelas dengan hasrat konsumtif yang tinggi. Mereka membelanjakan sebelas persen dari penghasilannya untuk belanja pakaian setiap bulan. Mereka adalah kelompok sosialita berjilbab yang biasa berkumpul di mall, cafe atau tempat nongkrong lainnya, padahal isi pembicaraan mereka terkadang jauh dari esensi keagamaan.

Saat mereka berkumpul, kelompok sosialita tersebut umumnya membicarakan berbagai isu, dari kehidupan privat, masalah rumah tangga, sampai dengan pembicaraan ala kadarnya.

Pola interaksi tersebut menjadi warna tersendiri bagi para “jilbabers” dari kota besar sampai kota kecil setingkat kecamatan. Melalui berbagai pertemuan itu, mereka seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa diri mereka itu penting: “Kami adalah Islam dari kalangan kelas menengah, tidak miskin.”

Dengan berdandan jilbab milenial yang modis, mereka seolah juga ingin memperlihatkan identitas mereka di ruang publik bahwa mereka adalah pribadi Islam yang sebenarnya. Secara getol mereka berupaya untuk mematahkan stigma bahwa menjadi muslimah tak berarti harus kuno, tak bisa mengikuti perkembangan zaman.

Para jilbabers kelas menengah membangun identitas egosentris mereka dari imaji kesucian dan kepenuhan beragama (kaffah). Jilbab menjadi semacam pembuktian kadar keagamaan mereka. Pertanyaannya kemudian, apakah hanya dengan menggunakan atribut keagamaan dapat mencerminkan kedalaman beragama mengingat hampir sebagian jilbabers adalah kelompok sosialita yang sering berkumpul di ruang-ruang publik hanya sekedar untuk ngerumpi?

Karakter dari kelompok ini dapat dikenali dari sikap dan pola interaksi mereka. Justru jilbabers kelas menengah memiliki karakter yang cenderung agresif, bossy, angkuh, dan cepat untuk menghakimi. Mereka seolah ingin menunjukan kepada liyan bahwa mereka adalah “ratu” yang berkuasa (the drama queen). Dengan kata lain, mereka seolah-olah ingin bersikap sebagai pemegang kontrol keadaan di sekitar mereka.

Jilbab Sebagai Sebentuk Fetisisme Perempuan Kelas Menengah

Fetisisme adalah ketergantungan seseorang pada suatu objek di mana orang yang bersangkutan merasa dalam kondisi kepenuhan. Fetisisme jilbab berasal dari persinggungan kelas menengah dengan agama. Masyarakat kelas menengah, dengan sistem kapitalismenya, menjadikan jilbab sebagai commodity fetishism. Hal tersebut menjadikan jilbab memiliki nilai gengsi (prestise) yang tak ada di masa sebelumnya—di mana sebetulnya tak ada kaitannya langsung dengan agama (profane).

Jean Baudrillard, seorang pengkaji budaya pop asal Prancis, mengungkapkan bahwa realitas merupakan bahasa simbol yang dikonstruksikan melalui satu sistem nilai tertentu. Hal tersebut menjadikan dunia keseharian tak lagi menjadi sesuatu yang bernilai, melainkan simulasi. Melalui penggunaan simbol tertentu sistem nilai (value) hadir dan memberikan identitas pada pemakainya.

Jilbab sebagai sistem simbol membangun komunitas jilbabers kelas menengah berdasarkan  komodifikasi tanda jilbab yang ada di dalam pasar (market). Mereka membangun kecintaan berlebihan pada simbol jilbab melalui ekspresi budaya fashion dengan gaya jilbab yang modis dan gaul.

Di kalangan kelas menengah ini kapitalisme pasar melakukan denaturalisasi dari jilbab yang secara historis merupakan produk kebudayaan menjadi jilbab yang berubah menjadi simbol yang membangkitkan hasrat pasar (konsumtifisme).

Mereka memanfaatkan narasi sejarah jilbab atau pembungkus tubuh, selubung kain yang membungkus isteri-isteri nabi Muhammad. Tujuannya adalah untuk menciptakan image “kesucian”. Dengan menempatkan narasi tersebut para perempuan kelas menengah modern diajak untuk berfantasi bahwa mereka akan menjadi suci, seperti para perempuan di sekeliling nabi.

Proses denaturalisasi ini melupakan konteks budaya dari kehadiran jilbab di jazirah Arab yang merupakan hasil dari perjalanan panjang kebudayaan Yunani, Romawi dan Persia, di mana dahulu biasa dipakai oleh para bangsawan untuk untuk membedakan diri mereka dengan para budak.

Hari ini, jilbab dikonstruksikan sedemikian rupa agar para jilbabers berhasrat pada jilbab. Melalui jilbab, kelas menengah diajak untuk masuk ke dalam idealitas sebagai sosok yang “suci”, sehingga bagi masyarakat sekitar, mereka akan tampak lebih terhormat.

Kehidupan kelas menengah yang penuh dengan konflik nilai, moralitas dan norma, menyebabkan jilbab menjadi media yang menjadikan mereka seolah dapat cuci-tangan dari segala problematika kehidupan.

Jilbab secara ekstrim telah menjadi satu-satunya ukuran keislaman seorang perempuan. Pada titik inilah kemudian fundamentalisme pasar bertepuk dengan fundamentalisme keagamaan, logika pasar berjalinan dengan fanatisme keislaman.

Jean Baudrillard secara umum melihat bahwa dalam struktur masyarakat kapitalisme sistem nilai tanda (sign value) lebih penting daripada sistem nilai tukar (the exchange value). Bahwa pada akhirnya, ketika kapitalisme berhasil mengkooptasi jilbab, pesan dan nuansa keagamaan bukan lagi yang pokok.

Di Indonesia dewasa ini gerakan fundamentalisme keagamaan menyuntikkan hasrat berjilbab melalui mekanisme bahasa. Mereka memanfaatkan ghirah keislaman yang mewabah di kalangan perempuan kelas menengah dengan bahasa yang seduktif: “Kamu cantik, loh, memakai jilbab”  atau “Kecantikanmu akan muncul jika kamu memakai jilbab.”

Bahasa-bahasa seduktif—atau “interpelasi” dalam istilah Althusser—digunakan untuk memanggil para perempuan muslim memakai gaya fashion tersebut. Di sinilah kemudian persinggungan kapitalisme dan fundamentalisme keislaman memaksakan satu-satunya ukuran kecantikan, kebaikan, dan kesucian, dengan simbol jilbab.

Permasalahan muncul saat penggunaan jilbab menjadi alasan untuk me-liyan-kan mereka yang tidak memakai jilbab atau perempuan-perempuan yang berpenampilan sekuler. Proses me-liyan-kan tersebut identik dengan nuansa “pemaksaan” baik di bawah meja—seperti kasak-kusuk, fitnah dan pembunuhan karakter—dan yang di atas meja—semisal aturan tertulis dari institusi, baik sekolah, kantor pemerintah maupun perusahaan swasta.

Para jilbabers melupakan esensi jilbab sebagai bagian dari pemahaman keimanan Islam dengan mereduksinya sebagai bagian produk budaya popular semata. Keterbatasan pemahaman keagamaan membuat mereka tak sadar bahwa mereka sesungguhnya dimanfaatkan gerakan radikal keagamaan tertentu untuk membentuk suatu mekanisme struktur jaringan yang bertentangan dengan semangat empat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD ’45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

Seandainya disimak fenomena antusiasme para perempuan berjilbab, khususnya apa yang kita kenal sebagai “laskar emak-emak,” baru muncul menjelang dan sesudah peristiwa pilkada Jakarta. Di sini para jilbabers seperti menjadi kekuatan politik-keagamaan baru, meski kita bisa melihat berbagai gelombang histeria dan neurosis obsesional di dalamnya.

Memang, tak semua perempuan pengguna jilbab memiliki pemahaman dan karakter yang sama. Tapi sejak pilkada Jakarta 2017 sampai pilpres 2019, kebanggaan dan penonjolan diri sebagai perempuan berjilbab (politik identitas) identik dengan kubu Islam sektarian yang menjadi basis massa Anies Sandi (pilkada Jakarta) dan Prabowo-Sandi (pilpres 2019). Kita tak pernah menyaksikan tingkah-polah yang sama pada kubu kebangsaan. Seperti ada ciri khusus, pola interaksi yang berbeda di antara keduanya.

Melihat sepak-terjang kalangan jilbabers yang memilih Islam politik sebagai satu-satunya cara berislam tersebut tampak jelas bahwa mereka adalah bagian dari fenomena “populisme kanan”, di mana kesungguhan iman dan wawasan keagamaan dikalahkan oleh hasrat, atribut dan identitas belaka (fetisisme).

Mereka tenggelam dalam euforia pemahaman bahwa kecantikan sejati dalam beragama tak harus terletak pada akhlak dan kedalaman ilmu, tapi semata atribut dan identitas.

Sebagaimana Buya Hamka pernah berkata: “Kecantikan abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang. Bukan terletak pada wajah dan pakaiannya.” Demikianlah para jilbabers harus mulai merenungkan kembali, apakah simbol kayakinan beragamanya hanya semata terbatas pada jilbab atau lebih dalam lagi: akhlak?

Wallahu a’lam.

 

Tulisan ini merupakan tulisan kolaboratif: Heru Harjo Hutomo (penulis, peneliti lepas, perupa, dan pemusik) dan Ajeng Dewanthi (peneliti sosial dan sejarah)