Sepanjang minggu lalu hingga hari ini, beranda media sosial saya disesaki isu jilbab yang mengemuka (kembali), pasca beredarnya potongan video yang merekam ibu Shinta Nuriyah menjelaskan ketidakwajiban jilbab bagi muslimah. Sontak dunia maya heboh dengan berbagai opini dari berbagai pihak, termasuk penolakan dan hujatan halus atas opini tersebut karena dianggap keluar dari pemahaman keagamaan mayoritas umat Islam Indonesia.
Cuitan Felix yang tidak setuju terhadap opini dari Shinta sangat disorot karena dua hal, konstan dan stigma. Dalam postingannya di berbagai aplikasi sosial media, Felix selalu menggunakan bahasa halus, tidak frontal namun selalu menggunakan perbandingan yang dianggapnya logis.
Jauh sebelum perdebatan di atas menjadi viral, saya melihat reklame besar di tengah jalan antara kota Banjarmasin dan Banjarbaru bermuatan iklan tentang urgensi bertabayyun di era digital, bahkan bait dalil agama turut dicantolkan. Namun entah kenapa dari sekian opini Felix yang saya dapati hingga hari ini tidak menemukan unsur tabayyun didalamnya.
Mayoritas opininya masih memaksakan sikap menolak dan sengaja mengangkangi proses tabayyun, malah dampaknya mencema Shinta dengan label liberal, munafik hingga kafir. Terlepas dari alasan persoalan tabayyun tersebut, terlihat dari bangunan narasi penolakan terfokus pada eksploitasi faktor gelembung filter dalam media sosial dan mesin pencari.
Felix tampak sangat mafhum pendapatnya akan berpusar dalam selingkung sendiri karena faktor gelembung filter. Masyarakat yang setuju atau telah lama bersetuju dengan ide-ide yang selama ini disebarnya, akhirnya semakin jauh dari informasi soal keberagaman dan dinamika jilbab dalam Islam.
Gelembung filter adalah dampak dari algoritma dari mesin pencarian dan layanan jejaring sosial, yang mengedit atau memfilter dari apa yang ditampilkan di beranda atau kolom hasil pencarian.
Kemungkinan besar dulu kita semua pernah dininabobokan sebuah mimpi besar, di mana kehadiran internet akan membuka kebebasan berpendapat dan transparansi informasi yang selama ini dikuasai oleh pihak penguasa selama era media cetak dan televisi. Impian indah tersebut akhirnya musnah, karna yang ada sekarang hanya dalam setiap debat di media sosial selalu berakhir pada fanatisme bukan pencerdasan.
Apa yang kita hadapi sekarang adalah kurasi ala algoritmik dan sistem personalisasi yang menempatkan pengguna dalam gelembung, setiap konten difilter yang akan mengurangi kemungkinan mereka menemukan atau melihat konten yang secara ideologis lintas sektoral. Mungkin dengan alasan di atas, kita bisa memahami kenapa tabayyun jarang sekali dilakukan, sebab saat konten yang diterima hanya seiras dengan pemikiran kita, maka rentan sekali yang terjadi kita hanya afirmasi ide belaka.
Saat setiap kelompok membuat pernyataan kerap berharap pihak sebelah (baca: lawan) juga turut membaca dan memberi komentar, untuk membangun diskusi atau debat. Padahal kemungkinan besar pendapat tersebut hanya beredar dalam kelompok masing-masing. Kecil sekali kemungkinan kelompok lawan membaca, hanya jaringan pertemanan, narasi reproduksi, penggunaan tanda pagar (Hashtag), hingga membalas langsung opini yang dikeluarkan, yang bisa membuat proses debat terjadi.
Secara natural, hidup kita lebih suka mengonsumsi apa yang diinginkan, termasuk soal informasi. Media sosial dan internet memanjakan hal tersebut dengan menghadirkan algoritma yang menyeleksi apa yang paling sering kita akses atau klik. Proses seleksi atau filter ini yang menyeret kita pada dua bias kognitif, yaitu afinitas dan konfirmasi.
Bias afinitas adalah kecenderungan kita untuk menyetujui orang yang memiliki kesamaan dengan kita. Sedangkan bias konfirmasi adalah preferensi kita untuk mempercayai informasi baru sebagai kebenaran karena mendukung apa yang kita sukai.
Dari dua hal ini kita seharusnya bisa memahami bahwa narasi penolakan terhadap opini jilbab milik Shinta tidak lagi soal perdebatan fiqih belaka. Mungkin saja terselip pesan ideologis atau populis dalam penolakan tersebut. Sepanjang penelusuran saya, perseteruan jilbab ini hanya berpusar di beberapa platform layanan jejaring sosial, lebih-lebih yang disukai anak muda, seperti Facebook dan Instagram.
Mengapa platform tersebut menjadi lahan pilihan pertarungan narasi jilbab? Jawaban saya adalah mereka yang menolak dan memanfaatkan fasilitas (baca: gelembung filter) di media sosial, jelas sekali hanya memanfaatkan isu tersebut untuk memelihara kelompok yang memang sudah simpati kepada mereka.
Seiring menguatnya peran ustadz populis di masyarakat terutama anak muda, seperti Felix Siauw, baginya pertarungan ide seperti soal jilbab di atas memang untuk mencerdaskan atau mencerahkan masyarakat. Sekelas Felix Siauw memang tidak melihat hal ini soal kalah atau menang, tapi bagaimana mendapatkan keuntungan dari perdebatan tersebut.
Tak terbantahkan fakta bahwa Felix Cs. tidak mendebat apa yang ada dalam konten pendapat dari Shinta, bisa dilihat beberapa cuitannya terkait perdebatan jilbab. Dia hanya menyajikan pendapatnya sendiri yang memang ditunggu oleh followers-nya atau mereka yang sudah ada dalam gelembungnya di berbagai media sosial, ketimbang mengedepankan bertabayyun.
Masyarakat justru akan terpolarisasi semakin keras, dampaknya biasanya turut disertai berbagai kecurigaan yang tak berdasar dan stigma yang tidak bertanggungjawab. Di tengah kekacauan ini, perdebatan ini malah memberi keuntungan bagi kelompok Felix cs karena terus mendapat atensi sebagai panutan.
Mengikuti perdebatan apa yang dibuat oleh Felix hanya akan menguntungkannya, alangkah baiknya kita sudah mulai meninggalkannya dan meneruskan perjuangan, mencerdaskan generasi muda muslim lewat dunia digital.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin